Shirin meneguk ludah memandang punggung Aldiaz yang menjauh. Padahal, ia tepat berada di samping Al saat cowok itu melewatinya. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Namun, ia cepat-cepat mengatur ekspresinya saat suara cempreng Mia terdengar di belakang.
Shirin terlonjak hampir melompat dari tempatnya saat Mia tiba-tiba berseru dan merangkulnya dari belakang. "Pagi, Rin!"
"Astagfirullah!" Shirin ber-istigfar seraya mengelus dada.
Mia cekikikkan. Namun, dengan cepat tawanya memudar kala menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu. "Lo gak papa, Rin? Gue gak kekencengan, 'kan?"
Shirin menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya. "Enggak, enggak apa-apa. Ayo, ke kelas aja."
Mia tidak merespons dan langsung mengikuti langkah Shirin menuju kelas XI IPS 2. Sampai di kelas, Mia duduk dan langsung menghadap Shirin, matanya berkilat-kilat. Shirin menduga bahwa Mia memiliki banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan kepadanya. "Gimana hubungan lo sama Al?"
Shirin refleks mengembuskan napas dan berpaling. "Ya, baik."
"Sebaik apa?" pertanyaan Mia kelewat antusias.
Shirin melirik teman semejanya itu. Mata Mia penuh binar—seolah ia ingin mendengar hal yang bisa ia gosipkan ke seluruh sekolah. Dasar anak jurnal, cibir Shirin dalam hati. "Ya, gitu." hanya itu jawaban Shirin.
Mia merotasikan bola mata seraya mendesak. "Ceritainlah!"
Sekarang Shirin yang memutar bola mata malasnya. "Ya, well, Kak Al cukup baik. Dia sopan, orangnya menghargai gue banget. Gue sama dia ketemu di taman kemarin. Kami dengerin musik bareng. Terus, dia tiba-tiba ngajak gue ke Monas. Pokoknya ... dia baik banget."
Shirin tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya, seolah ia sama sekali tidak mengalami peristiwa terabaikan beberapa menit lalu … tetapi tentu saja ia tak mengatakan tentang sikap dingin Aldiaz itu.
"Oke, fix. Lo harus kasih cokelat ke Kak Al besok." Mia memutuskan dan terdengar tak ingin dibantah. Shirin hanya menatapnya aneh dan membuatnya kembali memutar bola mata. "Besok itu Valentin, Shirin! Valentin!"
Shirin mengecek ponsel dan melihat tanggal. Benar saja, hari ini 13 Februari, dan besok 14 Februari—hari Valentin. Setidaknya, ia harus memberikan cokelat wajib untuk seseorang. Tradisi SMA Generasi Bangsa setiap hari kasih sayang adalah bertukar cokelat.
Shirin kembali memandang Mia yang matanya berkilat-kilat. Sepertinya, gadis itu sangat bersemangat. Entah karena tak sabar menunggu hari Valentin tiba, atau menunggu momen romantis yang akan terjadi. Namun, tanpa berpikir dua kali, Shirin akhirnya mengangguk setuju. "Oke juga."
Mia mengacungkan jempol seraya berdiri. "Sekarang, ikut gue." tanpa menunggu respons, Mia menarik pergelangan tangan Shirin dan keluar kelas. Mereka menyusuri koridor dan masuk ke kantin yang masih sepi.
Hanya ada dua orang lelaki yang duduk di sudut kantin. Athalas dan Abizart, mereka duduk berhadapan di salah satu warung mie yang masih belum buka. Mia melambaikan tangannya, kemudian menarik Shirin menghampiri mereka.
Dua gadis itu pun duduk di hadapan Athalas dan Abizart. Mereka hanya dihalangi meja. Mia cemberut dan menyapu pandang ke sekitar kemudian memandang Atha. "Aldiaz mana?"
Atha hanya mengangkat bahu acuh. Ia melirik Shirin yang hanya menunduk seraya berkata, "Lo suka sama Aldiaz?"
Merasa pertanyaan itu untuknya, Shirin mendongak dan matanya langsung bertumbuk mata dengan mata obsidian yang tajam milik Athalas. Ia menggeleng perlahan dan membuat Atha mendengus.
"Rin, gue kasih tau aja. Al gak baik buat lo." kali ini Abizart yang berbicara di sela-sela kegiatannya memakan roti. "Dia gak kayak yang lo bayangin, dia gak sebaik keliatannya."
Shirin hanya menatapnya dan menyembunyikan raut kesal pada lelaki itu. Padahal, Shirin sempat menyukai Abi. Namun, hanya dengan mendengarnya menjelek-jelekkan Aldiaz membuatnya begitu kesal.
Mia menyadari raut kesal Shirini. Ia meraih tangan Shirin dan menggenggamnya erat di bawah meja. "Emangnya kenapa, Bi?" tanyanya pada Abizart.
Namun, bukannya menjawab, Abizart malah mendelik dan menjauh dari Mia. "Gue senior, loh. Panggil gue 'Kak', kek. Lo pikir gue bibi lo?"
"Ya elah, Bang." Mia memutar bola mata dan membuat kedua lelaki itu tertawa.
Abizart mengangkat bahu dan mengulang perkataannya yang tadi. "Ya pokoknya, Al itu gak sebaik keliatannya."
Pandangan Shirin melunak kala mengingat raut dingin Aldiaz pagi ini. Mungkin Abi benar, Al tidak sebaik itu. Buktinya, lelaki itu mengabaikannya. Berikutnya, Shirin tidak menyahuti ketiga orang yang sedang berbicara itu. Ia terus menunduk dan berpikir dengan perih yang entah mengapa menjalar dalam dadanya.
Padahal, baru kemarin ia dibuat bahagia sekali, tetapi sekarang, kesedihannya tak kalah besar. Seakan dibuat terbang tinggi, lalu dijatuhkan keras-keras. Menyakitkan.
***
Lagi-lagi Mia disibukkan oleh kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik. Shirin terpaksa berjalan sendirian ke halte bus. Tak ingin terburu-buru, Shirin melangkah pelan menuju gerbang. Namun, suara tawa dari sebuah ruangan di gedung utama membuatnya menghentikan langkah.
Shirin bisa melihat Aldiaz dan seorang gadis berambut pirang sedang mengobrol ria sambil mengerjakan sesuatu melalui celah pintu ruang BK yang sedikit terbuka. Obrolan mereka tampak menyenangkan dan sesekali Aldiaz tertawa.
Setelah itu, barulah Shirin mendengar bisik-bisik para siswa.
"Eh, itu Kak Al sama Kak Willa, ya? Mereka gak jadi putus?"
"Ih, jangan sembarangan. Kayaknya, kemarin-kemarin, mereka cuma berantem aja. Bukan berarti putus, 'kan?"
"Iya, bener. Sayang kalo mereka putus, padahal serasi banget."
"Bener, tuh."
Bahu Shirin merosot dan tatapannya nanar meski senyum tercetak di wajahnya. Senyumnya muram dan bibir tipisnya lantas bergumam, "Oh ... udah punya pacar dia ...?" detik berikutnya, setetes air lolos dari kelopak mata. Shirin menutup mulutnya seraya menahan isak tangis dan bibirnya bergetar. Hanya perlu satu sentuhan lagi sebelum segala pertahanannya pecah.
"Eh, cewek itu siapa?" kali ini, siswi yang sedang bergosip dengan teman-temannya memelankan suara, tetapi tentu saja Shirin bisa mendengar. "Gue gak sengaja liat dia sama Kak Al di Monas kemarin."
"Jangan-jangan korban pelampiasan lagi."
Shirin sontak berlari, pergi, menjauh sejauh-jauhnya dari sana. Tangisnya sudah pecah meski tanpa suara dan air matanya berderai. Shirin membiarkan kakinya sendiri yang membawanya hingga ke atap sekolah. Ia berjongkok sambil menutup mulutnya yang terisak dan bahunya sudah berguncang.
Shirin memukul-mukul dadanya yang sesak. Sakit, sangat sakit. Sampai-sampai Shirin ingin berteriak.
"Aku janji, gak akan kasar sama kamu lagi."
"Bisa kamu kasih aku kesempatan sekali lagi?"
"Aku bisa menunggu lebih lama lagi, bahkan selama yang kamu mau."
Isakan Shirin semakin keras. Kini, perkataan Adliaz dan sikap lembutnya terngiang-ngiang di otak Shirin. Mengendap dan tenggelam dalam sudut hati yang gelap, menjadi sebuah kenangan paling menyakitkan.
Kemudian entah bagaimana, sebuah jaket jatuh dan tersampir tepat di punggungnya menimbulkan kehangatan. Disusul seseorang yang berkata santai. "Udah sore, loh. Di atap dingin."
Hai, para readers goodnovel! Terima kasih sudah membaca dan mendukung karya saya. Saya sangat senang karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu sebulan. Tapi, sebenarnya novel ini belum benar-benar tamat. Masih banyak misteri dan cerita masa lalu yang belum terkuak. Karena sebenarnya Novel Deutragonis adalah sebuah series yang terdiri dari tiga buku. Novel Deutragonis yang kedua "Deutragonis 2 : Lost Dream" akan segera saya publikasikan pada tanggal 20 September 2021. Di sana akan ada banyak tragedi dan misteri yang terpecahkan. Kalian juga akan lebih mendalami perasaan karakter karena saya menggunakan POV 1. Karena itu, jangan sampai melewatkannya, ya! Sampai ketemu lagi! (Kalau kalian punya waktu, kalian bisa mendukung karyaku yang lain, "Give Me A Heart". Untuk kalian yang menganggap perasaan adalah sebuah kesalahan.)
Ini pertama kalinya Shirin menjejakkan kaki di kampus Aldiaz. Shirin tidak sempat mengantar Aldiaz ke kampusnya saat ospek kampus satu semester yang lalu, dan di sinilah ia sekarang, berdiri sambil memandang gedung jurusan ekonomi yang menjulang tinggi di hadapannya.Sambil memandang sekitar, para mahasiswa tampak cuek dengan urusan masing-masing. Seolah tak melihat Shirin—satu-satunya gadis berseragam SMA yang ada di sekitar sana.Sambil meneguk ludah, Shirin pun memberanikan diri untuk memasuki gedung. Dinding dan pilar beton yang dicat abu-abu mendominasi. Langit-langit yang tinggi berwarna putih polos. Shirin berjalan pelan sambil memeluk hand bag yang dibawanya. Sibuk mengamati setiap sudut lobi, tubuh Shirin tak sengaja menabrak seseorang."Aduh—eh? Anak SMA?" suara seorang gadis membuat Shirin mendongak. Seorang gadis dengan jeans dan kaus berlengan panjang membungkuk sambil memerhatikan Shirin yang lebih pendek darinya. "Cari siapa, Dek?" tan
[Abizart Dirgantara]Cewek paling cantik. Kata-kata itu bergema di hatiku saat menyaksikan cewek itu dari kejauhan. Dia berdiri di antara para orangtua yang menunggu anak-anak mereka selesai ujian. Dengan tongkat penyangga di ketiak kanan karena kakinya patah. Garis wajahya lembut, dengan tatapan mata sayu dan dagu selalu tertunduk.Sejak kapan aku tidak bisa melepaskan mataku darinya? Sekarang aku bagaikan seorang stalker, penguntit yang terus-menerus membayanginya setiap hari. Menyaksikan ketegaran yang disuguhkannya pada dunia. Menyaksikannya melepas topeng itu, menampakkan seorang remaja biasa yang takut menghadapi begitu banyak orang yang menertawakannya diam-diam di balik punggungnya.Dan merasa dia luar biasa cantik karenanya.Tuhan ... bolehkah aku mencintainya? Meskipun pada akhirnya aku akan menyakit
"Tanpamu, aku hanya ingin mencari tempat untuk menangis dan berteriak."***Mia keluar dari kelas XI IPS 2 dan celingukan waspada. Koridor masih ramai karena bel baru berbunyi tiga menit lalu. Mia mengembuskan napas lega begitu sosok yang dihindari tak terlihat batang hidungnya. Alhasil, ia pun melenggang santai menyusuri koridor.Gadis itu melotot dan sontak menutup wajahnya dengan buku begitu melihat Pak Shim keluar dari kelas XI IPS 1. Mia bisa melihat Pak Shim yang sedang mengobrol sebentar dengan para siswi. Dengan cepat, Mia berhambur ke kerumunan siswa. Namun, baru saja ia hendak keluar dari koridor, suara yang tak diharapkannya memanggil."Mia!" panggil Pak Shim tegas.Mia sontak menghentikan langkah dan mengembuskan napas lelah. Ia berbalik dengan gontai. "Saya 'kan, sudah konseling, Pak. Sudah," ujarnya.Pak Shim mengusap wajah seraya berjalan melewati Mia. "Ikut saya."Mendengar itu, Mia menggeram. Namun, akhirnya menurut j
Aldiaz membanting pintu mobil seraya melenggang memasuki sekolah. Kali ini, ia datang sendiri. Shirin masih perlu melakukan rehabilitasi. Oh, iya. Shirin dan Mia kembali bersahabat seperti biasa. Mia sering menjenguk Shirin dan sedikit mengurangi kekhawatiran Aldiaz.Sampai di lobi, langkah Aldiaz terhenti begitu mendapati Atha berdiri dua meter di hadapannya. Mendecih, Aldiaz membuang muka. Ia menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Atha rendah. "Masih berani lo nemuin gue?""Sori." Athalas meringis dan tersenyum menyesal. "Gue cuma gak mau melanggar aturan dan ambil resiko kayak lo."Mata Aldiaz menyipit dan maju beberapa langkah. "Terus, tujuan lo yang hampir nyuri first kiss-nya Shirin itu buat apaan?"Atha mendongak menatap Al. Ekspresinya yang sangat-sangat terluka membuat Al meneguk ludah. Kemudian, Atha berkata dengan senyum muram. "Gue perlu ngelakuin itu supaya Mia punya alasan buat berhenti jatuh cinta sama gue. Dia cuma bakal terlibat da
"Target harus mati, Al," kata Leon sambil mengusek tangan Al dengan ujung sepatu seraya memandangnya rendah. "Apa pun yang terjadi, target harus mati."Aldiaz berusaha bangkit. Namun, Leon menendangnya, hingga terlempar ke halaman. Tak habis sampai di situ, Leon menendang Al berulang kali. "Bisa-bisanya hidup lo semenyedihkan ini," katanya tanpa perasaan. "Bisa-bisanya orang rendahan kayak lo ... masih gak tau diri."Aldiaz menyempatkan diri menatap Shirin. Ia tersenyum tanpa memedulikan sakit di seluruh tubuhnya. Kemudian, Al berbicara tanpa suara. "Lari."Air mata Shirin kembali luruh. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya menjauh. Namun, ia tahu, ia tak mampu.Aldiaz mengeluarkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi pesawat terbang. Ia menerbangkannya dan pesawat itu mendarat di pangkuan Shirin. Aldiaz tersenyum manis dan merapatkan mata saat Leon mengambil asal pistol yang tergeletak di tanah.Sementara Shirin cepat-cepat membuka lipata