"Kak Atha." Shirin kembali bicara. "Sebenernya, Kak Al itu sakit apa?"
Athalas diam dan menatap Shirin untuk waktu yang lumayan lama.Namun, saat ia hendak membuka mulut, pintu rooftop dibuka kencang. Aldiaz berdiri dengan sebelah telapak tangan menempel pada pintu, angin berembus menerbangkan helaian rambutnya.
Athalas bangkit, mengambil hand bag yang dibawa Shirin, dan berjalan menuju pintu. "Bukan urusan lo," jawabnya. Sebelum pergi, ia sempat menabrakkan bahunya ke Al.Aldiaz masih diam, bahkan saat Athalas sudah menghilang di balik pintu. Cowok itu menunduk dalam.Shirin mengusap lengan, ekspresinya menyesal. "Maaf," bisiknya.Aldiaz menggeleng. Namun, tanpa mengucapkan apa pun, lelaki itu berbalik dan melenggang pergi.Bahu Shirin merosot dan tak habis pikir. Aldiaz bahkan tidak menatapnya sama sekali. Apa kali ini ... Al benar-benar marah padanya?***S"Gue gak bisa pura-pura lagi." suara Mia sedikit bergetar.Willa menepuk-nepuk bahunya. "Tenang aja, Mia. Lo cuma harus lakuin apa yang gue suruh. Habis itu, semua bakal baik-baik aja.""Lo mau gue ngelakuin apa?" tanya Mia, dan kali ini tatapannya datar.Senyum Willa kembali mengembang, ia mendekat dan berbisik tepat di telinga Mia."Soal film yang dibuat sama tim jurnalis sekolah ...."***Abi tersenyum puas melihat rekaman video yang dibuatnya. Matanya melirik Willa dan Mia yang sudah menghilang tertelan keramaian koridor. "Kena lo, Wil!" gumamnya. "Kalau Al tau, dia pasti mati."Valen geleng-geleng kepala. "Jangan kasih tau Al.""Lah, kok gitu, sih?" Abi memrotes. "Buat apa gue rekam kalau si Al gak boleh tau?""Al itu kalau marah gak main-main." Valen memukul kepala Abi dengan sendok bersih. Ia membuang muka dan memelankan suara. "Kalau beneran kejadian, langsung
Shirin keluar dari kelasnya bersama Mia, tetapi mereka harus berpisah di gedung utama. Mia harus berbelok ke lorong untuk berkumpul dengan anggota klub jurnalis, sementara Shirin berjalan lurus ke luar gerbang. Ya, setidaknya itu yang direncanakan Shirin.Namun, begitu keluar dari gedung utama, seorang gadis menghalangi jalannya. Ia Willa, kelas XII IPA 2. Cewek jangkung itu menatapnya dingin, tetapi ekspresi ketusnya tak mengurangi kecantikannya sedikit pun.Shirin tersenyum kikuk, merasa insecure berhadapan dengannya."Jangan terlalu deket sama Aldiaz," ucap Willa to the point dan tanpa senyum, sukses membuat senyum Shirin sirna. "Gue gak akan cemburu sama cewek kaku kayak lo, tapi yang tadi itu kelewatan. Gue tau, banyak cewek yang nge-fans sama Al, tapi gak gitu juga. Pura-pura nangis supaya dipeluk terus ditemenin ke UKS? Lo masih punya harga diri, 'kan?"Perkataannya begitu dingin dan menusuk—membuat Shirin semakin tert
Tawa Athalas pecah melihat ekspresi Shirin di foto. Dengan susah payah ia duduk di samping Shirin dan memperlihatkan sebuah foto di layar ponselnya.Shirin menggeleng dan berusaha mengambil kesadaran. Menyadari apa yang terjadi membuat wajahnya panas."Lihat, nih, foto lo," ucap Atha di sela-sela tawa. "Tampang-tampang jones, ahahaha!"Shirin merebut ponsel itu. Di foto, Atha terlihat berpose dengan gaya salam dua jari. Di sampingnya, Shirin duduk dengan wajah tertekuk. Shirin menutup wajah dengan kedua tangan dan merasa malu.Atha kembali merebut ponselnya dengan sisa tawa. "Sip, gue kirim ke Al.""Eh, jangan!" Shirin menjawab cepat, membuat Atha kembali tertawa. Merasa dipermainkan, Shirin hanya meliriknya tajam dan kembali diam.Tawa Atha mereda, ia bersandar ke kursi taman dengan senyum yang mengembang. "Lo kenapa duduk sendirian sambil murung kayak jones?""Gak papa," jawab Shirin cuek. I
"Ada mata yang kerap menatapku, ada senyum yang menenangkanku, ada hal yang semua pikir itu untukku. Nyatanya, tak ada yang menetap demi aku."***Melihat Mia yang dengan kejam menjambak rambut Shirin dan menariknya keluar, Stevany dan Joy saling melirik, kemudian mengikutinya. Di koridor, mereka berdua berpapasan dengan bintang iklan SMA Generasi Bangsa—Willa."Mana si Mia?" tanya Willa dengan wajah dinginnya yang khas. Melihat Stevany yang menunjuk ujung koridor, Willa tersenyum. Ia melangkah perlahan, sementara dua adik kelasnya itu mengekorinya.Di ujung koridor yang sepi, langkah kaki Willa yang terdengar menggema membuat Mia menghentikan pergerakannya. Ia menoleh dan matanya langsung menatap lurus ke mata Willa."Gue gak nyangka lo bener-bener ngelakuin ini." Willa bertepuk tangan.Membuang muka, Mia mengulurkan tangan. "Mana janji lo?"Willa mengeluarkan amplop cokelat tebal dari
Lo yakin gak mau jalan sama gue dulu, Mi? Shoping gitu," tanya Stevany di balik mobilnya. Ia melirik ke sekitar dan perumahan itu dapat terbilang sepi, dengan rumah-rumah kecil yang sebagian besar tak berpenghuni. "Ini beneran daerah rumah lo? Bukannya lo anak CEO, ya?""Hm? Eh, iya." Mia mengangguk cepat seraya tersenyum kikuk. "Buat jaga-jaga. Keluarga gue gak mau kelihatan mencolok."Stevany membulatkan bibir. "Ya udah, gue duluan, bye." Gadis itu melambaikan tangan dan memutar stir menjauhi perumahan.Mia menghela napas dan berjalan perlahan memasuki perumahan kecil. Masih dengan seragam yang melekat, ia berbelok ke sebuah gang sempit yang kotor. Ini lebih bisa disebut sebagai perkampungan kumuh. Rumah-rumah dengan beragam bentuk menyatu. Suara anak-anak yang berlarian dan volume televisi terlalu besar bersahut-sahutan membuat riuh."Woy, buka! Jangan pikir lo bisa lari!" seru seseorang. Ia menggedor pintu kayu sebuah rumah kec
Seorang wanita paruh baya sedang mengepel lantai koridor gedung utama. Rambutnya yang sedikit beruban dicepol asal, dan baju lengan panjangnya yang lusuh digulung sampai ke siku. Sesekali ia mengusap keringat di keningnya.Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 petang. Mia mengendap-endap keluar dari ruang klub jurnalis dan matanya melirik berbagai arah dengan waspada. Ia memastikan tidak ada orang lain lagi di sana selain dirinya dan wanita pekerja sekolah itu.Setelah merasa lingkungannya aman, Mia menghampiri wanita itu dan menyapa pelan. "Ibu, udah sore. Yuk, pulang!"Wanita yang sedang membungkuk itu menoleh. Ia tersenyum sumringah, berdiri tegak, dan mengusap kepala Mia pelan. "Eh, anak Ibu. Udah selesai sekolahnya?"Mia mengangguk dan mengangkat sekantung plastik bening berisi ayam goreng crispy. Ia tertawa. "Tadi ditraktir Kak Atha, buat makan adik-adik aja."Suara klakson mobil dari parkiran membuat kedua orang i
"Aldiaz dan Athalas Fernan." Pak Surya memperkenalkan dua murid barunya yang baru pindah bersamaan. Aldiaz—seorang lelaki dengan kacamata bulat tersenyum manis menyapa seisi kelas, sementara Athalas hanya tersenyum singkat.Kemudian, keduanya duduk di kursi tengah tepat di antara Abi. Mereka bertiga menjadi teman baik dan membuat Abi memerhatikan mereka lebih dari yang seharusnya. Matanya sering menangkap mereka di tempat-tempat tertentu, dan ketika ia menemukan mereka sedang berdua ... mereka selalu terlihat berbincang serius."Kalian kenapa milih pindah ke SMA Generasi Bangsa?" tanya Abi pada suatu ketika.Athalas menegang sejenak. Ia terlihat gugup memikirkan jawaban.Berbeda dengan Aldiaz yang terlihat tenang. Bahkan, dengan gaya yang terkesan santai, ia menjawab sambil menatap Abi dengan sorot humor. "Gue sama Atha pindah ke sini karena kami tertarik sama cewek yang sekolah di sini.""Lah, anjir. Kok bucin?"
Shirin yang sudah rapi dengan seragam dan ransel keluar dari rumahnya. Ia terkejut begitu melihat mobil silver terparkir di depan rumah. Lelaki tinggi berambut cokelat berseragam dan almameter yang sama seperti Shirin bersandar ke mobil dengan kedua tangan menyilang.Athalas mendongak dan tersenyum jahil. "Halo, tokoh pendamping!" sapanya sok akrab.Shirin meremas tali tas, dengan ragu ia berjalan mendekati Athalas. Namun, bukannya masuk ke mobil, gadis itu malah berbelok menyusuri trotoar hendak ke halte bus.Athalas di tempatnya tercenung, menunjuk punggung Shirin yang berlalu melewatinya, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Gue ... ditolak?"Tersadar, Atha mengerjapkan mata dan segera menyusul Shirin. "Rin, oy! Berangkat bareng!" seruAthaShirin menghentikan langkah dan berbalik menatap Athalas tajam. "Kamu punya Mia.""Hah?" Atha cengo.Shirin tak menyahut, ia malah melengos dan hendak