Share

Bab 9. Maafmu Tidak Bisa Mengubah Hidupku

“Uang segini mana cukup untuk beli skincare! Tambah!” pekik Desi pada Aruna dengan nada yang sarkas.

“Tidak ada lagi, hanya ada itu!” jawab Aruna.

“Alaaahh! Bohong! Duit jual diri kan lumayan! Ya masa beliin Ibu skincare saja kamu gak sanggup! Kamu kemurahan kasih harga atau gimana sih? Gak becus cari duit!” sahut Desi.

Kedua telapak tangan Aruna terkepal kuat, ingin rasanya ia mendaratkan sebuah tamparan di pipi sang ibu tetapi sayangnya otak dan pikirannya masih waras. Walau ia tak begitu menyukai sikap sang ibu dan selalu di buat kesal, tapi ia tak berani jika harus bersikap kasar pada ibunya sendiri.

“Jaga ucapanmu ya, Bu! Aku tidak pernah menjual diri!” ucap Aruna dengan gigi yang menggertak kesal. Amarahnya ia tahan sekuat mungkin.

“Udah deh Aruna gak usah bohong! Ibu tuh tau kamu pasti jual diri kan di sana? Cih! So-soan gak ngaku,” ucap Desi dengan sudut bibir yang terangkat sebelah, ia merapatkan kedua tangannya di bawah dada dan menatap Aruna dengan tatapan yang terlihat hina. “Bapak sama anak sifatnya gak beda jauh! Pandai berbohong! Buah jatuh memang gak jauh dari pohonnya.”

“Cukup ya, Bu! Kalau ibu benci sama laki-laki itu, ya benci saja dia! Jangan melampiaskannya sama aku! Situ yang murahan kok malah nyalahin orang!”

“Heh! Lagi-lagi kamu berani padaku, huh?” pekik Desi.

Plak!

Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi Aruna.

“Dasar anak tidak tahu diuntung, masih bagus kamu aku lahirkan!” Lagi-lagi Desi mengatakan hal yang sama hingga Aruna bosan mendengarnya.

“Sudah aku bilang kalau aku pun tidak sudi dilahirkan olehmu!” jawab Aruna seraya memegang pipinya. Ia lantas langsung berbalik dan berjalan ke arah pintu hendak segera pergi ke club malam tempatnya selama ini bekerja.

Desi juga ikut berjalan hingga akhirnya berdiri di ambang pintu. “DASAR ANAK HARAM! ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG DAN TIDAK BERGUNA! PERGI DAN ENYAHLAH KAMU, ARUNA!” teriak Desi.

Aruna yang baru saja membuka pintu pagarnya itu menutup telinga dan terus berjalan. Setetes air mata dengan tiba-tiba keluar dari matanya hingga membasahi pipi.

***

Pukul 19.30

Nathan menghentikan laju mobilnya di seberang jalan sebuah rumah yang berada di dalam komplek perumahan yang biasa-biasa saja.

Rumah itu berada di paling sudut jalan dan rumah yang paling biasa-biasa saja di antara rumah yang lainnya, jauh sekali dari kata mewah.

Nathan yang sejak tadi duduk bersandar itu terperanjat kaget saat melihat Aruna yang baru saja keluar dari rumah yang sejak tadi diawasi. Terlihat Aruna yang keluar dari rumah itu dengan kepala yang menunduk seraya memegang pipinya. “Lia,” gumam Nathan.

“DASAR ANAK HARAM!” teriak seorang wanita.

Mata Nathan sontak langsung beralih dari Aruna pada wanita yang sedang berdiri diambang pintu.

“ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG DAN TIDAK BERGUNA! PERGI DAN ENYAHLAH KAMU, ARUNA!”

Nathan sontak langsung melihat ke arah Aruna lagi, dilihatnya Aruna yang sedang berjalan seraya menyeka air mata di pipi kemudian menutup telinga.

“Itu ... ibunya, Lia? Dan dia mengatakan seperti itu pada, Lia?” gumam Nathan tak percaya kata-kata hinaan seperti itu bisa terucap dari mulut seorang ibu. “Ya ampun, jahat sekali.”

Nathan lantas langsung menyalakan mesin mobilnya lagi, ia mengikuti Aruna yang sedang berjalan ke arah jalan utama menuju jalan raya.

Saat mobilnya itu berhasil mendekati Aruna, Nathan langsung menghentikan laju mobilnya itu depan Aruna. Hingga Aruna yang sedang berjalan sontak langsung menghentikan langkahnya.

Alis Aruna bertaut saat melihat mobil yang begitu asing ia lihat itu tiba-tiba saja berhenti di depannya.

Namun, tiba-tiba raut wajahnya berubahnya seketika dengan memasang raut wajah yang terlihat kesal saat melihat Nathan yang keluar dari mobil dan berjalan menghampirinya.

“Dia ternyata,” gumam Aruna, ia menatap Nathan dengan tatapan yang malas, “Mau ap—” Belum sempat Aruna mengucapkan kalimat pertanyaan, Nathan sudah lebih dulu memeluknya. “Ck! Apa yang kamu lakukan, huh? Dasar pria cabul! Mesum! Lepaskan aku!” teriak Aruna meronta seraya menepuk kasar punggung Nathan yang masih memeluknya. “Sekarang kamu benar-benar berniat ingin melecehkan aku, huh?” tanya Aruna.

Nathan tak menjawab ucapan Aruna, ia masih menikmati pelukan hangat yang sudah lama ia rindukan sejak dulu.

Dulu, Aruna selalu memeluk tubuhnya berusaha menenangkan jika ia sedang merasa kesulitan. Pelukan Aruna terasa hangat dan membuat kesulitan yang ia rasakan terasa sirna. Aruna selalu berhasil membuatnya merasa nyaman.

“Lepaskan aku!” pekik Aruna berusaha mendorong tubuh Nathan.

“Apa kamu tidak merindukan aku, Lia?” tanya Nathan.

Tenaga Aruna saat berusaha melepaskan tubuh Nathan yang sedang memeluknya itu terasa hilang begitu saja saat Nathan memanggilnya dengan panggilan Lia.

Nama yang tak pernah ia dengar lagi setelah sekian lama.

“Kamu kemana saja selama ini? Kenapa pergi tanpa berpamitan?” tanya Nathan.

Tangan Aruna mulai turun ke bawah tak lagi berusaha melepaskan tubuh Nathan yang memeluknya, ia kini mulai pasrah. Aruna membuang napasnya dengan sangat kasar kemudian berucap, “Jadi Tuan Nathan Haidar Bagir ini sudah tahu aku ini siapa?” tanya Aruna.

Nathan melepaskan pelukannya dan menatap Aruna.

“Bagaimana rasanya bertemu dengan mantan kekasih yang dulu sangat menjijikkan ini?” tanya Aruna dengan bibir yang memberikan seulas senyum. Tangannya juga mulai terlipat di bawah dada.

“Maafkan aku atas kesalahan yang aku lakukan di masa lalu. Mari kita lupakan masa lalu dan jalani hidup kita di masa depan,” ucap Nathan.

Kedua tangan Aruna mengepal dengan sangat kuat, ia langsung mencengkram kerah baju Nathan dengan sangat kasar dan menariknya. “Melupakan masa lalu katamu? Kamu tidak lihat bagaimana kondisi hidupku sekarang, huh?” tanya Aruna dengan gigi yang gemeretak, “Karenamu hidupku tak berarah seperti ini! Karenamu aku jadi dicap sebagai wanita murahan seperti ini dan karenamu juga aku jadi semakin dibenci ibuku!” ucap Aruna.

Ia menghempaskan tangannya yang berada di kerah baju Nathan dengan sangat kasar. Pria itu menunduk tak berani menatap Aruna.

Mata Aruna mulai berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ia tahan air matanya agar tak tumpah.

“Aku mengalami trauma berat setelah dipermalukan olehmu, aku tidak berani melihat cermin menatap wajah dan tubuhku! Aku tidak berani datang ke sekolah karena malu, aku juga putus sekolah karenamu, Nathan! Ibuku marah besar karena aku tidak mau datang ke sekolah. Aku di siksa dan dimaki habis-habisan. Anak yang dia pikir bisa mengubah hidupnya dan bisa sukses malah mengubur impiannya. Dia berniat ingin membuatku sukses agar dia bisa membuktikan pada orang lain kalau dia ibu yang hebat! Tapi karena permainan sialanmu itu aku jadi takut dan impiannya membanggakan aku sirna!” pekik Aruna.

Nathan masih menunduk, ia masih tidak berani menatap Aruna karena rasa bersalahnya.

“Apa kamu tau apa saja yang sudah aku lalui setelah putus sekolah, huh? Bukan hanya dibenci ibuku, aku juga dijadikan sumber keuangannya! Ibuku tidak mau bekerja dan aku terpaksa harus bekerja padahal waktu itu usiaku masih belasan tahun. Kamu pikir aku menjadi kurus seperti ini karena diet setelah dicampakkan olehmu? Sayangnya tidak! Karena trauma itu aku menjadi tekanan batin! Belum lagi mendapatkan kata hinaan dari ibu sendiri membuatku stress dan itu karenamu, Nathan!”

Nathan memejamkan mata saat Aruna banyak bicara.

“Bertahun-tahun aku hidup menderita sampai akhirnya aku berhasil mendapatkan penghasilan yang lumayan. Tapi apa aku senang? Tidak sama sekali! Bekerja di tempat hiburan malam bukan impianku, Nathan! Aku lelah menghibur pria hidung belang, aku lelah dikatai wanita murahan oleh ibuku sendiri, aku sakit saat dikatai wanita rendahan dan aku capek dikira menjual diri! Aku capek menjalani hidup yang seperti ini, aku lelah ….”

Hiks hiks hiks.

Aruna berjongkok menutup wajahnya saat tak tahan ingin menangis. Ia terisak cukup keras di hadapan Nathan.

Nathan menelan salivanya, matanya juga mulai berkaca-kaca saat mendengar Aruna berucap, ia tidak tahu kalau permainan taruhan yang ia lakukan bersama dengan teman-temannya itu akan membuat hidup seseorang jadi hancur.

Ia juga tidak menyangka karena perbuatannya pada Aruna membuat gadis itu jadi menjalani hidup yang sulit.

“Lia, tolong maafkan aku.” Nathan memeluk Aruna yang sedang berjongkok.

“Maafmu tidak bisa mengubah hidupku!” pekik Aruna mendorong tubuh Nathan hingga pria itu terduduk di aspal jalanan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status