Share

Bab 8 : Anak Kecil

"Lo, tuh, udah kayak anak kecil aja, njir!" Atha mengomel begitu Shirin sampai di Mal bersama Al. "Kesasar di Mal, terus diculik om-om. Nyusahin, dah, asli. Bikin orang khawatir aja!"

Al memandang jengkel, tetapi kemudian ia tersenyum mengejek. "Eum, Ath ... lo ... khawatir sama Shirin?"

"Bukan gue, tapi Mia." Atha menjawab cepat. Namun, Al dan Mia malah tertawa cekikikan-membuatnya mengumpat.

Sementara Shirin sendiri hanya diam seperti anak kecil yang polos-memandang teman-temannya bergantian. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah sore, gue duluan, ya, Mia."

Mia mengangguk membuat Shirin segera berbalik.

"Mia, gak usah anter. Gue bisa sendiri." Shirin cepat-cepat menambahkan kala Mia ingin mengikuti langkahnya.

"Bener?" Mia memastikan, sementara Shirin mengangguk seraya berlalu pergi memunggungi teman-temannya.

Entah mengapa, Al malah menyusul dan berjalan di sisinya. "Pulang naik apa?"

Shirin melirik sekitar sebelum menjawab. Tidak ada taksi di sekitar sini. "Eum, bus."

Al menatapnya menyelidik seraya mencekal tangannya. "Ayo, aku anter!"

"Jangan, nanti kamu ditampar mama." Shirin buru-buru menolak. Namun, Al malah tertawa mendengar penolakannya. "M-maaf."

"Gak papa." Al merespons dengan cepat. Ia berpikir sebentar, lalu menawarkan. "Kalo pulang bareng gimana?"

Shirin diam, berpikir dalam hati, bukankah itu sama saja?

"Aku ikut naik bus," tambah Al dengan seulas senyum.

Shirin menyembunyikan wajahnya yang entah mengapa malah memanas. Ia mengangguk kecil. "Terserah Kak Al aja."

Aldiaz bersorak kecil seraya menarik tangan Shirin menuju halte. Tak butuh waktu lama hingga bus datang dan membawa mereka.

Mia memandang peristiwa itu dari kejauhan dengan helaan napas lega. "Al gercep banget. Iya gak, Ath?"

"Paling cuma iseng," dengus Atha seraya berlalu dari taman Mal diikuti tiga orang temannya.

***

"Kak Al mau ke mana?" Shirin akhirnya bertanya memecah hening. Mereka masih duduk di dalam bus.

"Ke mana-mana." jawaban Al membuat gadis itu mendengus. Al sendiri tertawa kecil. Gadis di sampingnya ini kenapa bisa sangat lucu?

"K-Kak Al ... enggak nonton sama yang lain?" Shirin bertanya lagi, entah mengapa ia bisa berbicara banyak hal dengan lelaki ini.

Al meliriknya dan diam-diam tersenyum. Namun, bukannya menjawab, ia malah mengajukan pertanyaan lain. "Kenapa manggil aku 'kak'?"

"Kak Al 'kan, senpai--"

"Senpai?" Al membeo.

Shirin cepat-cepat meluruskan. "M-maksudnya, Kakak itu--"

"Kamu wibu?" bukannya mendengar penjelasan Shirin, Al malah mengubah pertanyaan.

Alhasil, Shirin memalingkan wajah dan pura-pura menyibukkan diri dengan memeriksa tasnya. "B-b-bukan, aku bukan wibu. A-a-aku cuma s-suka nonton anime aja."

Al mendekatkan wajahnya dan tersenyum usil. "Tau Kuriyama Mirai?"

"Film Kyoukai No Kanata?" Shirin menyahut.

Al mengangguk dan menunjuk pipi Shirin yang tembam. "Iya, kamu mirip sama Kuriyama."

Lagi-lagi wajah Shirin dibuat memanas. Al mengabaikan dan kembali bersandar pada kursi. Shirin kembali melihat ke jalanan. Ternyata, sebentar lagi ia sampai di perumahan. Gadis itu pun berdiri dan menghentikan bus. Baru saja ia ingin melangkah, Al mencekal tangannya-membuatnya kembali menoleh.

Al tersenyum miring, senyumannya sulit diartikan. "Sampai jumpa besok."

Tak ingin tercenung terlalu lama, Shirin mengerjap dan mengangguk singkat seraya buru-buru keluar dari bus. Ia hanya tersenyum kecil pada Al yang melambai dari jendela bus.

Saat bus sudah menjauh, Shirin terduduk di halte meraba dadanya. Ia merasakan jantung yang berdetak tak karuan. Hari ini hatinya membuncah senang. Baru kali ini ada seseorang selain Mia dan ibunya yang berbicara padanya selama itu, dan baru kali ini ada laki-laki yang berhasil membuatnya berbicara banyak hal dan menunggunya sesabar itu.

Ia melempar tas asal di kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Beberapa menit berlalu, yang dilakukannya hanya menatap langit-langit kamar yang polos.

Wajah Aldiaz kembali terlintas. Pesonanya, mata onyx-nya yang indah, dan perkataannya yang lembut kembali terngiang di otak Shirin.

Shirin merasa perutnya mulas, seakan ada kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Hatinya ringan dan berdesir hebat. Ia merasa sangat bahagia.

"Aku bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan, selama yang kamu mau."

Shirin membenturkan kepalanya ke kasur berulang kali, meraih bantal, dan menutupi wajahnya seraya berteriak kencang. Kemudian, deringan ponsel mengalihkan perhatiannya. Nama Mia tertera di layar sebagai penelepon.

"Eh, lo udah sampe? Masih hidup, 'kan?" sembur Mia begitu telepon terhubung.

Shirin memutar bola mata. "Ya, masihlah. Ini gue masih napak di tanah."

"Haah, syukurlah." beberapa detik berikutnya, hening menyelimuti mereka. Kemudian Mia memanggil. "Rin."

Shirin hanya berdeham.

"Lo kenapa bisa seakrab itu sama Aldiaz? Dia gak ramah, loh."

Mendengar kata-kata Mia, Shirin bangkit dan membenarkan posisi duduknya. "Gak ramah gimana?" tanyanya. "Dia murah senyum, kok. Senyumnya juga manis. Terus, cara bicaranya juga ... lembut." Shirin menakup kedua pipinya yang memanas. Hanya dengan membayangkan sikap Aldiaz, membuat hatinya meletup-letup kesenangan.

"Ih, masa lo gak bisa bedain, sih, Rin?" nada suara Mia terdengar tak habis pikir. "Dia ramahnya, tuh, kayak orang yandere. Ramah, murah senyum, tapi psikopat."

"Ngaco!" sembur Shirin mulai kesal.

"Ih, serius, dia itu kalo ramah--"

"Udah-udah," potong Shirin. "Mending lo lanjut nonton film sama Athalas, jangan nelepon gue dulu."

Mia menepuk dahi. "Oh, iya. Gue lagi nonton film psikopat! Udah dulu, ya, Rin!" seru Mia yang disusul suara 'tut-tut' dari telepon.

Shirin menggelengkan kepalanya. Dasar Mia, bisa-bisanya menyebut Aldiaz psikopat.

***

Keesokan harinya adalah hari yang cerah. Meskipun masih pukul 06.00, Shirin setengah berlari memasuki gerbang sekolah. Ia masuk ke lobi gedung utama dan celingukan. Sekolah masih sepi, hanya ada segelintir murid yang baru datang.

Ia memutuskan berdiri di lobi, bersandar ke pilar, dan menyibukkan diri dengan buku. Napasnya terengah, tetapi Shirin tak merasa lelah.

Setelah dirasa cukup lama, Shirin menutup bukunya. Ia melihat sekeliling dan ternyata murid-murid sudah banyak yang berdatangan. Kemudian, decitan mobil di lapangan parkir mengalihkan perhatian Shirin.

Seorang lelaki jangkung berambut gelap keluar dari mobil avanza yang berwarna hitam. Aldiaz menyampirkan ranselnya di satu bahu dan berjalan menuju lobi.

Mata Shirin berbinar. Ia hendak melambaikan tangan. Namun, diurungkan kala menyadari ekspresi Aldiaz yang tak seramah kemarin. Tampang lelaki itu dingin, tatapannya tajam, dan lurus ke depan. Tidak memedulikan orang-orang yang bicara di sampingnya, ia terus melangkah dan melewati Shirin tanpa menoleh padanya sekali pun.

"Kak Al ...." suara Shirin nyaris seperti bisikan. Wajahnya semula cerah bak mentari pagi berangsur-angsur meredup.

Pada akhirnya ... ia ditinggalkan lagi. Pada akhirnya, ia tetap berdiri sendiri-merasa asing di dunia yang ia tempati.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
misi mulai membuahkan hasil ya Al
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status