"Aduh, bos! Sudah lama tidak ke sini," Suara perempuan muda itu terdengar manja dan menggoda di tengah riuh rendah kasino. Sebuah tangan bersarung renda hitam meluncur hangat langsung mengelus dada Jevan melalui setelan jas mahal yang dikenakannya. Jevan hanya tersenyum tipis. Namun, matanya tidak beranjak dari meja craps, tempat dadu-dadu bergulir membawa janji dan kehancuran di hadapannya. Perempuan itu akrab disapa Vanya. Vanya adalah salah satu staf senior di kasino ini. Vanya tahu persis cara membaca dan melayani tamu VIP dengan kebutuhan serumit Jevan. Vanya menaruh gelas wine kristal berisi Cabernet Sauvignon di hadapan Jevan. Aroma anggur merah yang kaya itu langsung menyebar dan beradu dengan aroma asap cerutu, cologne mewah, serta parfum mahal yang menguar dari lantai kasino. "Terimakasih," ucap Jevan dingin. Kemudian, ia segera mengambil gelas itu. Ia menyesapnya perlahan dan membiarkan rasa pahit anggur membasahi lidahnya. "Malam ini mau bermain apa, Bos? Roulette
"Mari kita eksekusi," bisik Mela dengan matanya yang tetap terpaku pada layar laptopnya. Tekadnya membara hingga tak menyisakan tempat bagi keraguan. Hari ini adalah hari kepulangannya dari rumah sakit. Ia sedang menghabiskan waktu menunggu Jevan pulang dari kantor. Sambil menunggu, ia menggunakan kemampuan meretasnya untuk membobol rekaman CCTV rumah sakit di lantai kamar inapnya. Jevan gagal mengejar orang yang menguping kemaren sehingga Mela bertekad mencari tahu identitas sosok misterius itu sendiri. Ia segera memindahkan kursor laptopnya dengan cepat ke beberapa klip video CCTV terbaru yang berhasil ia unduh. "Siapa yang menguping malam itu?" bisik Mela pelan, tapi optimis. Jari-jemarinya yang lincah terus memperlambat dan mempercepat rekaman hingga ia menemukan frame krusial saat Jevan terkejut dan berteriak. "Ini dia," ucap Mela pelan. Jantungnya berdebar kencang saat klip itu memutar momen pelarian sosok berjubah hitam itu. Mela segera memperbesar ukuran video yang
""Apakah kamu sudah sadar?" Mela membuka matanya perlahan-lahan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali karena sekelilingnya terasa gelap dan hanya ada bias cahaya remang-remang dari lampu malam. Kepalanya terasa berputar-putar sedikit sehingga membuatnya sedikit tidak nyaman dan pusing. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi semuanya masih terasa kabur dan seperti mimpi buruk. Ia merasakan bau antiseptik yang khas yang membuat dirinya yakin memang ia berada di rumah sakit. Mela bangkit dari posisi berbaringnya menjadi posisi duduk di ranjang rumah sakitnya. Akan tetapi, rasa sakit yang tajam di kepalanya membuatnya terhenti sejenak. Ia merasakan seperti ada sebuah denyutan yang kuat yang menerjang kepalnya. Ia memutuskan untuk memejamkan mata lagi dan membiarkan kegelapan meredakan pusing yang menyerang. "Tidur lagi saja jika kamu masih pusing, sayang. Biarkan suamimu ini merawatmu. Kamu hanya perlu beristirahat," kata Jevan dengan suara yang dalam dan menenangk
"Apakah kamu gila?" Ucapan Javier itu hanya masuk telinga kanan Lisa dan keluar dari telinga kiri Lisa tanpa meninggalkan kesan apa pun. Lisa sendiri memilih bersiul santai sambil memasukkan tangannya ke saku jaketnya. Lisa bersikap seolah tidak peduli dengan kemarahan Javier. Dengan langkah santai, Lisa berjalan menjauh dan meninggalkan Javier yang semakin kesal. Javier memandang Lisa dengan mata marah, tapi Lisa tetap tidak memperdulikannya. Dengan langkah tegap dan wajah marah, Javier mengejar Lisa hingga berhasil menariknya ke area lorong rumah sakit yang sepi dan sunyi. Ia memojokkan Lisa di sudut lorong sehingga membuat Lisa tidak bisa melarikan diri. Mata Javier menatap tajam ke arah Lisa sedangkan Lisa sendiri terlihat santai dan bersikap seolah tidak terpengaruh oleh kemarahan Javier. "Sekarang kamu harus menjawab pertanyaanku," kata Javier dengan nada keras dan memegang kedua pundaknya Lisa. "Aku harus menjawab apa?!" tanya balik Lisa dengan nada tidak peduli. Ia me
"Nona Mela," ucap seseorang sambil menepuk pundak Mela. Mela merasa terkejut dan langsung membalikkan badannya secara refleks. Pandangannya yang semula fokus pada pemandangan di depannya kini beralih ke wajah orang di belakangnya. Matanya memancarkan rasa bingung dan penasaran. "Siapa anda? Dan bagimana anda mengenal saya?" tanya Mela dengan nada waspada karena ia tidak mengenal pria di hadapannya ini. Javier tersenyum manis dan menjulurkan tangannya. "Saya hanya mengira itu nama anda karena sapu tangan ini jatuh dari saku gaun anda," ucapnya sopan sambil mengulurkan sapu tangan kepada Mela. Mela melihat sapu tangan itu dan terkejut melihat bordiran nama "Mela" yang memang miliknya. Ia merasa sedikit malu karena tidak menyadari sapu tangannya jatuh. Kemudian, ia langsung mengambilnya dari tangan Javier. "Maaf tadi saya tidak menyadari bahwa sapu tangan milik saya terjatuh. Terima kasih sudah mau mengembalikannya," kata Mela dengan senyum sambil memasukkan sapu tangannya ke dal
"Galeri Cendrawasih," bisik Mela sambil menghela napas panjang, merapikan blazer hitamnya, dan melangkah masuk dengan tegap. . Tujuan Mela hari ini bukan sekadar menghadiri lelang, melainkan untuk mencari kebenaran tentang perusahaan milik mendiang ayahnya. Ia tidak hanya menunggu konfirmasi dari pengacara mendiang ayahnya. Ia harus bergerak cepat dan membuktikan firasatnya bahwa pamannya telah memalsukan dokumen utang untuk mengambil alih perusahaan itu. Mela ingin menemukan bukti yang tak terbantahkan untuk membuktikan kebenaran dan mengembalikan haknya. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membalikkan keadaan dan memberikan keadilan bagi sang ayah. Dengan tekad yang kuat, Mela siap menghadapi apa pun yang akan terjadi demi mencapai tujuannya. Mela pun langsung masuk ke dalam galeri. Suasana lelang terasa ramai dan teratur. Para kolektor dan penikmat seni berbisik-bisik sambil menatap katalog lelang. Mata Mela mencari-cari kesana kemari. Tak lama kemudian, matanya menangk