"Diameternya masih tidak terlalu besar, tapi dari letaknya bisa saja mengganggu fungsi kelenjar pineal-mu. Aku belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut, kamu masih perlu melakukan biopsy untuk memastikan jenis tumor dan stadiumnya. Bagaimana? Mau segera aku buatkan jadwalnya?”usul Dokter Acha. Aku terdiam sebentar, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginanku, aku sedikit gugup, takut dia akan menolaknya. Saya ingin jalan-jalan dulu, Dok. Saya tidak menolak saran Dokter untuk melakukan biopsi, saya hanya ingin menundanya sedikit. Saya ingin pergi ke beberapa tempat sebelum saya melakukan pengobatan,”ungkapku. *** "Jadilah egois sesekali, Kana. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan selagi itu memungkinkan. Aku akan selalu mendukungmu.” Kana memiliki orang-orang yang mendukungnya untuk sembuh, tetapi api semangat dalam diri Kana makin meredup. Pada batas akhir kemampuan Kana melawan penyakit dalam otaknya, Kana hanya berharap memiliki kesempatan bertemu dengan Desember ketiga puluhnya.
Lihat lebih banyak“Ke Semarang. Kana rencananya ingin pindah ke Semarang.”
Akhirnya aku mengatakannya juga, setelah berlatih beberapa hari mengucapkan kalimat tersebut di depan cermin, akhirnya aku mengatakannya tanpa berlinang air mata. Keputusan kali ini lebih berat, walaupun aku pergi tidak lebih jauh daripada kepindahan sementaraku empat tahun lalu.
“Sudah dapat tempat di sana?” tanya abangku.
Aku tidak berharap dia orang pertama yang menyambut pernyataanku, aku ingin dia bersikap biasa seperti yang dia lakukan kalau kami sedang melakukan pembicaraan serius. Diam dan hanya bicara kalau memang perlu bicara. Jantungku jadi berdetak sangat kencang dan tidak karuan sekarang.
“Sudah,” sahutku dengan suara dan bibir yang sedikit bergetar.
“Kamu dapat kerja di sana, Dek? Tumben enggak cerita sama kita,” sambung Kak Dinah.
“Kana perlu persiapan yang matang untuk benar-benar pindah,” sahutku masih dengan mulut bergetar.
Aku kemudian meminum segelas air dingin di depanku, mengurasi rasa tegang yang sudah menguasai seluruh tubuhku malam ini.
“Kalau begitu kalimatnya enggak ‘Kana rencananya ingin pindah ke Semarang’ lagi, tapi sudah ‘Kana akan pindah ke Semarang’.” Bang Ridwan ternyata menatapku, dan aku baru sadar kalo posisi duduknya tidak berubah semenjak aku mengatakan ingin pindah beberapa menit yang lalu.
Kak Dinah menghentikan gerakan tangannya yang akan menyantap sate ayam, begitu juga dengan Kak Maya yang segera menghentikan kerepotannya mengatur tempat duduk batitanya yang tidak bisa diam.
“Mau jalan-jalan seperti biasa atau pindah?” Bang Ridwad bertanya dengan muka serius.
Aku menggenggam tanganku erat, mencoba menguatkan hati untuk segera bicara pada mereka. Aku tidak mungkin menyembunyikannya terlalu lama, aku tidak bisa lagi hanya memendamnya sendiri.
“Kana mau jalan-jalan, juga mau beli apartemen atau rumah di Semarang,” ucapku dengan mantap setelah menyampingkan rasa sakit kepala yang mulai menggoda.
“Atau kamu sudah punya calon di sana, ya, Dek?” Suami Kak Dinah mencoba bercanda, menggodaku seperti biasa.
“Kana sendiri yang mau pindah. Kana perlu pengobatan lebih lanjut, dan Kana memilih Semarang.”
Aku mengatakan kalimat menyakitkan kedua itu dengan mulus, bahkan aku tidak ingat lagi bagaimana rasa perih yang sering aku lakukan untuk menahan agar air mataku tidak keluar.
“Pengobatan? Untuk kamu? Kamu sakit, Dek,” ucap Kak Maya.
“Sedikit ….” Ucapanku terhenti, aku mencoba mengendalikan rasa sakit di kepala dan dadaku yang menyerang secara bersamaan saat ini.
“Bisa tinggalkan kami sebentar,” pinta Bang Ridwan kepada istri dan anaknya, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada suami Kak Dinah.
Kak Puspa–istrinya Bang Ridwan, segera mengerti, kemudian membawa kedua anaknya keluar, begitu juga dengan Bang Diki–suami Kak Dinah yang segera memberi kode pada anak semata wayangnya untuk melanjutkan menyantap sate ayam di luar ruangan seraya menggendong si kecil Mega–anak Kak Maya, karena suami Kak Maya tidak bisa ikut berkumpul malam ini.
“Kamu sakit apa, Dek?” tanya Kak Dinah segera setelah pintu samping di ruang makan tertutup.
“Tumor … bisa jadi kanker otak,” jawabku dengan lebih santai.
Aku sudah melatih jawabanku, dengan sebisa mungkin mengucapkannya tanpa air mata atau sekadar rasa sedih.
“Kapan kamu periksa? Di mana? Dengan dokter siapa?” buru Bang Ridwan.
Malam ini dia terlihat berbeda, Bang Ridwan selalu cuek, tetapi selalu bisa memahami apa yang aku mau. Dia enggak akan melarangku ini dan itu seperti yang selalu Kak Dinah dan Kak Maya lakukan. Dia khawatir, tetapi tidak langsung menghalangi keinginanku.
“Satu bulan yang lalu, di rumah sakit yang biasa,” jawabku jelas.
Jawaban yang sudah sangat jelas, di kotaku hanya ada satu rumah sakit yang memiliki alat yang bisa melakukan tes untuk penyakit yang baru kuketahui satu bulan terakhir ini. Dan kalau harus menyebutkan nama dokternya, aku tidak yakin malam ini.
Dokter yang bertemu denganku satu bulan yang lalu tidak berbeda dengan dokter yang mengungkapkan kesedihan lima tahun yang lalu. Dokter yang sama yang mengabarkan bagaimana perkembangan kanker yang diderita Ayah. Berita itu, bisa saja membendung air mataku dan Bang Ridwan, tetapi tidak untuk Kak Dinah dan Kak Maya.
“Abang akan antar Kana ke Semarang.”
“Kakak juga.”
“Mega bisa aku titip ke Mamah, aku juga bisa ikut.”
Jawaban mereka bukanlah jawaban yang aku harapkan, jawaban yang hampir menembus pertahanan air mataku. Tidak … tidak, aku tidak boleh menangis di depan mereka.
“Kana bisa sendiri, Kana hanya ingin memastikan, sesuai dengan saran Dokter Tanto.”
Aku kelepasan sendiri, tangis Kak Dinah dan Kak Maya tidak bisa dicegah lagi. Mereka berdua kemudian memelukku. Bang Ridwan terdiam, dia menatapku tajam dengan mata merah yang bisa jadi sama denganku karena menahan air mata.
“Abang akan bantu Dedek pindahan. Dinah dan Maya bisa menyusul kalau Kana sudah dapat tempat tinggal di sana,” ucap Bang Ridwan seperti ultimatum, kemudian ia melangkah ke arah kamar mandi dan terdengar isakan khasnya.
Aku hanya pernah dua kali melihat Bang Ridwan menangis, dahulu sekali saat Ibu pergi dan empat tahun yang lalu, saat Ayah memberikan senyum terakhirnya kepada kami di rumah ini. Aku tidak tahan lagi, aku tidak bisa menahan air mataku saat melihat atau mendengar Bang Ridwan menangis. Aku akhirnya menangis dalam pelukan Kak Dinah dan Kak Maya malam itu.
***
Satu bulan yang lalu.
“Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah itu tumor jinak atau bukan.”
“Berapa lama?”
“Iya?”
“Berapa waktu terlama bagi pasien untuk bertahan dengan tumor di kepalanya?”
“Kita belum tau jenis dan stadium tumornya–”
“Apakah dengan obat bisa bertahan lebih lama?”
“Kita belum tahu jenis dan stadiumnya, kita tidak bisa mengambil tindakan pengobatan jika belum tau– ”
“Operasi? Apakah bisa sembuh dengan operasi?”
“Aku akan menjawabnya kalau kamu mau diperiksa lebih lanjut.”
“Dok ….”
“Kana …. Ayolah, kamu tahu pasti kalau semakin cepat kita tahu semakin cepat semuanya bisa ditangani.”
“Kamu bisa kembali lagi kapan pun, aku punya banyak kenalan untuk membantumu di rumah sakit lain dengan peralatan yang lebih baik dari rumah sakit ini. Kamu kuat Kana, seperti dulu saat aku mengenalmu.”
“Aku akan memikirkannya, Dok.”
“Kembalilah lebih cepat, aku akan berusaha sebisaku untuk membatumu.”
***
Dua pekan kemudian.
“Amnesia, hilang ingatan, apakah itu mungkin terjadi setelah operasi?”
Aku menanyakan pada Dokter Tanto tentang efek samping dari operasi pengangkatan tumor otak yang telah berubah menjadi kanker. Aku membaca artikel di internet dan menemukan beberapa informasi yang sangat menakutkan.
“Seharusnya kamu bertanya padaku terlebih dahulu, Kana. Dari mana kamu dapat informasi itu?”
“Internet.”
“Tidak salah juga, tetapi kemungkinan itu sangat kecil. Pengobatan tumor otak tidak selalu berakhir dengan operasi. Ada berbagai macam pengobatan tergantung tipe dan stadium tumor di otakmu.”
“Apakah Dokter bisa memberiku obat saja?”
“Kana–”
“Rasa sakitnya mengganggu sekali, Dok. Apakah ada obat yang bisa membantu untuk mengurangi sakitnya? Aku akan terima saran Dokter kalau waktunya sudah tiba.”
“Aku akan resepkan obat untukmu, Kana. Kamu sudah mengambil keputusan?” Dokter Tanto bertanya dengan raut wajah yang sama seperti dua pekan lalu.
“Bisa jadi gaya hidupku kurang sehat selama ini, Dok. Aku akan coba mengatur pola makan dan tidurku. Aku akan coba tahan rasa sakit di kepalaku.”
“Akan aku buatkan rujukan ke dokter gizi untuk pekan depan, juga–” usul Dokter Tanto padaku.
“Di Semarang,” potongku.
Aku sudah memutuskan, aku akan pindah ke Semarang. Aku akan berusaha untuk sembuh di sana. Walaupun ada sedikit kenangan kurang mengenakkan, bukan berarti aku harus menghidar selamanya. Ibu dan Ayah juga berjuang di sana, aku pun juga. Aku akan berusaha sebisaku untuk sembuh, seperti yang aku inginkan.
“Di Semarang,” ulangku lagi setelah tidak ada jawaban dari Dokter Tanto.
“Baiklah. Aku percaya kamu akan sembuh Kana. Aku bisa melihat semangatmu untuk sembuh, itu bisa jadi obat terbaik yang bisa kamu miliki.”
Seperti yang selalu ia lakukan dahulu pada Ayah, ia bukan saja memberikan pengobatan secara medis, Dokter Tanto juga menyuntikkan semangat untuk sembuh walaupun kesembuhan terasa tidak mungkin.
“Terima kasih, Dok.”
Dokter Tanto menganggung, kemudian menuliskan resep obat yang kuminta. Dia menyarankan untuk satu kali pertemuan lagi dengannya sebelum aku pindah. Aku mengiyakan, aku perlu bantuan Dokter Tanto untuk mengurus keperluan pemeriksaan lanjutanku di Semarang nanti.
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen