BAGIAN 66
POV ANWAR
“Papa!” Perempuan bertubuh sintal dalam balutan pakaian tidur putih tipis sekaligus menerawang itu bangkit dari duduknya. Risti dengan rambutnya yang tergerai hingga bahu itu gelagapan ketika turun dari atas ranjang. Dia tampak panik dan coba mendekatiku.
“Savero! Apa yang sudah kamu lakukan dengannya di dalam kamar ini?!” Pekik dari suara milik dokter Harie menggema ke telingaku. Aku yang masih berpanas hati langsung menoleh ke belakang. Menatap pria bertelanjang dada yang sempat hendak ikut masuk ke kamarnya, ditarik paksa oleh dokter Harie.
Aku makin terhenyak. Savero. Jelas sekali nama itu diungkap oleh dokter Harie. Dan feelingku ternyata tak meleset s
BAGIAN 67POV ANWAR “Syarat?! Syarat apanya?!” Savero yang berdiri di depanku membeliak besar-besar. Embusan napasnya yang laju dan berat terdengar begitu mengganggu di telinga. “Nikahi Risti. Perempuan itu kadung kamu lihat tubuhnya! Aku ingin, setelah dia bercerai dengan anakku, kaulah yang harus mengawininya!” ucapku tegas sambil menunjuk batang hidungnya. Dokter itu terkesiap. Dia diam. Mukanya tegang. Kala kupandang ke arah sang ayah yang duduk resah di sebelah Budiman, ekspresinya pun setali tiga uang. Sama-sama kaget dan tegang. “Anda setuju, kan, bila bermenantukan Risti?” tanyaku
BAGIAN 68POV RISTI Rasanya, tubuh dan jiwaku seketika seperti disambar dengan petir. Kabar yang Papa berikan barusan, terang menguras seluruh energi yang tersisa. Padahal, keterkejutanku dengan kedatangan Papa serta keributan antara Savero dengan ayahnya belum juga usai membelenggu. “Maaf bila Papa harus membuatmu syok. Namun, kamu wajib tahu tentang masalah ini sesegera mungkin,” ucap Papa menenangkan. Lenganku lalu digamit oleh Papa. Aku yang hampir saja terjungkal ke lantai lift saking terkejutnya, kini dapat berdiri dengan bantuan itu. Kami pun akhirnya berjalan menuju parkiran dengan mulut yang sama-sama senyap. Aku belum sanggup berkata-kata lagi. Detak jantungku bahkan masih berdegup sanga
BAGIAN 69POV RISTI “L-lalu … kenapa Mas Bayu membunuh Lia, Pa?” “Itu karena Lia mengaku tidak mencintai Bayu. Dia hanya ingin memanfaatkan harta anakku saja. Bayu langsung geram dan kalap. Bersyukurlah, nyawamu masih aman, Risti. Ada yang lebih tragis nasibnya, yaitu Lia. Usianya masih sangat muda dan nyawanya lenyap begitu saja hanya karena masalah asmara serta harta.” Mata Papa terlihat sangat prihatin. Kutahu bahwa sebenarnya Papa memiliki hati yang sangat baik. Jauh berbanding terbalik dengan anaknya, Mas Bayu. Aku pun memilih diam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tanya di kepalaku kini mulai terjawab satu per satu. Ada lega di dada, tetapi terbesit pula sebuah gund
BAGIAN 70POV RISTI Sementara Mas Bayu dibawa oleh pihak kepolisian menuju sel tahanan, aku diajak Papa untuk makan sambil beristirahat sejenak di sebuah restoran masakan khas Jawa. Papa juga mengajak serta tiga orang anak buahnya yang lain. Ada Mas Dedi, Mas Andang, dan Om Budiman. Mereka bertiga makan di meja lain. Meja paling belakang dekat aquarium besar berisi seekor ikan arwana berwarna merah keperakan. Aku dan Papa memilih meja tengah. Duduk saling berhadap-hadapan. Beliau memesan semangkuk rawon dan sepiring nasi putih panas plus es the manis. Sedangkan aku makan hidangan nasi pecel lengkap dengan peyek teri dan teh manis panas. Kami berdua makan dengan lahapnya. Papa menawariku untuk menambah. Tak ku
BAGIAN 71POV RISTI “Menurutmu begitu?” tanya Papa sambil menatapku dalam-dalam. Aku mengangguk. Akal sehatku seketika bekerja maksimal. Bayangkan saja. Mas Bayu sudah merasakan tekanan yang dalam selama berpuluh tahun. Bercerai karena diguna-guna, lalu depresi, dan kemudian jatuh cinta dengan orang yang salah sebab ilmu hitam juga. Lalu, tiba-tiba cintanya dikhianati oleh perempuan yang paling dia dambakan. Meskipun rencananya kepadaku sangat jahat dan tak manusiawi, kusadari betul bahwa semua bisa terjadi sebab di bawah kendali ilmu sihir yang mengerikan. Di sini, Mas Bayu hanya pion yang digerakkan sesuka hati si pemain. Perih getir yang dia rasakan menumpuk terlalu lama, tanpa pernah dia sadari sebenarnya.
BAGIAN 72POV RISTIDua bulan kemudian …. “Mas, ini akte cerai kita.” Aku mengulurkan sebuah map berwarna kuning ke arah Mas Bayu lewat celah jeruji pembatas. Pria yang duduk di hadapanku dengan muka datar itu menerima berkas berisi akte cerai untuk si tergugat. Ya, aku telah menggugat cerai Mas Bayu tepat seminggu setelah kejadian pembunuhan Lia. Papa yang mendukungku secara penuh. Kedua orangtua yang kini tinggal bersamaku di rumah milik Mas Bayu pun juga ikut memberikan suppot terbesarnya agar aku berpisah dari pria yang didiagnosa menderita ganggaun bipolar tersebut. “Makasih,” ucapnya. Mas Bayu yang kini berkepala plontos dengan tubuh agak kurusan itu menatap nanar ke arah map yang dia pegang erat-erat. Tatapannya benar
BAGIAN 73POV RISTI “Mas, maafin aku lama,” kataku sungkan seraya duduk ke kursi penumpang. Kututup pintu mobil Mas Savero hati-hati. “Eh, kamu udah datang?” Pria yang mengenakan kemeja lengan panjang biru itu buru-buru melepaskan earphone nirkabelnya. Kulihat Mas Savero gegas mematikan musik di ponsel, lalu melemparkan pandang ke arahku. “Iya. Maaf ya bikin lama nunggu,” ucapku lagi. “Santai. Nggak apa-apa. Gimana kondisi Bayu?” Mas Savero yang memotong rambutnya menjadi model french crop
BAGIAN 74POV ANWAR “Lia sayang, lapar ya, Nak? Mau nenen ya, Sayang? Sebentar ya, Nak. Mama bikinkan Lia susu dulu. Hihi!” Kutatap sendu sosok wanita dengan rambut panjang sebahu yang kusut masai itu tengah duduk di sudut ruangan sambil menggendong boneka. Boneka berbentuk bayi dengan rambut botak itu tak pernah dia lepaskan barang sedetik pun. Dia peluk. Dia cium. Seolah-olah dirinya kembali memiliki bayi kecil lagi. “Begitulah kondisinya, Pak Anwar. Sangat memprihatinkan.” Psikiater di sebelahku berucap. Kami berdua yang baru saja tiba lima menit lalu di depan ruang isolasi RSJ Telaga Biru, sama-sama memperhatik