BAGIAN 38
POV AUTHOR
Flash back sepuluh tahun yang lalu ….
Ina merasa gelisah dengan rencana pernikahan sang anak sambung, Bayu. Pria yang selama ini dirawatnya dengan sepenuh hati, dengan tujuan agar kelak bisa membalas budi baiknya dengan limpahan harta, malah akan jatuh ke tangan wanita lain. Terlebih, wanita itu tampak sangat cantik dan berasal dari kalangan yang cukup mapan. Paket komplet. Tipikal istri idaman dan tak akan dilepaskan oleh Bayu sampai kapan pun.
Sebagai ibu sambung yang hingga detik ini tak mendapatkan kepastian tentang pembagian harta dari sang suami, satu-satunya harapan Ina untuk bisa menjadi jutawan suatu hari nanti hanyalah Bayu seorang. Dia telah mewanti-wanti, bila memang sang suami pada akhirnya tak memberikan sepeser pun harta buat diwariskan dan semua kekayaan ja
BAGIAN 39POV INADEMI KEHANCURANNYA Di sebuah ruangan kecil nan remang, aku kini berhadap-hadapan dengan seorang lelaki tua bertubuh kurus yang hanya mengenakan ikat kepala batik dan celana panjang lusuh berwarna abu-abu. Celana itu bahkan telah melorot dan harus diikat dengan tali rapia berwarna merah muda yang mencolok mata. Kuedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang hanya memiliki luas sekitar 2,5 x 3 meter tersebut. Dindingnya terbuat dari susunan bata merah yang plesteran semennya masih kasar dan serampangan. Sedang atapnya terbuat dari genteng tanah liat yang bila kulihat dari dalam sini, akan tampak cahaya matahari yang masuk lewat celah-celah kecil sebab pemasangan genteng yang tak rapi dan beberapa bagian juga ada yang telah retak maupun pecah. Aku bisa membayangkan bagaiman
BAGIAN 40POV ANWAR “Tidak! Hentikan!” Ina terus memberontak. Tangannya pun dengan kasar mendorong sendok yang kusodorkan. Prang! Sendok itu terjatuh di ubin. Sesuap nasi yang kukaut di dalamnya pun berhamburan mengotori lantai. Aku berang. Sebelum dia memporakporandakan barang bukti, kutarik wanita itu menjauh dari meja makan. Ina, dengan sangat berani, terus memberontak. Kedua tangannya dia tarik-tarik dari cengkeramanku. Aku tak peduli. Kutarik terus perempuan itu hingga ke ruang tamu. “Mas, apa-apaan kamu? Kenapa kamu memperlakukanku begini, Mas? Salahku apa?” tanya Ina dengan derai tangis yang hi
Bagian 41POV SaveroMalam Penculikan “Dia memang tidak gila,” gumamku pada diri sendiri usai meninggalkan ruang isolasi dua tempat Risti dirawat. Sambil berjalan menuju instalasi gizi yang berada di ujung sebelah barat bangunan RSJ, pikiranku entah mengapa terus dihantui oleh pasien berwajah cantik tersebut. Ada kegelisahan tersendiri selepas kutinggalkan dia seorang diri. Terlebih, aku sangat tahu betapa angker ruang isolasi sana. “Semoga Tuhan menjaga cewek itu,” gumamku lagi dengan suara lirih. Aku pun mempercepat langkah. Suasana bangunan induk RSJ Sumber Asih memanglah sangat mencekam apa
BAGIAN 42POV RISTI Dengan perasaan kesal campur gamang, aku berjalan menuju pintu kamar apartemen milik dokter Savero. Sementara itu, si empunya kamar malah cuek bebek. Duduk di atas ranjangnya dengan muka yang datar. Mana sambil melipat tangan di dada pula! Itu perut ke bawahnya juga tidak ditutupi selimut. Dasar tidak sopan! Ketika aku berdiri di depan pintu dan menarik kenop, ternyata pintu sudah dikunci. Tak ada anak kunci yang menempel pada lubang di kenop. Aku geram. Ingin marah besar sebenarnya. Namun, apa daya! Aku tidak bisa melakukan apa pun. Yang punya kuasa adalah dokter mesum itu! Salahku juga yang telah meminta tolong kepada orang tak jelas sepertinya. Argh, rasanya aku pengen teriak! “Mau ke mana?&rdq
BAGIAN 43POV BAYU “S-sekarang?” tanyaku dengan lidah agak berat dan dada yang kian kencang berdetak. “Iya, sekarang. Aku boleh, kan, mampir ke rumahmu? Kamu nggak lagi sibuk, kan?” Mbak Tika memberondong dengan serentetan pertanyaan. Nadanya memaksa. Makin membuatku ilfeel saja. Sungguh, sikap perempuan ini tambah jadi saja! “Aku agak sibuk, Mbak. Adikku, sedang kurang sehat. Setelah bertengkar dengan si gila Risti, badannya meriang. Aku sedang menyiapkan dia makan. Habis ini aku akan menyuapinya dan memijat tubuhnya.” Kubuat ragam alasan agar dia tak ke sini. Bisa gawat kalau perempuan itu nekat datang. Lia jelas pasti akan naik pitam dan bertanduk. Aku tak mau membuatnya mara
BAGIAN 44POV AUTHORMalam Penculikan II Dokter Savero menginjak pedal gasnya agak dalam. Pria 27 tahun yang baru saja dua tahun menerima sumpah jabatan sebagai dokter umum tersebut agak resah batinnya. Untuk kali pertama dia akan menginjakkan kakinya ke lantai tempat yang pernah dia sebut rumah, setelah sekian tahun dia tak pernah kunjung menginginkan kata ‘pulang’. Savero Zinio, seorang pria yang mendapatkan wajah blasteran dari pihak sang mendiang ibu, diam-diam menggigit bibir bawahnya. Dia memicingkan mata. Berusaha tetap fokus menyetir di tengah malam yang kian pekat. Savero tengah berpacu pada waktu, juga dengan adrenalinnya yang makin mencelat. Jantungnya berdebar. Pertama kalinya dia kini harus ikut campur pada masalah orang lain yang padahal tidak sama sekali diken
BAGIAN 45POV AUTHORMalam Penculikan III“Iya. Ayah di sini,” ucap Harie dengan suara yang tiba-tiba gemetar. Pria yang masih sangat macho tersebut mencengkeram kedua pundak sang anak. Coba ditepisnya rasa gengsi yang selama ini tanpa dia sadari telah menghancurkan hubungan mereka. “Masuklah. Jangan berdiri di depan pintu. Pamali,” kata Harie lagi sambil menarik tangan sang putra pertama. Savero menurut. Kakinya melangkah pelan mengikuti jejak sang ayah. Keduanya pun kini duduk di sofa besar dengan warna cokelat tua. Mereka duduk saling hadap-hadapan di bawah indahnya lampu kristal yang menggantung tepat di tengah langit-langit. “Sendirian?” tanya Harie lagi
BAGIAN 46POV BAYUMelenyapkan Mulut Sampah “Apa?! Ulangi sekali lagi!” Sebab luapan emosi yang membuncah, aku pun langsung berteriak membentak Lia. Kegeramanku sudah menyentuh ambang batasnya. Tubuhku meringsek maju. Membuat ekspresi Lia berubah menjadi ketakutan. “Ya, aku tidak mencintaimu, Mas! Aku hanya menginginkan hartamu dan harta papamu. Puas?!” Dengan suara yang bergetar, Lia berani-beraninya menjawabku. Di balik mukanya yang berubah pias, masih saja tersimpan arogansi dalam jiwa anak itu. Hati yang sudah hancur, semakin tambah lebur mendengar ucapan Lia. Kepal tinjuku yang sudah terbentuk dari tadi, kini merekah. Berganti dengan lima jari yang saling merapat, lalu mend