BAGIAN 61
POV ANWAR
Sementara mas-mas perawat IGD itu membantu kawannya yang diduga pingsan untuk berbaring di lantai, aku malah bergegas mencari di mana ruang isolasi dua tempat di mana Risti dirawat. Kakiku melangkah secepat kilat. Bunyi langkah pun juga terdengar di belakang sana. Saat kulihat, ternyata ada Budiman. Dia malah menyusulku.
“Bos, mau ke mana?” teriaknya sambil berusaha menyejajarkan langkah di sampingku.
“Cari ruang isolasi dua!” perintahku sambil celingak-celingkuh ke kiri dan ke kanan.
“Itu!” Budiman setengah berteriak. Napasny terengah. Dia menunjuk pintu di depan sana.
BAGIAN 62POV ANWAR “Dokter Savero? Siapa dia?” desakku. Namun, sialnya Gugun malah kembali terlelap. Kepalanya terkulai di atas pembaringan. Kuguncang pundaknya demi membangunkan perawat itu. Tiada hasil. Dia malah mendengkur. “Dokter Savero? Apakah jangan-jangan … Risti diculik olehnya? Atau … jangan-jangan dokter itu telah memberikan obat tidur pada perawat ini?” gumamku bingung. Aku gegas balik badan. Tergesa mendatangi sebuah ruangan yang berada di belakang meja kerja perawat dokter IGD tersebut. Kubuka kenop pintu ruangan yang ternyata terkunci rapat dari dalam. Sudah jam segini, bahkan petugas
BAGIAN 63POV ANWAR Aku benar-benar dilanda geram yang luar biasa. Ke mana lagi harus kucari dokter bernama Savero itu? Tanpa berpamitan pada si penjaga kost, aku langsung balik badan. Melangkah tergesa untuk masuk ke mobil. Kemudian dengan kesalnya aku mengendara tanpa tahu ke mana arah dan tujuan. “Sial!” umpatku setengah memekir. Sosok Budiman di sebelahku terlihat kaget. Dia sontak terbangun. Matanya gelagapan mencari-cari apakah gerangan yang telah membuatku naik pitam. “K-kenapa, Bos?” tanyanya tergagap.
BAGIAN 64POV ANWAR “B-begini Pak Anwar, mohon untuk kita selesaikan secara baik-baik,” ucap dokter Harie dengan bibir yang kulihat gemetar. Budiman langsung menahan pundakku. Hampir saja aku bangkit dari duduk untuk mengobrak-abrik makanan di meja. Sabar. Memang hanya sabar yang harus kulakukan, sementara stok yang kupunya makin menipis kadarnya. Napasku terengah. Benar-benar keterlaluan dokter ini. Apa yang sedang dia sembunyikan sebenarnya? Betul kan, dia hanya mengulur waktuku saja! “Sebelumnya, bolehkah saya bertanya. Siapa saudari Risti sebenarnya?” tanya dokter Harie dengan muka yang masih pias
BAGIAN 65POV ANWAR Gara-gara ucapan negatif Budiman yang melabeli apartemen ini sebagai kawasan prostitusi, pikiranku jadi semakin kacau balau. Sepanjang perjalanan dari halaman parkir hingga lobi menuju pintu lift, yang bisa kulakukan hanya diam melamun membayangkan hal yang bukan-bukan. Namun, ketika kami berempat—aku, Budiman, dokter Harie, dan sopir kantornya yang bernama Riki masuk ke dalam lift, barulah aku bisa buka suara sebab si dokter mengajak berbicara duluan. “Kita akan naik ke lantai dua belas. Tower ini jika dibandingkan dengan tower-tower di belakang sana, adalah yang terbaik. Pak Anwar jangan khawatir, ya. Menantu Bapak dijamin akan baik-baik saja selama berada di sini. Green Lake tower Cempaka, Anggrek, dan Tulip memang terkenal banyak cewek-cewek tak benar dan le
BAGIAN 66POV ANWAR “Papa!” Perempuan bertubuh sintal dalam balutan pakaian tidur putih tipis sekaligus menerawang itu bangkit dari duduknya. Risti dengan rambutnya yang tergerai hingga bahu itu gelagapan ketika turun dari atas ranjang. Dia tampak panik dan coba mendekatiku. “Savero! Apa yang sudah kamu lakukan dengannya di dalam kamar ini?!” Pekik dari suara milik dokter Harie menggema ke telingaku. Aku yang masih berpanas hati langsung menoleh ke belakang. Menatap pria bertelanjang dada yang sempat hendak ikut masuk ke kamarnya, ditarik paksa oleh dokter Harie. Aku makin terhenyak. Savero. Jelas sekali nama itu diungkap oleh dokter Harie. Dan feelingku ternyata tak meleset s
BAGIAN 67POV ANWAR “Syarat?! Syarat apanya?!” Savero yang berdiri di depanku membeliak besar-besar. Embusan napasnya yang laju dan berat terdengar begitu mengganggu di telinga. “Nikahi Risti. Perempuan itu kadung kamu lihat tubuhnya! Aku ingin, setelah dia bercerai dengan anakku, kaulah yang harus mengawininya!” ucapku tegas sambil menunjuk batang hidungnya. Dokter itu terkesiap. Dia diam. Mukanya tegang. Kala kupandang ke arah sang ayah yang duduk resah di sebelah Budiman, ekspresinya pun setali tiga uang. Sama-sama kaget dan tegang. “Anda setuju, kan, bila bermenantukan Risti?” tanyaku
BAGIAN 68POV RISTI Rasanya, tubuh dan jiwaku seketika seperti disambar dengan petir. Kabar yang Papa berikan barusan, terang menguras seluruh energi yang tersisa. Padahal, keterkejutanku dengan kedatangan Papa serta keributan antara Savero dengan ayahnya belum juga usai membelenggu. “Maaf bila Papa harus membuatmu syok. Namun, kamu wajib tahu tentang masalah ini sesegera mungkin,” ucap Papa menenangkan. Lenganku lalu digamit oleh Papa. Aku yang hampir saja terjungkal ke lantai lift saking terkejutnya, kini dapat berdiri dengan bantuan itu. Kami pun akhirnya berjalan menuju parkiran dengan mulut yang sama-sama senyap. Aku belum sanggup berkata-kata lagi. Detak jantungku bahkan masih berdegup sanga
BAGIAN 69POV RISTI “L-lalu … kenapa Mas Bayu membunuh Lia, Pa?” “Itu karena Lia mengaku tidak mencintai Bayu. Dia hanya ingin memanfaatkan harta anakku saja. Bayu langsung geram dan kalap. Bersyukurlah, nyawamu masih aman, Risti. Ada yang lebih tragis nasibnya, yaitu Lia. Usianya masih sangat muda dan nyawanya lenyap begitu saja hanya karena masalah asmara serta harta.” Mata Papa terlihat sangat prihatin. Kutahu bahwa sebenarnya Papa memiliki hati yang sangat baik. Jauh berbanding terbalik dengan anaknya, Mas Bayu. Aku pun memilih diam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tanya di kepalaku kini mulai terjawab satu per satu. Ada lega di dada, tetapi terbesit pula sebuah gund