Aku tetap setia mengambil keberangkatan pagi menggunakan kereta ke destinasi berikutnya. Setelah berpesan pada resepsionis kalau aku akan check out pagi buta, dalam gelap aku membereskan semua barangku. Selama pergi ke Oxford, beberapa barang memang kutitipkan di hotel, agar aku tidak perlu melakukan check in ulang.
Dari Stasiun Paddington aku harus menempuh tidak kurang dari satu jam menuju Cambridge. Aku sedikit kerepotan saat membawa koper besar dan ransel ukuran sedang di punggungku, tetapi Cambridge sudah menunggu.
Aku harus mampir ke kota yang memiliki universitas impianku yang kandas, setidaknya aku singgah untuk melihat tempat-tempat yang pernah memenuhi khayalan sebelum tidurku.
Khayalan tanpa adanya pergerakan untuk mewujudkannya hanyalah kesia-siakan belaka. Aku menyadari kesalahanku cukup lambat, tetapi aku tidak patah semangat, lebih tepatnya aku selalu mendapatkan dukungan dari teman-teman semasa kuliah yang menganggap impian kuliah ke luar n
Hostel milik Madam Anneliese memang pilihan ‘terbaik’, aku bahkan hanya perlu jalan kaki menuju ke Dam Square. Madam Anneliese mengatakan aku bisa menyewa sepeda tidak jauh dari hostelnya, tetapi untuk sore ini aku ingin menikmati hari pertamaku di Amsterdam dengan berjalan kaki.Dari hostel Madam Anneliese aku mengambil langkah ke arah barat, setelah berjalan selama tujuh menit aku tinggal belok kiri untuk sampai ke tempat tujuan. Dam Square sudah dipenuhi dengan kerumunan manusia, kamera ponselku langsung sibuk mengambil momen keramaian di depan mata. Aku mendekat ke Royal Palace Amsterdam, kemudian membidik ke Madame Tussauds.Aku memilih mengabaikan Madame Tussauds yang mulai berpendar oleh lampu-lampu dari dalam yang mulai dihidupkan. Dari saku mantel yang kukenakan, aku mengeluarkan bungkusan kecil berisikan biji jagung yang aku dapatkan dari karyawan Madam Anneliese, kemudian aku ikut bergabung dengan beberapa pengunjung lain yang memberi makan pada
Aku harus merogok kocek lebih dalam, biaya pengiriman tiga kali lipat dari harga tiga karung umbi tulip yang akan aku kirim ke Indonesia. Namun, tidak apalah, daripada tidak terkirim dan aku bingung mau diapakan ketiga keranjang yang memenuhi tanganku sekarang. Aku tidak mungkin memberikannya pada Madam Anneliese yang katanya sudah biasa dengan kehadiran tulip, Emma juga menggeleng saat kutawari beberapa bibit tulip untuknya.Aku berpamitan dengan Madam Anneliese dan Emma setelah mengurus pengiriman bibit tulip tadi. Madam Anneliese berbaik hati memberikanku bekal pai apel, anggur hijau segar dan mengisi botol minumku dengan jus jeruk.“Aku juga ingin keliling Eropa suatu saat nanti,” ucap Emma yang terdengar seperti sebuah doa di telingaku.Aku mengaminkan doanya, dan berharap dia juga bisa berkunjung ke Indonesia.Tidak menunggu lama, lima menit setelah sampai di stasiun sentral Amsterdam, kereta yang akan membawaku ke Berlin segera bergerak
Coksa bilang akan menambah satu hari waktunya di Stuttgart sebelum kembali berburu Little Woman cetakan pertama. Dan sekarang, Coksa mengajakku sarapan bersama sebelum dia mengantarku ke stasiun.Tadi malam, saat membereskan barang-barangku di hotel, aku teringat lemon gin yang aku beli di Cambridge, daripada nantinya gin tersebut berakhir sebagai pajangan, aku memilih untuk memberikannya kepada Coksa.“Ini untukmu,” ucapku saat aku dan Coksa sudah menyantap habis Kartoffelsalat.Coksa mengernyitkan dahi, kemudian menaikan alis dan menatapku lama.“Kamu membeli gin?” tanyanya dengan tatapan curiga yang dibuat-buat.“Iya. Ada yang salah? tanyaku balik.“Tidak, hanya saja … menurutku kamu bukan tipe penyuka minuman beralkohol,” tebak Coksa.“Aku memang tidak minum alkohol,” akuku.“Kalau kamu memang tidak minum alkohol, kenapa malah beli gin?” tanya Coksa, s
Kota impianku selanjutnya adalah Luzern, aku berangkat dari stasiun utama Zurich dengan menggunakan kereta gantung jam 08:10 pagi. Empat puluh menit kemudian aku tiba di stasiun sentral Luzern, dari stasiun aku hanya perlu berjalan kaki kurang dari lima menit untuk sampai ke Danau Luzern yang terkenal dengan jembatan kunonya. Jembatan kayu yang sudah ada sejak abad keempat belas–Kapelbrucke.Di samping Kapelbrucke berdiri kokoh menara air tradisional yang berdiri di tengah-tengah Sungai Reuss yang berhimpitan dengan jembatan.Aku menarik pelan koperku, mencoba melewati Kapelbrucke dengan khidmat. Setelah berada di seberang aku segera mengantar koper dan perintilan lainnya yang menempel di tubuhku ke hotel. Aku segera melanjutkan perjalanan ke Lowendenkemal, ikon Kota Luzern yang menurutku sangat mirip dengan Aslan dari cerita Negeri Narnia.Patung singa yang dipahat pada permukaan batu itu berpose terebah di seberang sana, aku berdiri di samping danau keci
Sedikit merasa mengenaskan di kota romantis Paris, aku sedikit terhibur dengan kehadiran pesan email dari Coksa. Coksa membalas sapaanku melalui surat elektronik dengan memberitahukan lokasinya sekarang.Kalimat yang membuat perasaanku campur aduk adalah pernyataannya akan sesuatu. Hal yang akan dia ceritakan seperti janjinya saat terakhir kami bertemu.Malam ini Coksa ingin bertemu di Champ de Mars. Saat tiba di hotel, aku membongkar koperku, mencari baju yang sedikit lebih cantik, dan aku menyerah dengan pilihan baju serbaguna yang aku siapkan dalam perjalanan panjangku kali ini.Pada akhirnya aku hanya mengenakan celana dan kemeja seperti biasa, dengan pilihan warna yang selalu gelap. Agar tampilanku tidak terlihat murung, aku mencoba memadankan pakaian gelapku dengan syal bermotif bunga, satu-satunya item yang memiliki nuansa yang semarak.Aku sudah sangat bersemangat ketika menemui Coksa di Champ de Mars, tetapi saat momen itu tiba, wajah Coksa terli
Coksa menjemputku di hotel dan kami berangkat bersama ke Gare du Nord. Dua jam kemudian aku dan Coksa sampai di Brussels.Kota Brussels menawarkan pemandangan yang tidak kalah cantik dari kota-kota lain di Eropa. Misteriusnya gaya gotik berpadu dengan detail keagungan suatu bangunan dari ciri khas desain bergaya barok.Perpaduan ini terlihat pada bangunan-bangunan di alun-alun Kota Brussel yang didominasi dengan warna-warna pekat, berkarakter kuat, tiang-tiang tinggi dan atap yang meruncing menyerupai anak panah, menciptakan efek dramatis yang sangat cocok membangun dunia fantasi dalam cerita-cerita klasik.Pada musim semi tahun ini, di alun-alun tersebut sedang terhampar karpet bunga yang indah. Aroma berbagai bunga silih berganti mengisi udara di halaman terbuka di tengah alun-alun. Pengunjung memadati sepanjang pagar pembatas yang mengelilingi karpet bunga, menjaga agar tidak ada tangan usil yang menghancurkan keanggunan bunga yang disusun sedemikian rupa hin
Aku lebih banyak diam selama satu jam perjalanan dari Den Haag menuju Lisse, aku menjadi salah tingkah saat berada di dekat Coksa.Bus yang melesatkanku dan Coksa tiba pukul 20:27 di Lisse. Langit belum sepenuhnya gelap, jingga masih menggantung di langit saat aku dan Coksa berjalan kaki menuju penginapan. Olahraga ringan sore itu cukup menutupi wajah memerahku karena tersipu dengan ucapan dan perlakuan Coksa beberapa jam lalu.Keesokan harinya aku dan Coksa tidak menunda-nunda perjalanan. Setelah menyelesaikan urusan penyewaan mobil, Coksa menjemputku di penginapan. Sayangnya, tempat yang paling ingin aku kunjungi hanya bisa dipandangi dari luar.Keukenhof hanya dibuka setahun sekali, antara minggu terakhir bulan Maret sampai pertengahan bulan Mei. Dan aku terlambat menikmati keindahan Keunkenhof. Menurut Coksa, waktu terbaik untuk berkunjung ke tempat ini di pertengahan musim semi, awal bulan Mei. Sedangkan saat ini sudah memasuki musim panas di awal bulan Jul
Bandara kecil di kotaku yang juga kecil tetap menampilkan suasanan yang sama. Lebih sering sunyi. Kesibukan hanya mengisi bandara kecil ini ketika ada jadwal kedatangan dan keberangkatan pesawat yang tidak pernah lebih dari lima kali dalam sehari.Aku dijemput Bang Ridwan dan Allisya seperti biasa.“Kamu enggak sekolah?” tanyaku heran pada Allisya yang sudah bergelayut manja dalam gendonganku.“Allisya mau jemput Tante,” ucapnya senang.“Dia sudah maksa untuk ikut beberapa hari lalu, jadi enggak bisa ditolak,” keluh Bang Ridwan seraya memasukkan koperku ke bagasi.Kami langsung meluncur ke rumah Kak Dinah dan menjemput Dian yang baru saja pulang sekolah.Keponakan laki-lakiku itu sudah biasa ditinggal sendiri saat ayah dan ibunya bekerja. Jadi Bang Ridwan memutuskan untuk menjemputnya dan mengantar kami bertiga ke rumah Bang Ridwan.Kak Dinah dan suaminya bisa menyusul setelah mereka pulang ke