Sergio membelai Hazel yang terlelap pulas dalam pelukannya. Pria tampan itu terbangun di tengah malam. Hazel masih tertidur, setelah percintaan panas dengannya. Dia memberikan kecupan di seluruh wajah Hazel—dan memberikan pelukan hangat pada wanita itu.“Hmmm…” Hazel menggeliat dari dalam pelukan Sergio. Perlahan mata wanita itu mengerjap beberapa kali, dan perlahan matanya sudah terbuka. Senyuman di wajah Hazel terlukis indah menatap Sergio yang tengah memeluknya.“Maaf membuatmu terbangun,” bisik Sergio seraya membelai rambut indah Hazel.Hazel membenamkan wajahnya di dada bidang Sergio. “Aku sudah tidak lagi mengantuk.”Sergio tersenyum samar. “Ini masih malam. Kau harus tidur.”“Tunggu sebentar. Biarkan seperti ini. Aku ingin memelukmu seperti ini sampai aku tertidur lagi.”“Yang kau inginkan akan aku turuti.”“Sergio?”“Hm?”“Apa kau akan menuruti semua keinginanku?”“Ya, tentu saja asalkan keinginanmu bukan memintaku pergi, maka aku akan menurutimu.” Sergio memeluk erat Hazel, s
*Nona, bagaimana kabar Anda? Saya harap Anda baik-baik saja.* Pesan singkat dari Neva, sang asisten, membuat Hazel yang berdiri di tepi kolam, menghela napas dalam. Jika sang asisten menanyakan kabarnya, pasti ibunya mulai khawatir padanya. Meski Hazel mengatakan dirinya baik-baik saja, tapi tetap ibunya akan selalu menanyakan dirinya.Tanpa pikir panjang, Hazel memutuskan untuk menghubungi sang asisten.“Nona Hazel?” sapa Neva lebih dulu kala panggilan terhubung. “Ibuku menanyakanku padamu?” tanya Hazel to the point.“Iya, Nona. Ibu Anda menanyakan Anda. Beliau sangat mencemaskan Anda. Saya sudah bilang Anda baik-baik saja, tapi tetap saja beliau masih khawatir.” Hazel tersenyum di kala dugaannya benar. “Katakan pada ibuku, kau sudah menghubungiku, dan memastikanku baik-baik saja.”“Baik, nanti saya akan sampaikan, Nona. Hm, Nona, a-apa Anda masih tinggal dengan p-pembunuh itu?” “Dia Sergio, punya nama. Hargai dia seperti kau menghargaiku, Neva.” Hazel memberikan teguran tegas.“
Hazel terbangun di tengah malam, menoleh ke samping tidak ada Sergio. Keningnya mengerut dalam bingung. Tadi sebelum dia bangun tidur, dia mengingat bahwa Sergio berada di sampingnya—memeluknya dengan erat. Namun, kenapa sekarang pria itu tidak ada di sampingnya?Hazel mengalihkan pandangannya, menatap masih pukul dua pagi. Rasanya tak mungkin Sergio pergi di pagi buta tanpa bilang padanya. Hazel memutuskan untuk turun dari ranjang—mengikat rambutnya—melangkah menuju ruang kerja Sergio.Setibanya di ruang kerja Sergio, tatapan wanita itu teralih pada sosok pria tampan yang berdiri ke arah kaca besar. Dia mendekat dan memberikan pelukan dari belakang ke tubuh kekar Sergio.Sergio tersenyum menatap dari pantulan kaca Hazel memeluknya. “Ini masih malam. Kenapa kau sudah bangun, hm?”“Aku terbangun, karena aku merasakan sudah tidak ada pelukanmu,” bisik Hazel sambil menciumi punggung kekar Sergio.Sergio membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Hazel, terduduk di atas meja. Pria itu merapat
Sergio duduk di sebuah kafe yang jauh dari pusat kota. Di samping Sergio ada Benton yang siaga di berdiri. Dia menyesap vodka di tangannya, menatap sosok pria paruh baya yang baru saja tiba. Pria itu menuruti keinginan client-nya yang ingin bertemu dengannya di tempat yang jauh dari pusat kota.“Aku sudah melakukan pembayaran! Kenapa kau belum juga membunuh targetku!” seru pria paruh baya itu, dengan nada penuh kemarahan tertahan.Sergio menggerakkan gelas di tangannya. “Targetmu adalah seorang putri billionaire ternama di New York. Caraku tidak terburu-buru. Tentu semua harus melalui pemikiran yang matang dan tepat, Tuan Engelson.”Trevor Engelson, pria paruh baya yang memakai jasa Sergio, sudah tak lagi bisa sabar. Sorot matanya tajam, membendung emosi. “Jika kau tidak mampu membunuh anak dari musuhku, maka aku akan mencari orang yang mampu!”Raut wajah Sergio berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Trevor. Pria itu meletakan gelas ke atas meja. Kilat matanya sedikit menajam, teta
Aura kemarahan begitu menonjol di wajah Sergio. Pria tampan itu melajukan mobil dengan kecepatan penuh membelah kota Bern. Salju turun cukup lebat, hingga membuat jalanan tertutup oleh balok es. Keheningan membentang dari dalam mobil. Baik Sergio ataupun Hazel masih belum bersuara sama sekali.Hazel ingin sekali bersuara, tapi sayangnya wajah dingin Sergio membuatnya terpaksa mengurungkan niatnya. Dari mata saja, dia sudah bisa melihat jelas betapa Sergio sangatlah marah. Itu yang membuatnya memilih untuk bicara di kala tiba di rumah saja.Mobil Sergio telah memasuki gedung apartemen di mana unit penthouse Sergio berada. Pria itu lebih dulu turun dari mobil, disusul dengan Hazel yang juga turun dari mobil. Hal yang Hazel lakukan adalah menyusul Sergio—yang sudah lebih dulu berjalan menuju ke kamar.“Sergio, tunggu.” Hazel menahan lengan Sergio.Langkah kaki Sergio terhenti, menatap Hazel dengan sorot mata tegas. “Aku sedang tidak ingin bertengkar, kau istirahatlah.” Pria itu kembali i
Aroma makanan lezat tercium Sergio yang masih tertidur pulas. Perlahan, mata pria itu terbuka—dan menatap Hazel sudah menyiapkan sarapan untuknya. Senyuman di wajah Sergio terlukis hangat. Pria itu memberikan kecupan di bibir Hazel.“Good morning,” sapa Sergio sambil mencubit pelan pipi Hazel.“Good morning,” Hazel memberikan susu hangat pada Sergio.Sergio menerima susu vanilla itu dan meminum perlahan. “Padahal aku lebih suka menyusu padamu langsung, Sayang.”Mata Hazel mendelik mendengar ucapan vulgar Sergio. “Kau ini bicara semabrangan saja!” ucapnya kesal mendengar kalimat vulgar pria itu.Sergio tersenyum samar melihat wajah jengkel Hazel yang menggemaskan. Detik selanjutnya, dia minum perlahan susu hangat itu, dan meletakan ke atas nakas. Lantas, dia menarik tubuh Hazel, masuk ke dalam pelukannya.Hazel melukiskan senyumannya di kala mendapatkan pelukan dari Sergio. “Hari ini kau ingin pergi ke mana?” tanyanya pelan.“Hm, aku ingin mengajakmu pergi.” Sergio mencubit pelan hidun
New York, USA. Asap rokok mengepul ke udara, lalu hilang diterpa angin. Sosok pria paruh baya itu tampak menunjukkan kemarahannya. Mesi tak lagi muda, tapi parasnya masih tetap tampan dan gagah. Dia duduk di kursi kebesarannya dan di hadapannya ada putra pertama dan putra keduanya.“Dad, ancaman itu mungkin hanya main-main.” Nathan—putra kedua Arthur—berusaha menenangkan ayahnya.Arthur sudah menunjukkan pesan singkat yang berupa ancaman pada Justin dan Nathan. Dia sengaja memberikan tahu ini agar kedua putranya tahu bahwa dirinya baru saja diancam. Hanya Justin dan Nathan yang diberi tahu. Sang istri serta anak ketiga dan anak keempatnya tidak diberi tahu.Justin mengembuskan napas panjang. “Menurutku tidak mungkin ada orang yang main-main dalam memberikan ancaman pada kita.”Nathan mengalihkan pandangannya menatap Justin. “Awalnya aku sependapat denganmu, tapi lihatlah sampai sekarang kita baik-baik saja, Kak. Kau, aku, Joseph atau—” Tiba-tiba saja lidah Nathan menggantung menginga
Mobil Sergio meluncur dengan kecepatan penuh melewati jalanan yang nyaris tertutup balok es. Pria itu berusaha mencari jalan alternatif, agar perjalanannya tidak terhambat. Ya, tepat di kala Benton sudah datang—Sergio langsung mengajak Hazel pergi meninggalkan penthouse-nya.Sergio tidak ingin mengambil risiko tetap tinggal di penthouse yang berhasil dibobol oleh orang tak dikenal. Meskipun badai salju, dia tetap nekat pergi. Beruntung sekarang salju sudah sedikit mereda. Tidak seperti tadi yang cukup lebat.Sergio bukan takut pada badai salju. Namun, yang tak dia sukai dari salju adalah mempersulit dirinya menemukan jalan. Sebab, hampir semua jalanan tertutup oleh balok es yang tak bisa ditembus.“Sergio, kita akan pergi ke mana?” tanya Hazel pelan seraya menatap Sergio. Dia hanya menurut, tanpa tahu ke mana Sergio akan membawanya.“Kita akan tinggal di apartemenku.” Sergio menjawab dengan tatapan fokus lurus ke depan.Hazel menghela napas dalam penuh kegelisahan. “Tadi musuhmu yang