Sesosok bayangan terlintas di ruang tamu. Janeta melihat Shania bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumahnya. Janeta meneruskan pekerjaannya merawat tanaman walau perhatiannya utuh tertuju pada seluruh gerakan yang terjadi di dalam keluarga Shania.
“Sudah mau berangkat, Pa?” terdengar suara Shania mungkin kepada suaminya. Janeta makin menyaringkan pendengarannya namun dengan gaya yang tidak mencurigakan.“Yah, aku mungkin akan langsung ke Surabaya dan empat hari di sana.” terdengar jawaban Tuan Fidel dengan suara berat dan nge-bass.“Lho, kok ke Surabaya sih Pa? Bukankah besok ada pengajian dari semua karyawan dan karyawati Kak Lusy. Masa Papa nggak kelihatan di acara itu.” Shania membantah suaminya.“Pengajian itu akan tetap berjalan ada atau tiada aku. Bukankah kamu bisa mengaturnya sendiri. Bik Imah juga bisa membantu kamu.” sanggah Tuan Fidel.Janeta memiringkan kupingnya mencoba membayangkan ekpresi wajah Tuan Fidel saat ini. Apakah ia sedih? Ataukah biasa-biasa saja.“Aku nggak ngerti jalan pikiranmu, Pa. Kak Lusy baru saja meninggal dengan cara yang sangat tragis, kok bisanya kamu bersikap santai seperti itu?” terdengar helaan nafas prihatin Shania.Janeta mengingsut langkahnya menuju taman yang berada persis dekat ruang tamu. Disana mungkin ia bisa sedikit mengintip. Dengan berpura-pura asyik menyiram tanaman, Janeta mengawasi ruang tamu dengan ekor matanya yang tajam.“Sudahlah Shania. Cukup sudah sandiwaramu. Aku muak melihat wajah sok baik hatimu itu.”DegJantung Janeta bergetar hebat mendengar suara Tuan Fidel yang cukup keras. Sepertinya ia sengaja menaikkan volume suaranya agar bisa di dengar dengan jelas dari jarak agak jauh.“Hei Pa ! Maksudmu apa? Sok baik kepada siapa?” Shania berteriak juga cukup keras.“Kamu masih mencurigai kalau aku terlibat pembunuhan Kak Lusy..?”“Ya Allah, sadar Pa, Kak Lusy itu sudah ku anggap seperti Kakakku sendiri. Mana mungkin aku tega melakukan itu kepadanya.” jawab Shania bertubi-tubi.“Mana ada di dunia ini dua orang yang bermadu dalam rumah tangga bisa merasa bersaudara? Heeh..!” suara Tuan Fidel makin sinis.“Mau bukti apa lagi kamu Pa, aku bahkan rela memberikan Arkhas darah dagingku kepada Kak Lusy karena dia tidak punya anak. Ibu mana yang mau berbuat seperti itu kalau bukan karena alasan aku menganggap Kak Lusy adalah Kakakku sendiri.” dengan nada sewot Shania membela diri.“Huuh..! Buktinya dua hari sebelum kematian Lusy, kamu kesal dan marah kepadanya karena Arkhas jatuh dari tempat tidur. Kamu malah bertengkar dengan Lusy.” pertengkaran Tuan Fidel dengan Shania semakin panas.“Lha, walaupun aku dan Kak Lusy sudah seperti saudara, bisa jadi ada pertengkaran. Sedangkan orang yang bersaudara kandung saja sering bertengkar kemudian berbaikan lagi. Aku hanya minta Kak Lusy lebih hati-hati menjaga Arkhas. Itu saja, tak lebih!” tandas Shania cukup panjang.“Sudaaaah...!! Diaaam kamuu..!” kamulah yang telah membunuh Lusy. Tapi kamu terlalu pintar hingga polisi melepaskanmu! Seharusnya saat ini kamu sudah di penjara..!” bentak Tuan Fidel.Praaaaang....!!Suara benda terdengar di hempaskan ke lantai dan membuat suasana pagi itu cukup menegangkan.Ricana berlari memasuki rumah dan gadis cilik itu bergegas memeluk Shania ibunya.“Aku tidak terima kamu menuduhku, Pa..! Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuuuuuh....!!” teriak Shania histeris menjerit-jerit.“Nyonya! Ada apa ini Nyonya..? Tidak baik ribut seperti ini.” suara asing terdengar menimpali pertengkaran mereka. Suaranya sangat halus dan lembut menyapa Shania yang menangis sesugukan.“Salma, kamu lihat Sal. Suamiku sendiri menuduhku membunuh Kak Lusy. Padahal polisi sudah memeriksaku dan menyatakan aku tidak terlibat.” ratap Shania di sela isak tangisnya.“Sabarlah Nyonya. Mungkin Tuan hanya sedang tertekan dan stres.” ucap suara milik wanita yang di panggil Salma oleh Shania tadi.Janeta memanjangkan lehernya untuk dapat sedikit mengintip dari celah kaca yang terbuka. Ia melihat Salma tengah memeluk Shania yang nampak histeris. Ricana gadis kecil Shania nampak kebingungan. Ia memilih untuk merangkul bahu Salma gadis muda yang mungkin umurnya lebih muda dari pada Shania atau setidaknya sebaya.“Ooh, Saya masih ada di rumah Pak. Kalau mau datang saya akan menunggu anda.” terdengar pula suara Tuan Fidel menjawab telepon dari seseorang.Langkah kakinya mendekat ke arah Shania yang duduk di atas sofa berpelukan dengan Salma. Janeta menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas.Ting..!Satu kedipan mata diberikan Tuan Fidel kepada Salma. Shania yang berposisi memunggung ke arah Tuan Fidel tentu tidak melihatnya.“Astagaaa...!” Janeta membathin.Sementara isak Shania makin lirih terdengar mendayu-dayu.“Sebentar lagi Tuan Morat Pengacara Lusy akan datang. Ia akan membacakan isi wasiat istriku Lusy. Jika semua hak warisan sudah sah ke tanganku, kamu bersiaplah untuk angkat kaki dari rumah ini. Aku tidak sudi melihat pembunuh ikut menikmati harta kekayaan Lusy.” ucap Tuan Fidel sinis.“Hm, ada yang tidak beres ini. Semakin ke sini, semakin ruwet urusannya. Ternyata banyak masalah yang melatar belakangi peristiwa ini.” gumam Janeta di dalam hati. Ia lalu mengambil sekop yang berukuran mini dan mulai mencongkel-congkel tanah di dalam pot besar yang di huni oleh sebatang talas berdaun lebar dan lebat.Sekitar setengah jam kemudian, sebuah mobil memasuki perkarangan kediaman Tuan Fidel dan Shania. Mobil itu cukup mewah menandakan bahwa yang datang bukanlah orang yang kere. Pintu mobil terbuka keluarlah seorang lelaki berperawakan agak gemuk dan berpenampilan parlente. Memakai jas berwarna biru tua yang sepadan dengan warna celana dan dasinya.“Wooow Tuan Morat! Sudah lama kita tidak saling bertemu.” sambut Tuan Fidel sangat ramah dan sumringah.“Hahha.. iya Tuan Fidel. Kita bertemu sekitar enam bulan yang lalu.” jawab lelaki yang di panggil Tuan Morat itu.“Yaa..yaa, kita bertemu di kantor Tuan Morat ketika istriku Lusy memintaku datang untuk menjelaskan bahwa dirinya telah menandatangani surat wasiat bahwa akan mewariskan semua hartanya kepada aku suaminya jika suatu saat ia tiba-tiba saja meninggal.” ucap Tuan Fidel yang terdengar sumbang di telinga Janeta.“Mari masuk Tuan Morat. Kami sudah menunggumu.” Tuan Fidel merengkuh bahu Tuan Morat dan mengajaknya memasuki ruang tamu yang luas.Mereka duduk berkumpul di salah satu set sofa. Di ruang tamu yang luas itu ada dua set sofa mewah berwarna coklat muda dan coklat tua. Sepertinya Shania adalah penyuka warna coklat.“Sepertinya istri saya sudah memiliki firasat kalau umurnya sudah tidak lama lagi. Saya sungguh terkejut ketika Lusy memutuskan untuk membuat surat wasiat agar semua hartanya di wariskan kepada saya. Huu.hhu.. apalah arti harta yang di tinggalkannya untuk saya Tuan, jika saya harus kehilangan dirinya selamanya.” ratap Tuan Fidel bersimbah air mata. Ia mengucek-ngucek matanya yang terus membasah.Sementara itu Shania sudah duduk dengan tenang dan memandang arah tak tentu. Salma telah meninggalkan ruang tamu membawa Ricana ikut serta. Ia sadar diri, kehadirannya tidak di butuhkan dalam acara keluarga yang penting itu. Dari dalam sebuah kamar terdengar suara Salma mengajar Ricana mengeja bacaan.“Oh, gadis itu ternyata guru les Ricana.” tebak Janeta dalam hati.*****“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia