Home / Rumah Tangga / Derita Pernikahan Paksa / part 4 melarikan diri

Share

part 4 melarikan diri

Author: Asnafa
last update Last Updated: 2024-01-18 21:16:40

PAGI HARI...

Suara merdu kicau burung menyapa dari balik jendela. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik baru terbangun dari tidurnya dengan tangan yang masih menggantung, disertai rasa sakit dan pegal di sekujur tubuh.

"Akh..." rintih Vivian. Wanita itu melihat pergelangan tangannya yang masih menggantung sambil berusaha melepas ikatan kain itu secara perlahan.

Cklek...

Seorang pria keluar dari kamar mandi dengan dibalut sehelai kain handuk yang melingkar di pinggangnya. Sambil mengeringkan rambut dengan acak, tiba-tiba pandangan pria itu langsung tertuju pada wanita yang masih menggantung di sudut ruangan, terlihat sedang berusaha dengan tubuh lemas dan kelelahan.

Melihat pemandangan itu, tiba-tiba sudut bibir Max terangkat, melihat istrinya menderita, membuatnya puas dan bangga.

"Pfftt...dia berusaha?" batin Max ingin tertawa.

Dengan langkah panjang, Max mengambil pengering rambut tanpa menghiraukan Vivian sedikit pun, membiarkan tubuh wanita yang lemah itu berusaha sekuat tenaga. Di sisi lain, rasa perih semakin terasa, pegal di sekujur tubuh juga menjadi kendala besar bagi Vivian untuk terlepas secepatnya.

"Tolong...lepaslah...lepas..." harap Vivian sembari memutar pergelangan tangan. Namun naasnya sekuat apa pun berusaha, ikatan kain itu tak bisa longgar sedikit pun, bahkan membuat pergelangan Vivian semakin terasa perih.

Di sisi lain, seakan tak mempedulikan, Max diam-diam tengah memperhatikan gerak-gerik istrinya. Usaha melarikan diri yang Vivian lakukan membuat Max terbahak-bahak dalam hati.

"Haha...menyenangkan juga."

Setelah mengenakan celana yang hanya mencapai lutut, dengan asal Max mengambil sebuah kaos di lemari dan langsung mengenakannya dengan cepat.

Max bergegas keluar, meninggalkan Vivian yang seakan tak terlihat oleh matanya. Wanita yang hampir kehabisan energi itu melihat Max melangkahkan kaki. Ketika Max menutup pintu, tanpa sengaja tatapan mereka bersatu, dan dengan kejamnya pria itu menampakkan senyuman tipis dan samar-samar terlihat gerakan bibir tanpa suara seolah mengatakan "nikmatilah."

Bak!

Pintu tertutup meninggalkan Vivian sendiri. Namun hal itu bukanlah sepenuhnya pertanda buruk, Vivian semakin memiliki banyak waktu untuk melarikan diri. Hanya saja energi yang dia miliki sudah terkuras habis.

Demi bisa kabur, wanita itu berusaha berpikir untuk lepas secepatnya, menarik kain yang mengikat tangannya sekuat-kuatnya, mengerahkan segala energi yang masih tersisa.

Bak!

Dengan tarikan yang sangat kuat, Vivian berhasil menarik kain yang mengikat lengannya.

"Ugh...aku harus cepat pergi dari sini."

Rasa pegal sedikit terobati dengan posisinya yang sudah tidak menggantung lagi. Sebelum Max kembali, Vivian bergegas secepat mungkin mengambil alat yang mampu melepas ikatan yang melilit kuat di pergelangan tangannya.

"Pisau, aku harus menemukannya."

Untung saja dia masih mengingat di mana letak benda tajam yang Max simpan kemarin malam. Dengan cepat Vivian mengambil sebuah benda tajam di dalam laci tepat di samping ranjang tempat Max menenangkan diri.

Pisau ditemukan. Tanpa berlama-lama dia meletakan pisau di antara kedua kakinya, menyayat kain di pergelangan tangannya sambil sesekali melihat keadaan memastikan ke tidak hadiran pria iblis di sekelilingnya.

Srekk...

Alhasil setelah kuat berusaha, Vivian dapat melepas ikatan itu. Dengan ketakutan dan trauma yang begitu dalam, Vivian dengan cepat membuka jendela hingga terasa tamparan angin di sekujur tubuhnya. Tanpa pikir panjang wanita itu menarik tirai, kemudian mengikatnya menjadi sebuah tali yang dapat mencapai tanah.

"Cepatlah, aku harus cepat."

Rasa ketakutan masih mengelilinginya, secepat mungkin Vivian melancarkan aksi, mengikat tali pada celah jendela dan mulai melarikan diri.

Sedikit demi sedikit, wanita itu menggenggam ikatan kain yang telah dia buat, hingga pada akhirnya dia berhasil turun dengan selamat. Namun ketika dia melihat ujung tali untuk terakhir kali, tiba-tiba sebuah senyuman dari atas jendela mengarah kepadanya.

"Run..."

Deg!

Secepat mungkin Vivian berlari. Detak jantung yang berpacu semakin cepat telah membutakan akal pikiran. Entah ke mana arah yang dia tuju, pikirannya sudah tak bisa berfungsi lagi, menjauh sejauh mungkin adalah tujuan utama mengatasi ketakutan ini.

"Hosh...hosh..." Vivian mengendalikan nafas sejenak. Dia terhenti di sebuah tempat yang entah di mana berada. Bola matanya menelaah ke berbagai arah yang dikelilingi pepohonan besar dan semak-semak belukar, sangat sepi dan sunyi.

Sejenak Vivian menenangkan diri dan mulai melangkah dengan pelan.

"Aku harus kemana lagi..."

Srek...

Tiba-tiba saja, suara aneh datang dari semak-semak, sontak saja Vivian menoleh. Dalam kondisi lemas, dia merasakan ketegangan kembali. Dia berlari sekencang mungkin untuk menghindar, berharap di seberang sana ada sebuah pemukiman yang mampu menyelamatkannya dari penyiksaan.

Sementara itu di balik semak-semak, seorang berseragam duduk mengintai dengan senjata pada salah satu tangannya.

"Wanita yang cantik."

....

Hari semakin gelap, kaki kecilnya sudah tidak mampu melangkah lagi, suara nyaring perut juga terus berbunyi, membuat Vivian memutuskan untuk berdiam diri sementara.

"Akh...lapar." Perut yang tak mendapat asupan sedikit pun menimbulkan nyeri amat luar biasa. Vivian meremas perut hingga terlihat kerutan kening serta tetesan keringat di wajahnya.

Setelah berpikir kembali, bersama Max ataupun tidak, penderitaannya tetaplah sama. Di hutan belantara tanpa tujuan, Vivian menyadari dan menyesal akan keputusan serentak tadi.

Tiba-tiba dalam bayangan samar bermunculan sosok ayah dan ibunda yang tengah menanti dirinya, lambaian tangan serta senyum kebahagiaan keluarga yang dia rindukan seketika muncul, membuat ukiran senyum manis di wajah wanita yang tengah bersandar di balik pohon besar. Hingga tak terasa rasa lelah ini sedikit demi sedikit berkurang, hingga malam tiba, wanita itu hanyut terpejam dalam balutan sunyi nya angin malam.

Tak... Tak...

Perlahan suara langkah kaki terdengar mendekat, menghampiri wanita yang tengah tertidur kelelahan. Kedua tangan kekar itu disimpan dalam saku, lalu berjongkok untuk melihat wajah Vivian dari jarak yang dekat.

"Rupanya kau disini... Istriku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Derita Pernikahan Paksa   part 87 maafkan papa (END SEASON)

    Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba

  • Derita Pernikahan Paksa   part 86 putus asa

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu

  • Derita Pernikahan Paksa   part 85 hanya agar dia bahagia

    Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab

  • Derita Pernikahan Paksa   part 84 kembalilah

    Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o

  • Derita Pernikahan Paksa   part 83 persalinan

    Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang

  • Derita Pernikahan Paksa   part 82 bingkai foto

    Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status