Pesawat pribadi Sergio lepas landas mengudara diketinggian puluhan ribu kaki dari permukaan bumi. Sudah berjam-jam mengudara, tapi tampaknya Hazel tak mengantuk. Padahal biasanya wanita tidak bisa tahan mengantuk, apalagi sedang dalam perjalanan.“Kau tidak ingin tidur? Ada kamar di belakang. Mungkin tidak sebagus kamar di pesawat pribadimu, tapi kamar di pesawat ini bisa dikatakan cukup nyaman,” ucap Sergio seraya menatap Hazel yang duduk di hadapannya.Hazel menggerakkan tangannya, meminta pramugari memberikannya wine. Detik itu juga, sang pramugari menuangkan wine ke gelas berkaki tinggi yang kosong. “Silakan, Nona Afford.”“Terima kasih.” Hazel tersenyum lembut pada sang pramugari.“Dengan senang hati, Nona.” Pramugari itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Hazel.Hazel menyesap wine perlahan, menatap sinis Sergio. “Pembunuh bayaran mampu membeli pesawat pribadi. Sepertinya targetmu selalu orang-orang hebat.” Nada bicara Hazel menunjukkan sindiran tajam pada
Hazel merasa menyesal ikut ke Dubai. Dia merasa bahwa saat meminta ikut, otaknya sedang tidak baik-baik saja. Jelas-jelas, Sergio datang ke Dubai untuk menjalankan misi. Misi membunuh orang. Lalu, kenapa malah dia harus khawatir? Bahkan sekalipun Sergio ditangkap kepolisian—itu bukanlah urusannya.Hazel mengembuskan napas kasar. “Hazel Afford, otakmu ini terbuat dari mana? Kenapa kau peduli pada pria berengsek itu?” serunya pada diri sendiri sambil membenturkan keningnya ke dinding kamar.“Kau peduli padaku adalah hal yang wajar. Hati kita sudah terikat satu sama lain.” Sergio yang tadi ke luar kamar, sekarang sudah muncul di depan Hazel. Pria tampan itu mendengar apa yang menjadi gerutuan Hazel. Tentu gerutuan wanita itu, membuatnya tersenyum sendiri.Hazel menatap Sergio. “Diam kau! Jangan bicara konyol.”Sergio menarik tangan Hazel, memeluk pinggang wanita itu. “Gantilah pakaianmu. Kita akan makan siang di luar.”“Makan siang di kamar saja. Aku malas keluar kamar.”“Kau yakin malas
Air bergelombang menyembur di kala sebuah mobil sport tercebur. Hazel yang berada di dalam mobil itu menjerit, tapi perlahan jeritannya tergantikan dengan susahnya wanita itu bernapas.Hazel yang tenggelam dengan posisi dirinya masih di dalam mobil, tampak sangat panik dan ketakutan. Dia mencoba untuk keluar dari mobil—sayangnya tidaklah bisa. Rasa panik, takut, dan cemas yang menggelora membuat Hazel perlahan nyaris pingsan.Sergio keluar dari mobil dengan mudahnya—dia memecahkan kaca mobil. Hal yang pertama kali dilakukannya adalah menyelamatkan Hazel. Pria itu menggendong Hazel—dan berenang menuju tepi pantai.UhugggUhugggHazel terbatuk-batuk di kala sudah berada di tepi pantai. Wajah wanita itu memerah, akibat air laut yang sedikit tertelan. Dia dan Sergio sudah basah kuyub. Hanya saja, Sergio terlihat lebih tenang daripada Hazel. Pria itu seolah sudah biasa akan apa yang dialaminya.“Kau bisa bernapas?” Sergio berjongkok, bertanya dengan Hazel yang tampak kesal.Hazel menatap t
“Pria mesum, Sialan!” Kalimat pertama yang Hazel ucapkan, demi membalas ucapan gila Sergio. Dalam keadaan menahan rasa sakit di kakinya—tatapan mata Hazel menunjukkan rasa kesal akan kata-kata vulgar Sergio.Sergio tersenyum samar melihat kemarahan di wajah Hazel. “Butterfly, kau ini mudah sekali marah. Padahal aku hanya ingin membantu melepaskan bra dan celana dalammu saja. Setelah itu, aku akan membantumu memakai bathrobe.”Hazel memincingkan matanya, penuh dengan kecurigaan yang membara. “Bohong! Otakmu sering mesum!”Sergio tak mengindahkan ucapan Hazel. Pria itu menarik celana dalam Hazel—dan melempar ke sembarangan arah. Sontak, Hazel memekik terkejut akan tindakan Sergio. Tubuhnya sekarang benar-benar telanjang di depan pria itu. “Bajingan! Kau mencari kesempatan dalam kesempitan!” seru Hazel dengan napas memburu, penuh rasa kesal dan emosi. Sergio menatap ujung rambut sampai ujung kaki Hazel. Tatapan matanya tampak memuja dan penuh kekaguman. Kejantanannya sudah mengeras,
Sergio membiarkan Hazel tetap berada di Dubai. Pria itu terpaksa mengizinkan Hazel berada di Dubai. Sebab, Hazel sangat keras kepala tidak ingin kembali ke Bern. Berkali-kali Sergio sudah membujuk Hazel, tapi hasil yang didapatkan nihil.Hazel tidak mau kembali ke Bern dengan ribuan alasan konyol. Tak menampik sifatnya yang keras kepala ini, membuat semakin daya tarik Hazel semakin tinggi. Tingkah wanita itu lucu, dan menggemaskan di mata Sergio.Kaki Hazel yang terkilir kini sudah membaik. Tiga hari setelah kejadian kaki terkilir, Sergio langsung meminta dokter untuk memeriksakan keadaan Hazel. Hal tersebut yang membuat kaki Hazel berangsur-angsur membaik.Dalam beberapa hari ini, Sergio berada di hotel bersama Hazel. Aktivitas mereka tidak banyak. Sebab memang pria itu ingin Hazel segera pulih. Pun di luar masih belum bisa dipastikan keamanannya.“Sergio, aku bosan di kamar. Ayo kita jalan-jalan.” Kalimat ini terucap di bibir Hazel, di kala dia bosan terus menerus berada di dalam ka
Jalan-jalan di mall adalah kegiatan sederhana. Apalagi tanpa berbelanja. Hanya membeli makanan ringan. Itu saja. Tidak lebih, tapi tampaknya membuat Hazel sangat bahagia. Padahal tindakan yang dilakukan sangatlah sederhana.“Kau senang hari ini jalan-jalan?” Sergio menatap Hazel yang tampak riang.Hazel mengangguk antusias, dengan senyuman di wajahnya. “Ternyata di balik sifatmu yang menyebalkan, otakmu yang mesum, kau masih memiliki sifat sedikit baik.”Sergio tersenyum samar. “Kita kembali ke hotel sekarang. Ini sudah sore.”“Baiklah.” Hazel setuju, sambil memeluk lengan Sergio. Dia melangkah bersama dengan Sergio—menuju ke halaman parkir mall. Namun, di kala mereka hendak ingin pergi dari sana—langkah mereka terhenti melihat Benton berlari dengan wajah panik.“Tuan!” Benton berlari menghampiri Sergio, dengan napas terengah-engah.“Ada apa?” tanya Sergio seraya menatap lekat, penuh tuntutan agar Benton menjawab pertanyaannya.Benton panik. “Tuan, untung Anda dan Nona Hazel berada di
“Aw—” Hazel merintih kesakitan di kala didorong ke dalam sebuah ruangan oleh pria yang membawanya. Pria berkulit hitam itu kini keluar mengunci rapat pintu ruangan di mana Hazel disekap.“Hey! Lepaskan aku, Berengsek!” Hazel menahan sakit di bokong dan kakinya. Dia bangkit berdiri seraya menggedor-gedor pintu—meminta untuk dibukakan. Akan tetapi, hasil yang didapatkan adalah nihil.Hazel mengumpat dalam hati seraya mengembuskan napas panjang. Dia mengendarkan pandangannya—berusaha mencari celah untuk melarikan diri. Namun, sayang jendela di ruangan itu telah dipasang besi kokoh dan kuat. Tidak mungkin bisa Hazel melarikan diri. Hazel berusaha untuk tenang. Dia yakin bahwa pasti Sergio tidak akan mungkin tinggal diam, dirinya diculik. Pasti Sergio akan bertindak. Hal yang harus dilakukannya sekarang tetap berpikir positive. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Langkah kaki melangkah mendekat ke arah Hazel. Tampak seorang pria paruh baya dengan wajah khas timur tengah—menghampiri
Lampu remang-remang membuat ruangan di mana Hazel berada, tampak menyeramkan. Akan tetapi, sebisa mungkin Hazel berusaha untuk tenang—dan tidak takut berada di ruangan ini. Lukisan menyeramkan dan beberapa pajangan yang meninggalkan kesan seram—sempat membuat nyali Hazel menciut.Bohong rasanya jika Hazel baik-baik saja. Pasti ada rasa takut yang menyelimutinya. Dia memang bisa bela diri, tetapi lawan dari anak buah Abdul Kumar, tak bisa dipandang sebelah mata. Anak buah Abdul Kumar memiliki kelicikan tinggi.Tangan Hazel berkeringat dingin. Ruangan itu memiliki AC, tapi sayangnya rasa dingin yang keluar dari AC tidak terasa akibat kepanikan menyelimuti. Hati dan pikirannya hanya tertuju pada Sergio.Hazel tidak bisa benar-benar tenang. Dia memang yang diculik. Harusnya dia memikirkan kondisinya. Namun, faktanya dia jauh lebih takut. Kata-kata Abdul Kumar yang mengatakan di depan ada ranjau yang bisa saja menjebak Sergio—membuat kecemasan Hazel meningkat ribuan kali lipat.“Sergio, ak