Pagi hari...
Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang."An! An!"Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya."Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala."Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.Air mata Vivian mengalir dari ujung mata disertai tangisan pelan."Hey sayang kenapa? Sakit lagi?" tanya Evelyn khawatir.Dia menggeleng kecil sambil berusaha menahan derai air mata bahagia."Ma... Aku ingin pulang..." adu Vivian seraya menggenggam kedua tangan sang ibu.Evelyn yang melihat putri tercintanya terlihat menderita, hanya membalas dengan pelukan hangat."Jangan menangis ya, kalau kangen mama, kamu bisa pulang," ucap Evelyn menguatkan."Enggak Ma... Aku ingin pulang..." ucap Vivian dengan isakan tangis yang semakin kencang.Wanita paruh memandang putrinya dengan pandangan teduh, seakan mengasihani namun tak bisa melakukan apa-apa."Mama... Tolong aku..., aku hampir dibunuh oleh manusia itu," adu Vivian."Mama... Aku ingin pulang..." Vivian mengencangkan tangisnya.Evelyn masih setia mendengarkan tanpa membalas, disertai pandangan mengasihani."Mama tidak percaya padaku?"Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, bukan sebagai balasan kepercayaan, namun seakan menyuruh Vivian untuk berhenti berbicara hal yang tak masuk akal."Lihat tanganku, aku digantung olehnya..." adu Vivian menyingsingkan lengan bajunya."Sudah... Kamu hanya bermimpi, An," ucap Evelyn sembari memegang kedua tangan Vivian."Bagaimana Mama bisa tidak percaya padaku?"Evelyn mengeratkan genggamannya seraya memandang Vivian khawatir hingga wanita itu perlahan melihat pergelangan tangannya sendiri."Bagaimana bisa?" batin Vivian tak percaya."Di tanganmu tak ada luka, sayang, kamu hanya bermimpi," ucap Evelyn menyadarkan.Set!Vivian menarik tangan, melihat dengan teliti letak bekas luka di pergelangan tangan yang tiba-tiba menghilang."Bagaimana bisa, aku..." Vivian masih belum percaya dengan apa yang dia lihat. Kejadian malam itu jelas dia rasakan dengan begitu nyata. Setiap menit, bahkan setiap detik ketegangan ketika melihat suaminya tidak pernah bisa terlepas dari pikiran Vivian. Bagaimana hal itu bisa disebut hanya sebatas mimpi?"Enggak... Ma... pokonya aku mau pulang, Mama, tolong aku..." ucap Vivian dengan derai air mata.Cklek..."Ma...""Oh, sudah bangun ya."Seorang pria datang membawa secangkir susu hangat mendekat dengan wajah berseri. Sementara itu, Vivian menggenggam erat tangan sang ibu, dengan detak jantung yang tiba-tiba melaju cepat, hawa dingin seakan menerpa hingga mengalirkan keringat dingin sedikit demi sedikit."Mah..." ucap Vivian pelan dengan pandangan lurus ke bawah.Max menyimpan pelan secangkir susu di atas laci."Mau minum dulu?" tawar Max, namun Vivian malah semakin mengencangkan genggaman kepada ibunya."An," ucap Max.Vivian diam membeku tanpa sedikit pun tergerak. Kuku kecilnya terlihat keluar menggerogoti tangan sang ibu."Max, sepertinya kamu harus..." ucap Evelyn menggantung."Aku mengerti, maaf aku malah harus merepotkan Mama di situasi seperti ini," sela Max kemudian melangkah pergi menjauh.Bak!Pintu ditutup rapat. Evelyn kembali menatap Vivian serius. Pernikahan ini memang pernikahan mendadak, Evelyn juga mengetahui ketiadaan cinta dalam pernikahan singkat tersebut, namun penolakan Vivian dengan cara seperti ini sungguh keterlaluan, melihat raut Max yang tampak kesal menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Evelyn."An, kamu hanya bermimpi," ucap Evelyn."Enggak Ma! Aku mengingat semuanya, aku ingat tindakannya padaku!" timpal Vivian."Kamu lihat mata tulus suamimu tadi? Bagaimana dia marah namun tidak bisa mengatakannya di depanmu, kamu lihat kan tadi?""Mama, dia hanya pura-pura! Aku..." bela Vivian terpotong."Sudah, kamu hanya bermimpi. Mama melihat igauanmu semalam dari ponsel suamimu, kamu terus memakinya dengan kasar. Coba pikirkan bagaimana perasaan Max mendengar makianmu semalaman?""Pikirkan lagi, kamu hanya bermimpi, perlakukan suamimu dengan benar ya, ini demi kebaikanmu juga," ucap Evelyn menasihati.Di sisi lain, Vivian tertunduk sambil mengeluh keras dalam hati."Bagaimana bisa aku memperlakukannya dengan baik, setiap kita bertemu saja, tak ada sedetik pun kesempatanku untuk bernafas dengan tenang," batin Vivian."Mama akan pulang malam ini, ingat apa yang Mama katakan, Mama sangat menyayangimu, An," ucap Evelyn mencium kening Vivian kemudian beranjak pergi.Sesaat semua tetap berjalan sama, tak akan ada yang berubah sekalipun semua orang tahu tentang ceritanya. Vivian meremas selimut sambil menggerakkan gigi.Cklek...Pandangan Max tertuju pada wanita yang tengah duduk dengan pandangan lurus ke depan.Seketika, Vivian berbalik menatap seseorang di awang pintu sana. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya masih mengeluarkan reaksi yang tetap sama, sekujur tubuh menegang disertai detak jantung yang kian berdenyut kencang."Masih takut?" tanya Max.Vivian terdiam membeku di tempat dia berada."Minum dulu, kamu butuh nutrisi," pinta Max sembari memberikan segelas susu.Vivian malah membalikkan wajah, enggan melihat wajah suaminya."Jangan takut, aku akan berlaku baik," ucap Max sembari mengelus pucuk kepala Vivian.Set...Ketika tangan pria itu hendak mengelus pucuk kepala istrinya, Vivian otomatis menghindar. Max menghela nafas, istrinya ini masih belum bisa menerimanya."Huh...sepertinya kamu perlu waktu sendiri, kamu bisa memanggilku jika butuh bantuan," ucap Max kemudian melangkah pergi.Setelah Max benar-benar menghilang dari pandangan, di sisi lain, Vivian tengah tertunduk merenung dengan sikapnya sendiri."Sebenarnya, sikap dia yang benar itu yang mana?" batin Vivian bergelut dalam pikiran.Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.