Gerimis masih belum lekang dari pandangannya. Adhira mengusap wajahnya yang penuh dengan memar kebiruan. Dia duduk dan menunggu rasa sakit itu sirna. Namun selama apa pun dia menunggu, tubuhnya tetap tak bisa pulih seperti sedia kala. Dia melangkah tertatih mendekati ruas jalan yang kini lebih lengang. Namun beberapa meter setelah berjalan, tubuhnya kembali ambruk.
Adhira mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ketika uluran tangan datang padanya. Siswa laki-laki bermata hitam dan berwajah tirus itu tersenyum ramah padanya. Dia Lodra Refendra dengan payung biru berdiri separuh membungkuk di hadapan Adhira. Dengan segera dia memindahkan Adhira ke tempat duduk di terminal bus.
“Kamu kenapa, Dhi?” Lodra mengeluarkan sapu tangan dari kantongnya dan mengelap wajah Adhira yang masih basah oleh air hujan. Entah sudah berapa banyak air yang menerpanya hari ini. Mungkin lumut akan melapisi kulitnya tak lama lagi.
“Aku tidak apa-apa,”
Ujian tengah semester berlangsung lebih khidmat dari biasanya. Entah mengapa, tidak ada murid yang berdesah kecewa pada saat Bu Tamara menyatakan waktu mengerjakan ujian telah usai. Lembar jawaban mereka digeser ke depan untuk kemudian diperiksa. Seluruh murid tampaknya berhasil melalui seluruh soal dengan baik. Bahkan Kuswan yang selalu mendapat nilai paling rendah pun bisa memperoleh angka yang jauh dari garis kelulusan.“Baik, ujian mid kali ini nilai kalian sangat memuaskan, pertahankan. Saya harap di ujian semester depan bisa lebih baik.” Bu Tamara berucap sambil melangkah keluar kelas.“Makasih ya,” bisik Kuswan. Dia seperti hendak mengecup tangan Adhira. Hal tadi membuat Adhira sontak menarik tangannya dari Kuswan. “Soalnya sama persis.”Adhira mengernyit sambil mengedipkan mata. Saat jam pelajaran kosong menjelang, Ervan menghampirinya. Tidak biasanya orang seperti Ervan berjalan ke meja belakang di jam istirahat.
Marmut bercorak putih kekuningan bermunculan dari balik pohon merbau berakar lebar itu. Laila mengelus salah satunya penuh semangat. Dia menyodorkan potongan wortel untuk mereka. Kini tubuhnya sudah dikelilingi puluhan marmut.“Lili!” seru Adhira turun mengejarnya memasuki kawasan hutan. “Apa yang kamu lakukan?”Adhira bernapas tersengal setelah dari tadi berkeliling bangunan panti mencari gadis kecil itu.“Papa!” Laila berdiri di antara marmut-marmut sambil menandak-nandak.Sambil menghela napasnya Adhira melangkah mendekati Laila. “Lain kali jangan jalan jauh-jauh.”Adhira mengamati kantung yang berisi potongan wortel yang tengah dibagikan ke para marmut itu. Pantas saja makan siang mereka hari ini tidak ada wortel. Semua persediaan wortel sudah diselundupkan Laila untuk hewan kecil ini.“Kamu jangan panggil aku papa lagi. Aku bukan papamu.”“Papa!” Laila terlih
“Kalian baik-baik saja?”Dia tentu saja tak lupa dengan jantung Adhira yang hampir melompat dari kerangka rusuknya. Jika saja Ervan terlambat sedetik, entah berita apa yang akan diumbar dalam majalah pencinta lingkungan itu? Itu pun kalau ada yang tahu dan menemukan mereka dalam belantara ini. Barangkali jiwa mereka saja tak akan bisa membangunkan kekhawatiran orang-orang. Tapi Ervan tidak sama dengan orang-orang itu. Dia memperhatikan setiap jengkal pori-pori wajah Laila dan Adhira. Dia bahkan menggunakan jemarinya yang selalu bersih dari kotoran itu dan disekanya potongan daun kering yang masih terjerembab di leher Adhira.Hewan peliharaan tadi teronggok bersama hadiah kecil yang sedari tadi disuguhkan oleh Ervan. Bercak darah masih tertinggal di seragam beraroma lavender itu. Adhira segan membersihkannya karena pasti akan sulit melakukan hal itu.“Aku? Ya.” Adhira menelan ludahnya yang kental. Ketakutan belum seluruhnya menyingkir. &ld
Bus menuju sekolah biasa melintasi jalan ini setiap tiga puluh menit sekali. Dengan jarak dari rumah ke sekolahnya saja Adhira sudah sering terlambat. Apalagi dengan tinggal di panti yang jaraknya tiga kali lipat itu. Namun ternyata tinggal di tempat itu membuat Adhira memiliki jadwal tidur lebih awal. Bunda Safira tidak segan-segan mengunci pintu kamar jika masih ada anak-anak belum tidur di luar jam istirahat. Tidak banyak yang bisa dilakukan Adhira kecuali tidur agar bisa bangun lebih awal keesokan harinya.Siang itu Adhira dibawa kedua kakinya mendekati rumah keluarga ‘Osman’. Dia berharap tidak ada paman ataupun bibinya di tempat itu. Walau itu sangat mustahil. Durga tidak akan melepaskan anak sematawayangnya walau sejengkal pun saat ini.Saat Adhira menginjak lahan rumah berpagar ilalang itu, terlihat mobil Om Willian keluar dari gerbang. Kiara berada di dalamnya. Mungkin hari itu adalah jadwal terapinya. Kuswan bilang dia pernah melihat Kiara di Ruma
“Diskusi kita mengenai konsep utilitarian yang menjadi etika dilema waktu itu membawa kita pada prinsip yang lebih dalam lagi.” Profesor Alan berucap sembari mengutip bait terakhir dari buku filsafat di hadapannya. Entah ada angin apa guru besar itu bisa mampir ke kelas mereka lagi. Bahkan pelajaran Pak Heno pagi ini diundur sampai nanti sore. Yang artinya kelas akan berakhir lebih lambat hari ini.“Kita mulai dari sebuah ilustrasi yang dari sisi yang berbeda. Data yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan ada sekitar dua juta orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.”Semua terhenyak bingung. Setiap penjelasan pria tua itu mengandung kejutan makna yang belum mereka sadari hingga akhir pelajaran, tapi mereka tetap saja larut dalam diskusi demikian.“Ada beberapa cara untuk mengatasi kejadian demikian,” lanjutnya. “Perusahaan mobil membuat mobil otomatis yang dapat menyetir sendiri demi mengu
Bel tanda pulang sekolah berdering setelah satu pelajaran terakhir usai. Adhira segera bergegas membereskan barangnya dan beranjak dari pintu keluar, ketika Bu Tamara mencegatnya.“Adhira, kamu tidak ikut kelas matematika lagi?”Adhira menggeleng. “Maaf, Bu, saya masih ada urusan yang harus diselesaikan.”“Adhira, kamu tahu perlombaan akan diadakan satu bulan lagi. Jika kamu terus malas-malasan, saya tidak bisa mengajukan namamu.”Adhira mengernyit tipis sambil mengangguk. “Sepertinya Erdos lebih ingin menjuarai lomba tahun ini. Dia bisa menggantikanku.”“Adhira!” pekik Bu Tamara sedetik setelah Adhira meninggalkannya tanpa alasan jelas.Separuh berlari, dia melewati ruang rapat para guru yang ketika itu tengah ramai. Ada Ervan di tengah-tengah mereka. Kepalanya tertunduk dalam di hadapan Haris Sadana dan juga Alan Sadana. Entah kejadian apa lagi yang membuat dia begitu malang hingg
Adhira mengelilingi daerah perempatan yang selalu ramai dipadati mobil dan pejalan kaki itu. Pasti ada kamera pengintai yang merekam kejadian kecelakaan kemarin. Dia tak akan melepaskan kesempatan menangkap siapa saja yang memiliki andil bagi kehancuran masa depan Kiara.Ada tiga kamera yang bisa dijadikan bahan untuk konfirmasi dan bukti kecelakaan tersebut. Dua rekaman yang didapatkan Adhira dari pemilik toko telah dimusnahkan. Hanya satu kamera yang terletak lebih jauh dari lokasi kejadian. Itu pun diperoleh Adhira setelah menyogok pemilik toko.Sekarang bukti ada di tangannya. Dengan cepat Adhira berlari ke rumah lamanya. Baik Kiara atau Om Willian belum pulang. Tante Durga tengah sibuk meracik bahan untuk membuat kue lagi. Adhira menyelinap masuk ke pintu belakang.“Adhi…?” Durga membelalak heran. Dilepaskannya loyang kue yang hendak diolesi margarin itu.“Tante, di mana Kiara?”“Kamu mau apa ke sini?&rdquo
Adhira menegakkan tubuh wanita yang lunglai itu. Darah masih mengalir deras saat dia menggeser tubuh tadi lebih jauh dari tanah. Hal itu membuat Adhira hanya bisa mempertahankannya dalam posisi semula.“Bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Adhira melirik ke arah Lodra yang masih berdiri di ujung lorong tanpa bisa bertindak apa-apa.Jemari Durga langsung menggenggam lengan Adhira dengan erat seolah mencegahnya melakukan hal itu. Dia menggeleng lemah. Ada kata-kata yang hendak dia ucapkan lagi.“Berjanjilah kalau kamu akan menjaga Kiara untukku.”Entah bagaimana Adhira tak lagi bisa memikirkan cara menghadapi adiknya itu jika mengetahui keadaan Durga di sini. Terbunuh karena melindungi dirinya. Apakah dia begitu pantas dilindungi hingga satu nyawa harus kembali dikorbankan? Dia tak kuasa menyakiti Kiara lebih lanjut. Terlebih setelah hidupnya sudah dihancurkan oleh orang yang sama.“Jangan mati,” gumam