Menarik napas panjang lalu dibuangnya secara pelan, pria itu mulai mengeluarkan suaranya. "Syifa, Maafin Mas."Syifa bergeming, tak ada sautan gadis itu sepertinya masih marah pada Tito. "Fa_" panggil Tito lirih, mencoba meraih tangan gadis itu namun Syifa lebih dulu merubah posisinya. "Mas mau ngapain lagi kesini?" tanya Syifa dengan suara dalam. "Mas mau minta maaf, Mas ngaku salah kemarin. Kamu tau kan, Mas itu orangnya gampang marah." melas Tito penuh mohon. "Jangan disini Mas, malu dilihat orang." sewot Syifa lalu berjalan lebih dulu ke mobil pria itu. Dalam hati Tito bersorak kesenangan lalu berlari menyusul Syifa, lalu membukakan pintu untuk gadisnya. Hati Tito sedang berbunga-bunga, senyum manis yang kian menambah ketampanannya diperlihatkan hari ini, sebab seseorang yang sudah dia rindukan akhirnya sudah mau bertemu dan duduk disampingnya. Meskipun gadis itu masih diam dengan raut wajah kesal, paling tidak dia sudah bisa mengurangi rasa rindunya. "Kita ngobrol sambil
"Hah!" teriak Syifa. "Masa sih Mas," bertanya lagi dengan tatapan seolah tak percaya. "Beneranlah. Masa Mas bohong sih," yakin Dafa membuat Tito kian pasrah. "Ya ampun, Ck kasian ya Mang ucup, kelamaan bujang jadi suka galau." kata Syifa pelan. Kening Tito bertaut menatap kakak adik di hadapannya ini. "Tunggu-tunggu, kalian ceritain siapa sih?" menegakkan tubuhnya kembali, ia merasa bingung dengan pembahasan antara Dafa dan Syifa. "Itu loh, Mas. Mang ucup satpam komplek, dia lagi galau soalnya, sudah beberapa hari ini kucing kesayangannya nggak pulang, padahal kucing itu teman Mang Ucup. Sekarang nggak pulang berasa hidup sendiri, setiap malam telepon Mas Dafa curhat soal kucingnya." jelas Syifa begitu detail menceritakan apa yang Dafa ceritakan tadi. Mendengus pada Dafa, Tito bisa bernapas lega. Antara kesal dan berterima kasih pada sahabatnya itu. Ia pikir Dafa benar-benar ingin memberitahu tentang dirinya yang suka menelpon hanya untuk curhat. "Untung aja." gumam Tito mengu
"Gimana sekarang kita jalan-jalan, mumpung Mas nggak ada kerjaan." tawar Tito. "Boleh, kita kemana enaknya?" Tito mengusap dagu berpikir tempat yang pas dan enak untuk di kunjungi. "Nonton mau nggak?""Mau, kebetulan aku pengin banget nonton." jawab Syifa senang. "Oke," segera menjalankan mobilnya, Tito mengarahkan kendaraan itu ke mall besar yang ada di ibu kota. Tidak butuh waktu lama, keduanya sudah sampai. Seperti biasa Tito turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Syifa tidak lupa melindungi kepala sang gadis dari pinggiran mobil. Menggandeng tangan gadisnya Tito mulai mengajak masuk, hari yang sudah sore membuat para pengunjung mall terlihat ramai, padahal ini bukan hari sabtu atau minggu. Saat asyik berjalan menuju kebioskop, mata coklat milik Syifa tertarik pada sesuatu yang tengah di pajang. Tito mengerutkan kening, lalu ia. menoleh ketika Syifa seperti berhenti berjalan, mengikuti arah pandang gadis itu ia tersenyum. "Kamu mau itu?" Syifa tersentak mendengar bisikan d
Didalam bioskop film sudah diputar sekitar lima belas menit yang lalu, orang-orang pun sudah menonton dengan tenang dan serius, tapi tidak dengan Syifa. Gadis itu tampak gelisah, ia melihat kemana pun asal tidak ke layar besar di hadapannya. Sampai di mana Syifa merapatkan tubuhnya ke pria yang sedari tadi diam menyimak film itu, sadar akan kegelisahan kekasihnya Tito pun berbisik. "Kamu kenapa? nggak nonton?" "Aku kayaknya salah pilih film Mas, aku takut." bisiknya setengah merengek. Tito tak bisa untuk tidak tertawa, ia terkekeh pelan takut menggangu pengujung lain. "Tadi siapa yang minta nonton film ini? Mas kan nurut aja," ujarnya. Syifa memeluk erat lengan Tito menyembunyikan wajahnya di pundak besar itu saat suara menegangkan terdengar begitu nyaring. "Bisa nggak sih Mas, kita pergi aja? aku takut,"Tito celingak-celinguk melihat kondisi didalam bioskop tersebut. "Kayak nggak bisa, yang nonton banyak. Kalau kita berdiri pasti mereka terganggu," "Ah, tapi aku takut. Film
"Menurut lo, gue harus ngomong gimana sama Aya?" melirik sejenak Tito malah menghela napas panjang. "Untuk sekarang gue nggak bisa mikir," jawabnya seraya mendongak menatap langit-langit rumah Dafa. Dafa memiringkan tubuhnya, menatap Tito lekat dengan kerutan di kening. "Kenapa lagi?" tanya Dafa. "Lo berantem lagi sama adik gue?" Tito menoleh cepat lalu menggeleng kuat. "Nggak lah! masa baru baikkan, marahan lagi." sentak Tito tak suka. Kekehan kecil keluar dari mulut Dafa. "Terus ada apa lagi?""Lo tau nggak, tadi waktu gue ngajak Syifa nonton di mall. Gue ketemu lagi sama dia." kata Tito yang enggan menyebutkan nama perempuan itu. "Oh iya? kenapa lo ketemu dia selalu sama Syifa.""Nah itu dia! makannya gue kesal, ini pasti suatu saat nanti gue ketemu lagi. Dan lo tau tadi dia ngapain?!" Dafa menggeleng pelan. "Dia bersujud di hadapan gue, sambil mohon-mohon. Gila, mana banyak orang yang lihat, untung aja Syifa nggak lihat," ujar Tito jengkel. "Kayaknya dia bakal sering temuin
Dua pria tampan yang sedang sarapan dengan dua wanita cantik, tidak pernah melunturkan senyum tanggal berhias di wajahnya. Keduanya sangat senang, bisa sarapan bersama seperti ini, dan sedikit terlihat di benak Dafa jika suatu saat nanti ia bisa bersama kedua orang tuanya juga. Dengan status sang adik yang sudah berbeda bersama sahabatnya. Begitu pun Tito, pria itu menunduk mengigit bibir bawahnya ketika sebuah khayalan melintas di otaknya, di mana ia sudah menikah dengan Syifa dan hidup bersama wanita itu. Ketika sarapan seperti ini ada rasa hangat menjalar di hatinya, secara Tito jarang sekali memiliki momen bersama keluarganya seperti ini, hanya untuk sekedar sarapan bersama saja itu adalah hal langka terjadi. Dafa menoleh pada Aya, tidak lama ia tersedak ketika mengartikan arti gerakan tangan sang istri. "Mas, aku jadi nggak sabar mereka menikah, pasti seru sarapan bersama tiap hari.""Uhuk_ uhuk." Aya panik ia mengambil air minum yang langsung di minum hingga tandas oleh Daf
Ayana nenyentak tubuh Dafa, sampai pria itu hampir terbentur pinggiran meja. Kepalanya menggeleng kuat. "Nggak Mas! aku nggak mau." Aya menolak, ia masih takut dan trauma. Membayangkan wajah Rama saja sudah membuat ingatannya terputar kembali di masa, ketika Rama memukulnya. Memberi hukuman, berupa tidak boleh makan dan kurungan di dalam gudang. Tubuh wanita itu bergetar hebat, Dafa pun kian panik. Ini yang paling Dafa takutkan jika membahas pria itu kembali. "Sayang, stop. Jangan di pukul, aku mohon jangan sakiti diri kamu sendiri!" bentak Dafa mencoba meraih tangan Aya yang sedang memukuli kepalanya. Tangisan Aya kian histeris, ia seperti meminta ampun. Bahkan ia terus saja mendorong Dafa agar menjauh. Tak menyerah, Dafa merapatkan tubuhnya pada Aya, menjadikannya tameng agar Aya tak terus menyakiti anggota tubuh yang lain. Dafa tak ingin anaknya kenapa-napa, biarlah dirinya yang merasakan sakit dari pukulan wanita itu. "Ssstt! Sayang sudah, jangan sakiti diri kamu. ingat ana
"Mas gimana keadaan Mba Aya? Mba Aya nggak apa-apa kan?" panik Syifa ketika mendengar kabar dari Tito, kalau Aya sempat ketakutan dan traumanya kambuh kembali. "Alhamdulillah udah nggak apa-apa, Dafa berhasil nenangin Aya,""Alhamdulillah," syukur Syifa, mengusap usap dadanya. "Kalau aku pikir-pikir lagi, mending nggak usah nuruti keinginan mantan Mba Aya itu, lagian dia udah jahat. Gara-gara tuh orang, aku hampir kehilangan calon keponakan!" ucap Syifa mengebu. Tito hanya tersenyum gemas melihat Syifa yang terlihat begitu emosi membicarakan mantan suami dari kakak iparnya. "MAS!" sentak gadis itu. "Kok malah senyum-senyum sih, aku serius loh!" sewotnya, menatap Tito kesal. "Kamu gemesin kalau lagi ngambek," jawab Tito sembari mencubit pipi Syifa. Gadis itu pun merubah mimik wajahnya, kini ia memalingkan wajah menutupi rona merah di pipinya. "Ciye_ ada yang salting." goda Tito. "Nggak! siapa yang salting." balas Syifa tak santai."Masa sih? kok pipinya merah," lanjut pria itu