Sergio duduk seraya mengetuk-ngetuk jemarinya di kursi, menatap dingin dan tajam Daze Edgardo yang sejak tadi melayangkan tatapan tajam, penuh permusuhan padanya. Dua pria tampan itu saling menghunuskan tatapan. Hanya saja Sergio nampak jauh lebih tenang dan santai—seolah tak sama sekali menghadapi musuh.“Jadi, apa yang kau inginkan? Kenapa kau ingin bicara denganku? Aku tidak suka berbasa-basi.” Sergio berkata dingin dan tegas, tanpa sama sekali basa-basi. Dia menuruti keinginan Daze, yang ingin bicara empat mata dengannya.“Berani sekali kau meledakan mansion-ku! Apa kau bosan hidup, Blanco!” seru Daze dengan tatapan penuh kemarahan.Sergio tersenyum tipis seraya menggerak-gerakkan gelas sloki di tangannya. “Kau yang mulai duluan. Kau mengadukan transaksi penjulan narkobaku pada FBI. Well, jika kau tidak mencari masalah denganku, maka aku tidak akan pernah masalah. Aku sangat simple, kau menyerang, maka aku akan menyerang. Jika kau tidak menyerangku, mana mungkin aku menyerangmu, k
Suasana menjadi tegang dan genting di kala Sergio mendekat. Terutama ancaman Sergio yang mengancam Daze, untuk tak menyentuh Hazel, membuat anak buah Daze langsung bergerak cepat menyodorokan pistol ke kening Sergio. Hazel terkejut di kala pistol disodorkan ke kening Sergio. Dia bermaksud ingin menolong, tapi kondisi sulit, karena posisi kedua tangannya telah ditahan oleh anak buah Daze Edgardo. Hazel tidak tinggal diam. Wanita cantik itu mencoba berontak, tapi berujung sia-sia.Benton hendak ingin menyodorkan pistol ke anak buah Daze Edgardo, tapi sayangnya Sergio menahan. Sergio memberikan isyarat agar Benton tidak bertindak gegabah. Ya, terpaksa Benton menuruti keinginan bosnya untuk tak melakukan serangan balik.“Lepaskan dia, Edgardo. Kau memiliki urusan denganku. Jangan libatkan dia!” seru Sergio mengingatkan dengan sorot mata tajam yang tak main-main. Amarah Sergio menyulut, tapi tetap dia berusaha untuk tenang. Dia sama sekali tidak menyangka Hazel menyusulnya. Umpatan dan
“Kita bicara lagi besok. Ini sudah malam. Tidurlah.”Kalimat pertama yang Sergio katakan, di kala sudah tiba bersama Hazel di penthouse-nya. Banyak pertanyaan muncul di kepalanya, tapi dia memilih untuk menunda bertanya pada esok hari. Hazel terdiam sebentar, menatap Sergio dengan tatapan curiga. “Kau ingin pergi lagi?” tanyanya secara spontan. Ah, sial! Harusnya Hazel tak peduli, Sergio ingin pergi lagi atau tidak, tapi sialnya malah tidak bisa dirinya bersikap acuh.Sergio mendekat, menarik dagu Hazel, dan mengecup bibir wanita itu. “Aku tidak akan pergi. Sekali pun aku pergi, jangan mencemaskanku. Aku akan pulang dalam keadaan selamat. Istirahatlah.” Lalu, pria itu melangkah pergi meninggalkan Hazel yang bergeming di tempatnya. Manik mata Hazel tak lepas menatap bayang-bayang Sergio yang mulai lenyap dari pandangannya. Jemari lentiknya tanpa sadar menyentuh bibirnya yang sejak tadi dicium oleh Sergio.Hazel hanyut akan kenangan ciuman itu. Memori ciuman yang ditinggalkan sangatla
*Nona, apa saya boleh datang ke tempat Anda tinggal?* Neva mengirimkan pesan pada Hazel di nomor baru Hazel. Ya, wajar saja, karena pastinya Neva khawatir akan keadaan Hazel. Sampai detik ini, Hazel masih menjadi buronan keluarganya. Hazel nampak berpikir sejenak, hingga akhirnya dia memutuskan membalas pesan sang asisten. Dia mengizinkan Neva untuk datang. Pun dia memberikan alamat penthouse Sergio. Tapi ada syarat penting yang wajib dipatuhi sang asisten, yaitu tidak boleh ada yang tahu keberadaannya. Hazel meletakan ponselnya ke tempat semula. Dia memilih keluar dari kamar, dan berjalan-jalan. Dia jenuh di dalam kamar. Pun dia yakin pasti Sergio sudah pergi. Biasanya pagi-pagi seperti ini Sergio pasti pergi.Pelayan menyapa sopan Hazel, dan tentunya Hazel membalas sapaan sang pelayan. Dia hendak menuju ke ruang kolam renang, namun langkahnya terhenti melihat Sergio berpapasan dengannya.Hazel menelan salivanya susah payah, melihat tubuh kekar Sergio. Tubuh basah nampak sangat sek
Lidah Hazel kelu. Bahunya bergetar melihat harimau yang ada di hadapannya, tengah melahap habis makanan yang dibawa oleh Sergio. Daging segar serta ayam utuh yang dibawa pria itu rupanya untuk memberikan makanan seekor harimau liar di hutan.Pria di depannya ini memang sudah gila. Tidak waras sama sekali. Bisa-bisanya pria itu mengajaknya pergi di tengah musim dingin seperti ini—hanya untuk memberikan makanan untuk harimau.Hazel hendak mengomel, namun makanan yang disantap oleh harimau itu belum habis. Dia memutuskan untuk tetap diam, tak berkutik sedikit pun. Menahan emosi adalah hal yang menyebalkan.Siapa yang menyangka Hazel akan dibawa ke hutan? Ditambah cuaca di luar sangatlah dingin. Itu yang membuatnya semakin jengkel. Untungnya, Hazel memakai jeans dan coat panjang. Andai tidak, maka sudah mati kedinginan dia.“Good. Makanlah yang banyak.” Sergio mengusap-usap kepala harimau besar.Hazel menelan salivanya susah payah melihat kedekatan antara Sergio dan harimau besar itu. Lal
“Aw—” Hazel meringis perih dan sakit di kala Sergio memijat pergelangan kakinya. Akibat melompat dari batu besar—mengakibatkan kaki kirinya terkilir. Bahkan tadi saat keluar dari hutan—Hazel harus digendong oleh Sergio. Dia tidak bisa menolak, karena posisinya dia tak bisa berjalan.“Kau adalah wanita keras kepala. Batu tinggi, kau malah lompat. Untung kakimu hanya terkilir, tidak sampai patah,” ucap Sergio sambil mengoleskan salep ke pergelangan kaki Hazel.“Aduh! Pelan-pelan. Kau ingin membuat kakiku copot?” dengkus Hazel di kala pijatan Sergio cukup keras ke kaki kirinya yang terkilir.“Tahan sedikit. Aku sudah biasa menangani kaki terkilir.”“Tapi jangan terlalu ditekan. Sakit, Sergio. Kau bisa meremukkan kakiku.”Sergio mendongak, menatap dalam dan hangat Hazel yang duduk di sofa. “Aku paling suka sifatmu jika manja padaku.”Hazel terdiam sejenak mendengar apa yang Sergio katakan. Perkataan Sergio membuat jantungnya seakan ingin melompat. Hatinya bergemuruh tak menentu. Tapi seku
Hazel tidak bisa tidur. Lagi dan lagi kata-kata Sergio terngiang di dalam benaknya. Sial! Hazel membenci dirinya yang selalu saja lemah, ketika berhadapan dengan Sergio Blanco. Ada kesempatan melaporkan ke FBI, tapi dia malah tak bisa melaporkan pria berengsek itu ke FBI. Wanita cantik itu menyadari bahwa memang dirinya benar-benar sangatlah bodoh.Hazel berkeliling penthouse. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah malam seperti ini pasti Sergio sudah tidur. Dia memutuskan berkeliling penthouse berharap bisa mengantuk—dan segera tidur. Tapi, sampai sekarang rasa kantuk tak kunjung datang. Hazel hendak menuju ke perpustakaan, namun langkah kakinya terhenti di kala berpapasan dengan seorang pelayan.“Nona Afford, Anda belum tidur?” sapa sang pelayan di kala berpapasan dengan Hazel.Hazel menggelengkan kepalanya. “Aku belum mengantuk. Aku berkeliling penthouse, berharap agar aku mengantuk. Tapi ternyata, aku tidak mengantuk juga.”“Jika Anda ingin, saya bisa menyiapkan teh
Suara jeritan begitu keras dan menggema membuat Sergio berlari masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu terkejut, ditambah posisi Hazel sekarang hanya memakai celana dalam berenda, dan bra. Bekas kissmark-nya tadi malam begitu nyata—dan sangat seksi di payudara wanita itu. Namun bukan kissmark yang menjadi pikiran Sergio. Yang dipikirannya saat ini adalah helaian benang yang melekat di tubuh pria itu.“Kenapa berteriak bermaksud menggodaku, huh?” ujar Sergio dengan senyuman samar di wajahnya.Hazel menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya hanya memakai bra dan celana dalam berenda. Wajah Hazel panik. Dia langsung menyambar bathrobe yang ada di sana—dan memakai bathrobe itu.“Apa yang sudah kau lakukan padaku?!” sembur Hazel seraya bertolak pinggang, mendongak menatap tajam Sergio.“Tadi malam, kau sangat menggemaskan. Jadi, aku tidak tahan menyentuhmu. Lain kali aku akan membangunkanku, jika aku tidak tahan lagi.” Sergio menjawab dengan enteng, tanpa sama sekali merasa berdosa.Hazel mende