Share

Detective Devil
Detective Devil
Penulis: devina putri

Bab 1 Morgen Fur Verlierer

"Jangan ... jangan lakukan itu!" jerit Cologne, "Kumohon jangan! Heilige Potsdam!" Tak henti-hentinya Cologne, berusaha melarang sahabatnya yang kini tengah bergulat dengan maut.

Laki-laki berambut coklat itu tersenyum. Dia sama sekali sudah tidak memikirkan, nasibnya lagi. Dirinya sudah terlalu yakin bahwa kematian sebentar lagi akan menjemputnya. Karena itu dirinya terlihat sangat begitu tenang.

“Jangan memaksakan dirimu Cologne … aku ini sudah hampir dijemput kematian,” katanya dengan raut wajah yang terlihat sangat tenang.

Cologne menggeram, "Grrr … dasar bodoh!" Laki-laki itu masih berusaha menyelamatkan Heilige sahabatnya namun apa daya, Cologne sendiri tidak menyadari pergerakan tangan Heilege yang sangat cepat saat menarik pelatuk pistol.

DOR

Cipratan darah mengenai wajah Cologne. Dengan tubuh bergetar hebat, Cologne mencoba untuk menatap ke arah depan.

"Tidak ... tidak ... mungkin .... " Cologne langsung terjatuh begitu mendapati sahabatnya telah merengang nyawa di depan matanya.

Cologne yang masih belum bisa menerima kematian sahabatnya terus mengguncang-guncang tubuh sahabatnya tersebut. "HEILIGE POTSDAM! BANGUN … BANGUN … BANGUN!" raungnya. Dia terus mencoba membangunkan sahabatnya yang telah tiada tersebut.

"Mau dibangunkan, berapa kali pun juga dia tidak akan pernah bangun," bisik seseorang di telinga Cologne.

Cologne langsung merinding. Begitu ia mendengarkan suara bisikan tersebut.

"Lihatlah sahabatmu sudah meninggal dan semua itu berkat ulahmu, kau harus menebusnya," ujar suara misterius itu terdengar semakin nyaring.

Cologne yang merasa ketakutan sekaligus kacau benar-benar merasa frustasi. Pada akhirnya dia hanya bisa, meneriaki suara misterius tersebut, "Siapa kau? Keluarlah sekarang juga!" teriak Cologne.

Setelah Cologne berteriak. Tiba-tiba saja, muncul sosok ular raksasa dengan sayap seperti seekor naga.

Cologne ketakutan setengah mati begitu ia melihat sosok dari suara misterius tersebut.

"Tidak ingin melarikan diri?" goda monster tersebut sembari menyeringai lebar.

Cologne tidak tahu harus berbuat apa. Pada akhirnya ia memutuskan untuk membawa tubuh Heilige bersamanya. Dan ketika, ia akan mencoba membawa tubuh sahabatnya tersebut. Cologne amat terkejut, begitu mendapati tubuh Heilige, kini hanya tersisa bagian tengkoraknya saja.

"Heiligeeee!" jerit Cologne lemas. Kini semua tenaganya telah lenyap begitu saja, ketika mendapati tubuh sahabatnya tersebut hanya tersisa tulang-belulang saja.

Monster itu tertawa puas. Dia lalu turun ke bawah, menapakkan kakinya yang mirip seperti kaki milik manusia normal pada umumnya.

"Neraka sudah menunggumu. Ikutlah bersama denganku ke neraka!" Monster itu kemudian menangkap Cologne sekaligus mencekiknya dengan menggunakan ekor miliknya.

Cologne tidak bisa bergerak dan hanya bisa pasrah. Sebentar lagi, monster itu benar-benar akan membawa jiwanya ke neraka.

***

"Hei, Manusia Sialan cepat bangun!" sosok bayangan hitam itu melayang-layang di atas tubuh Cologne.

Tidak ada balasan dan tampaknya pemuda bernama Cologne itu masih belum terbangun juga. Bahkan laki-laki itu terus meracau tidak jelas dalam tidurnya.

"Cih. Pantas saja manusia, mudah sekali terkena godaan 'Si Pemalas' itu." Bayangan itu menjentikkan jarinya sekali. Dan tiba-tiba saja muncul kobaran api, membakar selimut milik Cologne.

"Verdammt, du Teufel!" umpat Cologne. Dia langsung bangun dan melemparkan selimutnya ke sembarang arah.

"Bangun juga akhirnya, kau pemalas," ujar Bayangan tersebut dengan lega.

Cologne menunjukkan jari tengahnya, pada bayangan tersebut. "Kau ingin membangunkanku di neraka! Itu maksudmu, bukan?" Cologne kemudian mengambil selimutnya. Selimut itu tidak benar-benar terbakar. Namun efek panas dan kobaran tadi bukanlah ilusi semata karena dirinya bisa benar-benar merasakan sensasi panas terbakar oleh api.

"Kalau kau berpikiran seperti itu, aku benar-benar senang. Tapi untuk sementara, aku akan menahan diri." Bayangan tersebut kemudian terbang melewati Cologne. Lalu ia membuka pintu kamar Cologne.

Cologne yang melihat aksinya itu, lalu lantas berkata seperti ini padanya, "Cih, makhluk halus sepertimu bisa-bisanya membuka pintu," ledek Cologne.

Bayangan itu tampak acuh saja. Dia lalu mendorong tubuh Cologne untuk segera keluar dari kamarnya. "Cepat siapkan sarapan untukku!" perintahnya.

Cologne mendecak sebal, "Ck. Pakai saja sihirmu itu!" Dia menunjuk ke arah bayangan tersebut dengan perasaan kesal sekaligus tidak terima.

Bayangan itu berputar-putar, lalu mendarat tepat di hadapan Cologne. "Dagingmu itu tampaknya terlihat enak juga, meskipun aku lebih suka menyantap jiwa manusia tapi tampaknya, aku sama sekali tidak bisa membiarkan daging sedap sepertimu untuk tetap terus mengoceh di depanku."

Cologne menelan air liurnya sendiri dengan paksa. Ia lalu berbalik dan segera pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Melihat Cologne telah pergi. Bayangan tersebut tertawa puas, "Hahaha … senang sekali rasanya, mengerjai Manusia Sialan itu, hahahaha .... " Setelah puas mentertawakan Cologne, bayangan tersebut lantas menghilang begitu saja.

***

Di Ruang Makan

“Begini-begini juga, aku itu sangat membantumu rupanya,” ujar Bayangan itu sembari melayang-layang di depan mata Cologne. Dia memainkan sebuah apel busuk di tangannya.

“Kau selalu membuatku merasa rugi,” keluh Cologne sembari mengoleskan mentega ke atas roti tawar miliknya.

“Rugi? Kenapa? Hei aku sudah berbaik hati, mau membantumu,” katanya tidak merasa bersalah sama sekali. Bayangan itu masih melayang-layang di atas sana dan sesekali tersenyum nakal. Dia sama sekali tidak mau memikirkan, mengenai kesulitan yang dialami oleh lawan bicaranya tersebut.

BRUAK

“Inilah alasan mengapa aku tidak mau, bernegosiasi dengan iblis! Kepalaku itu hampir pecah karena ulahmu!” Pria itu benar-benar merasa marah. Dia mengomel sembari mengacung-acungkan pisau roti miliknya.

“Santai saja. Hei, kau terlalu berlebihan! Buktinya kepalamu tidak bocor.” Bayangan itu tampak santai dan tidak mempermasalahkan kejadian tempo hari.

Mendengar ucapan lawan bicaranya seperti itu, benar-benar membuat Cologne naik pitam. “Kau buta?! Lihat kepalaku ini!” tunjuk Cologne ke arah kepalanya sendiri yang kini tengah terbalut dengan perban.

“Santai … toh buktinya, kau tidak mati juga.” Bayangan itu kemudian, merubah apel busuk yang berada di tangannya menjadi segar kembali. Setelah merubah apel itu menjadi segar kembali, ia lalu memakannya dengan sangat lahap.

“Cih dasar, makhluk asal neraka,” sarkas Cologne. Setelah melontarkan bahasa sarkasnya Cologne melirik sebentar ke arah bayangan. “Hei Pembuat Onar! Sebaiknya aku memanggilmu dengan nama panggilan apa?” Cologne merasa penasaran dengan panggilan apa yang bisa ia berikan untuk bayangan yang merupakan jelmaan iblis di depannya saat ini. Lagi pula sudah tidak terasa ia tinggal bersama iblis ini selama dua minggu lebih. Dan sampai sekarang juga, dirinya tidak pernah memanggil dengan jelas nama dari si iblis.

Bayangan itu memandang datar ke arah manusia yang tengah bertanya nama panggilan dirinya tersebut. “Panggil saja aku Berlin,” katanya dengan acuh.

Cologne mengerutkan dahinya. “Kenapa, kau memilih nama seperti itu? Seharusnya kau bisa, menggunakan nama yang lebih merujuk pada eksistensimu saat ini. Kau bisa menggunakan panggilan seperti Lucifer, Devil, atau semacamnya?"

"Karena sekarang aku tinggal di Jerman. Dan kebetulan juga sekarang aku tinggal di Berlin. Jadi aku mau, kau memanggilku dengan nama panggilan Berlin," ucap iblis itu santai.

Cologne benar-benar tidak menyangka, bahwa iblis memiliki pemikiran seperti itu. Dia pikir, iblis yang satu ini akan menamai dirinya dengan nama yang sangat menyeramkan. Namun yang ia dapatkan malah justru kebalikannya. Apakah iblis yang satu ini adalah tipekal iblis yang tidak mau repot atau semacamnya Cologne benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirnya yang terkesan sederhana tersebut. Dengan malas dirinya menatap ke arah iblis tersebut. "Terserah kau saja," ujarnya malas. Cologne kemudian menyodorkan sepiring Pretzel untuk Berlin. "Makanlah ini, aku lihat kau sangat menyukai kue ini bukan?" katanya menawarkan kue tersebut pada Berlin.

Berlin tersenyum senang. Memang benar bahwa kue ini merupakan kue terenak yang pernah ia santap karena itu ia terlihat sangat gembira. "Hei manusia, ternyata kaum kalian juga cukup pandai untuk membuat makanan dengan rasa yang pas untuk iblis," puji Berlin kesenangan mendapatkan Pretzel dari Cologne.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status