“Raja Widyanata Harapan Baru Nusantara!”
“Mari songsong Masa Depan Gemilang bersama Dewa Kartikeya...!”
Raksha membuka kedua matanya dengan berat hati, Teriakan para prajurit kerajaan Kanezka itu hampir saja membuat kepalanya pecah. Belum lagi derap langkah kaki zirah mereka yang terdengar serentak keras menggetarkan jantungnya hebat.
“Musnahlah kalian, Sakra! Musnahlah kalian Yaksha! Musnahlah kalian Rakshasa!”
“Terkutuklah kalian, Mavendra!”
“Celakalah kalian, Pendekar Dunia Arwah...!”
“Hancurlah kalian, Titisan Ashura! Kalian tidak ada tempat di bumi Nusantara!”
Teriakan para prajurit Kanezka semakin terdengar jelas. Dunia yang Raksha lihat masih setengah buram. Seluruh sendi tubuhnya masih terasa linu karena dia menghabiskan istirahat malamnya di hamparan tanah kering penuh batu kerikil beratapkan langit sambil diterpa angin yang dinginnya menusuk tulangnya.
Raksha terhuyung-huyung hampir jatuh karena terlalu cepat bangun. Lebam di sekujur tubuhnya pun sontak menusuk, tapi sebisa mungkin dia tahan agar tidak menjerit nyeri. Namun Raksha sadar kalau dia terlambat ketika komandan pasukan Kanezka berdiri tepat dihadapannya sambil menatapinya bengis.
Komandan pasukan Kanezka itu adalah salah seorang dari anggota keluarga bangsawan elit militer Kerajaan Kanezka yang baru saja memenggal tuan tanah didesanya karena tuduhan melindungi pendekar Dunia Arwah. Namanya adalah Suja Bhagawanta. Pria kekar dan tinggi dengan janggut dan rambut hitam yang sama panjangnya itu cocok dengan ekspresi wajahnya yang selalu tampak bengis.
Sepersekian detik setelah tatapan menusuk Suja, Raksha terpelanting keras karena Suja menamparnya kuat.
“Ahh…!”
Raksha mengaduh kesakitan. Dia membungkuk sambil mengerang sepelan yang dia bisa untuk mereda semua rasa nyerinya. Tidak sadar kalau sepatu zirah Suja yang penuh dengan lumpur itu tengah menginjak kepalanya.
“Jangan meleng saat melihatku, bocah! Mana rasa hormatmu?!” sentak Suja sambil meludahi tubuh Raksha. “Berbicara dengan para arwah dan siluman sepertinya membuat kepalamu menjadi sinting!” ejeknya disambut tawa para prajuritnya yang penuh nada remeh.
“Kami....tidak...bersalah, tuan....” Raksha mengucapkannya terbata-bata ditengah rasa perihnya. Namun para prajurit Suja yang merundungnya itu malah tertawa lebih hebat. Dia terkesiap kaget ketika Suja menjambak rambutnya kasar, memaksanya untuk menatap wajahnya yang beringas.
Suja menampar Raksha beruntun, lalu diakhiri dengan meludah wajah Raksha.
“Sekarang kau menghindar?! Kau bocah degil tidak tahu malu! Sang Pahlawan Abimanyu tewas sia-sia karena ulah kalian, pecundang! Pantas saja Nusantara kembali dirundung kegelapan dan ketidakadilan! Gerombolan pengecut macam kalian bisanya hanya mengacau!” seru Suja kasar.
Dasar bodoh, hardik Raksha pada dirinya sendiri dalam hati. Dia tahu kalau teman-temannya di desa ini pernah meneriakan hal yang sama untuk membela diri mereka dari kezaliman para prajurit Kanezka. Hasilnya, mereka semua mati disiksa. Raksha yang masih bisa bernapas sepotong-potong dengan tubuhnya yang sudah ringkih karena luka lebamnya ini yang paling beruntung dari semua pemuda di desa ini.
“Ayo, Pendekar Dunia Arwah! Panggil semua siluman kalian!” tantang Suja sambil menghempas kasar Raksha. Dia memercikan debu dengan sepatunya sehingga kedua mata Raksha perih.
Suja berkonsentrasi penuh. Sekelebat, telapak tangan kanannya memancarkan cahaya yang merupakan manisfetasi dari Kanuragan Khsatriyans. Cahaya perak itu membentuk pedang tajam yang merupakan senjata suci atas anugerah Dewa Kartikeya. Ini adalah ajian sakti Pendekar Pedang Cahaya.
Raksha terdiam ngeri ketika Suja mengacungkan pedangnya tepat didepan wajahnya. “Mana?! Cepat keluarkan siluman kalian?! Kalian pelihara itu di tubuh kalian, kan?! Dasar orang-orang sinting!” sentaknya keras.
Raksha tidak bergeming. Dia tahu kalau Suja ingin dia mengakui kesalahan yang bukan dia perbuat. Dia juga tahu pedang di hadapannya itu bisa dengan mudah memenggal kepalanya. Kematian rasanya begitu dekat selama beberapa minggu terakhir semenjak pasukan kerajaan Kanezka menyerang desanya. Apakah masih ada harapan baginya?
Suja yang merasa diabaikan Raksha langsung naik pitam. Dia menghantam perut Raksha dengan gagang pedangnya hingga pemuda itu terjungkal.
Raksha sontak muntah karena rasa mual yang timbul. Sialnya, sang komandan menindih kepalanya hingga Raksha terjembab muntahnya sendiri.
“Ratusan tahun lamanya Nusantara damai dan dipenuhi kesejahteraan. Tapi kalian penjilat keluarga Mavendra malah membuat kekacauan dengan mencemari nama Sang Pahlawan Abimanyu demi keserakahan kalian! Apa kalian tidak malu?!” ejek Suja berapi-api.
Bohong, balas Raksha dalam hati. Sejauh yang dia ingat, Nusantara berlangsung damai di bawah kepemimpinan Sang Pahlawan Abimanyu. Namun semenjak Abimanyu meninggal, banyak isu yang terdengar kalau keluarga kerajaan saling berselisih untuk mencari penggantinya. Anehnya, pasukan keluarga Kanezka malah menuduh Pendekar Dunia Arwah, terutama dari Keluarga bangsawan Mavendra, sebagai dalang kekacauan tanpa alasan yang jelas. Dia sendiri tidak kenal dengan keluarga Kerajaan Mavendra yang dilansir sebagai pengkhianat Abimanyu.
Raksha tiba-tiba mendengar suara mendengung yang keras di belakangnya. Sekilas dia mengintip, dia kaget melihat pedang cahaya Suja kini berubah menjadi cambuk yang melesat ke arahnya. Dia reflek menutup kedua matanya sembari menggigit bibirnya ketika cambuk Suja mencabik-cabik punggungnya hingga berdarah.
“Aaggh...!” Raksha menjerit seraya menahan rasa perih yang tergurat kasar di punggungnya kini. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain membisu di era kezaliman ini.
“Kau masih menutup mulutmu, bocah?! Apa semua orang didesa ini begitu loyal dan bangga menjadi penjilat si pengkhianat Mavendra?! Benar-benar tolol! Sebegitu dungunya-kah kalian sampai tidak menghargai nyawa kalian sendiri?!” Suja mengumpat masih melanjutkan cambuknya tanpa ampun.
“Komandan, ini percuma! Lebih baik kita ganti orang lain saja!” teriak salah satu prajurit.
Suja menghentikan cambuknya lalu mengedarkan pandangannya sejenak, menatapi satu-satu tiap penduduk desa yang ketakutan. “Sudah satu bulan semenjak kita tiba dan kalian masih menyembunyikan pengkhianat?! Kalian beruntung Raja Widyanata tidak menyuruh kami membakar habis kalian dan desa terkutuk ini!” teriaknya mengancam.
Para penduduk desa hanya membisu sambil menundukkan wajahnya takut. Setiap dari mereka nasibnya kurang lebih sama dengan Raksha sekarang, penuh luka, kelaparan, sakit, dan hilang harapan hidup.
“Bawa keluarganya!” seru Suja kepada prajuritnya membuat Raksha tergidik ngeri.
Raksha memaksakan diri bangun di tengah tubuhnya yang remuk. Jantungnya mendadak berdegup cepat saat dia melihat prajurit Kanezka membawa paksa ayah, ibu, dan adik perempuannya yang masih berusia 10 tahun itu tepat 10 kaki di hadapannya. Tangan dan kaki mereka dirantai dan kepala mereka ditutup kain tebal sehingga mereka tidak sadar keberadaan Raksha yang babak belur didepannya.
Raksha merangkak sambil menahan perih ke arah Suja. “Tu-tuan....s-saya mohon….jangan libatkan mereka....mereka tidak bersalah....” pintanya dengan nada gemetaran.
“Akhirnya kau membuka mulutmu, bocah.” balas Suja sinis. Tatapannya kian bengis saat melihat Raksha memohon-mohon di sepatu zirahnya.
“Ka-kakak?! Tolong aku, kak! Aku takut!”
“Raksha? Apa itu Raksha?”
Adik dan ibu Raksha menebak-nebak saat mendengar sekilas Raksha yang mengemis dekat sang komandan. Raksha semakin cemas ketika prajurit Kanezka menampar adik dan ibunya karena gaduh.
“Tuan....saya mohon kebaikan hati tuan....jangan siksa keluarga saya....siksa saya saja...” Raksha memohon sambiil memegangi sepatu zirah Suja. Sayangnya, permohonan Raksha kala itu dibalas dengan tendangan kasar Suja hingga matanya kanannya bengkak.
“Hentikan! Kumohon hentikan! Biar aku saja yang tanggung semua ini! Kumohon, berikanlah keselamatan bagi keluargaku!” seru ayah Raksha keras.
Suja tertantang. Dia menjambak rambut ayah Raksha. “Kau yang paling pemberani dibandingkan semua pecundang di desa ini. Apa kau sudah putus asa? Atau kau hanya sekedar ingin melindungi keluargamu?”
“....aku...hanya yakin....kalau kita tidak bersalah....” balas ayah Raksha pelan.
“Hah! Sama saja seperti anakmu! Sepertinya desa ini penuh orang bebal! Aku hanya ingin kebenaran!” sentak Suja.
“Bohong. Kalian tidak menginginkan kebenaran. Kalian hanya ingin menzalimi kami dengan kekuatanmu.”
Suja tertawa keras meremehkan, dibarengi dengan tawa para prajurit dibelakangnya. “Menarik! Ternyata kau mengerti dengan semua ini!” serunya dengan antusias. Dia memfokuskan diri sehingga cambuknya memendar menjadi bulir cahaya yang kini berganti wujud menjadi pedang sakti.
“A-ayah! Jangan!” Raksha teriak panik. Dia buru-buru memohon kembali pada Suja. “Tu-tuan! Ini hanya salah paham! Kumohon maafkan mereka! Mereka hanya sedang ketakutan!” pintanya berkali-kali.
Namun Suja mengabaikannya. Raksha tidak bisa berkutik ketika kedua prajurit datang menahan tubuhnya erat.
Suja mengacungkan pedangnya ke arah langit. “Tidak ada ampun bagi para pengkhianat! Ingat baik-baik kataku! Raja Widyanata akan membunuh kalian semua! Tidak ada tempat bagi kalian di Nusantara ini, wahai Pendekar Dunia Arwah yang terkutuk!”
Sepersekian detik setelahnya, sang komandan menusuk adik Raksha. Semua gelak tangis dan jeritan takut adiknya hilang seketika.
“Tidak! Iraaa!” teriak Raksha histeris melihat adiknya tergeletak tidak bernyawa bersimbah darah.
Sang komandan lanjut menusuk ibu dan ayah Raksha. Keduanya jatuh bagai batang pohon yang baru saja tumbang ketika ditebang. Darah merembes deras memenuhi ketiga jenazah keluarga Raksha.
“Ayah! Ibu! Ira!” Raksha berteriak memanggil sambil memaksakan diri bangun, tetapi tubuhnya bergetar hebat lalu ambruk. Dia tidak cukup kuat karena luka yang dia dera sehingga dia kembali jatuh.
Air mata dan darah bercampur di wajah Raksha. Mulutnya yang penuh darah terus memanggil parau keluarganya, tetapi tidak ada jawaban. Mereka hanya menatap Raksha dengan tatapan kosong. Dia terus merangkak, mencoba merangkul tubuh mereka yang kian dingin. Ini semua percuma. Mereka telah tiada, meninggalkan Raksha sendirian dalam neraka ini.
Apa salahku?
Apa salah keluargaku?
Apa salah kami?
Kami hanyalah orang desa yang tidak tahu keributan orang-orang besar di kerajaan. Kami hanya ingin hidup tenang. Kenapa mereka tidak mengerti?!
Raksha menangis hebat sampai suaranya habis. Tidak dia dengar lagi tawa prajurit kerajaan Kanezka yang kini meninggalkannya. Para penduduk desa pun memalingkan wajah, tidak tega melihat nasib sial Raksha.
Semuanya meninggalkan Raksha. Semuanya. Kalau sudah begini, buat apa lagi hidup?
Lebih baik aku ikut dengan ayah, ibu, dan Ira di kehidupan berikutnya, batin Raksha. Semua kehidupan di dunia ini begitu menyakitkan. Rasa lelah dan nyeri yang mendera membuat Raksha memejamkan matanya. Kesadarannya berangsur hilang, kemudian semuanya gelap. Dia pingsan, diantara mayat ayah, ibu, dan adiknya sendiri.
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan