Share

Bab 2. Bencana Kelaparan

Gementing suara pedang beradu dengan tombak dan keris memecah keheningan di desa Kampung Alit. Sebuah desa yang pada awalnya adalah desa kecil yang penuh kedamaian. Kegagalan panen dalam tiga musim membuat lumbung desa kosong, tak lagi berisi penuh seperti saat musim-musim yang lalu.

Patih tiga Wira Ageng sebagai salah satu putra daerah yang berasal dari desa Kampung Alit, telah menyampaikan keluh kesah warga pada Prabu Arya Pamenang. Namun, Sang Prabu tidak pernah melakukan tindakan apapun sebagai respon positif atas keluhan warga.

"Bagaimana penanganan masalah kekeringan dan gagal panen yang tengah melanda desa Kampung Alit, Baginda?" tanya Patih tiga Wira Ageng kala itu. Saat siang tengah menapak separuh waktunya. Di atas langit puri istana Kerajaan Sanggabumi.

Prabu Arya Pamenang kala itu tengah mengadakan pertemuan untuk para petinggi kerajaan, membahas bencana alam yang tengah gencar melanda negri. Di atas meja panjang berlapis emas, tersaji hidangan aneka makanan. Aromanya menggugah selera.

Sebutir nasi pun kala itu tak sanggup melewati kerongkongan Patih tiga Wira Ageng. Teringat akan tangis kelaparan warga di desanya. Teringat akan derai air mata para orang tua yang kehilangan anak-anaknya karena menahan lapar selama berhari-hari.

"Saya dengan Patih dua Doso Singo, sedang memikirkan caranya, Patih Wira. Karena sumber air di dalam wilayah desa Kampung Alit, tidak dapat ditemukan. Peristiwa gunung meletus di desa Sendiko, telah mengeringkan sumber mata air yang harusnya mengalir ke desa Kampung Alit."Prabu Arya Pamenang sudah menjelaskan kendala yang dihadapi pada Patih tiga Wira Ageng.

Kala itu, Patih tiga Wira Ageng tak dapat menerima penjelasan Prabu Arya Pamenang. Dia berprinsip bahwa sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, Prabu Arya Pamenang harus selalu memiliki solusi. Tidak ada penolakan ataupun penundaan untuk alasan apapun juga.

"Tapi rakyat tidak bisa menunggu, Baginda Prabu. Perut yang kelaparan tidak mungkin disuruh bersabar. Kematian akibat kelaparan sudah terjadi di mana-mana. Apakah tidak bisa pihak puri istana mengirimkan bantuan bahan makanan pada warga desa Kampung Alit?" Mata Patih tiga Wira Ageng berkabut ketika menyampaikan hal itu. Air mata yang mendesak dalam kantung mata ditahannya sekuat tenaga agar tidak membuncah.

Prabu Arya Pamenang menghela nafas panjang. Dia menoleh ke arah Patih dua Doso Singo. Berharap ada anggukan kepala sebagai balasan atas tatapannya yang bermakna tanya itu. Namun, Patih dua Doso Singo menggeleng kuat.

"Ma'afkan kami, Baginda Prabu. Persediaan beras dalam lumbung istana pun hanya tersisa untuk satu pekan. Kami tidak berani menguranginya lagi." Patih dua Doso Singo menundukkan kepala dalam-dalam ketika berucap. Keputusan sulit yang harus diambilnya.

Prabu Arya Pamenang terdiam mendengar penjelasan Patih dua Doso Singo. Ke mana lagi harus meminta bantuan? Sementara Kerajaan Majapahit yang menjadi kerajaan induk, kini juga tengah mengalami banyak masalah. Tidak mungkin dia menghadap Raja Jayanegara untuk memohon bantuan pangan.

"Beri saya waktu tiga hari, Patih Wira Ageng. Saya akan berunding dengan Patih Doso Singo untuk mencari jalan keluar. Mungkin ada kerajaan manca yang sudi membantu kita," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara lembut. Dia berusaha meredam amarah Patih tiga Wira Ageng yang terlihat sudah tak mampu lagi dibendung.

"Tiga hari, Baginda Prabu? Bagaimana saya harus menjelaskan pada warga desa Kampung Alit? Hari ini mereka sudah menahan perih perut karena kelaparan. Dan masih harus menunggu tiga hari lagi ...?!" Patih tiga Wira Ageng menggebrak meja yang ada di hadapannya itu. Beberapa piring, gelas, dan mangkok bergetar karena gebrakan yang cukup keras itu. Air mata Patih tiga Wira Ageng mulai menitik.

Tanpa mengucapkan pamit, menafikan segala tata krama dalam adat kerajaan, Patih tiga Wira Ageng meninggalkan acara pertemuan itu dengan raut wajah kesal. Sikap keras Patih tiga Wira Ageng itu membuat semua prajurit pengawal yang ada di belakang para petinggi kerajaan berdiri dan hendak menangkap Patih tiga Wira Ageng. Namun, Prabu Arya Pamenang mencegahnya.

"Biarkan! Dia bersikap seperti itu karena kepedulian dan rasa cintanya yang amat besar pada warga desa Kampung Alit." Prabu Arya Pamenang merentangkan lengan kirinya ke arah para prajurit pengawal petinggi kerajaan yang hendak menangkap Patih tiga Wira Ageng itu.

"Bagaimana jika Patih tiga Wira Ageng melakukan pemberontakan, Baginda Prabu?" tanya Patih satu Diro Menggolo yang dikenal sebagai ahli tata pemerintahan kerajaan. Dia sangat menghindari terjadinya konflik dalam kerajaan yang menjurus ke pertempuran fisik. Karena jika hal itu terjadi, akan mengakibatkan pemerintah yang berkuasa mengalami kehancuran.

"Apakah ada gambaran seperti itu Patih Diro Menggolo?" tanya Prabu Arya Pamenang seraya mengernyitkan dahi. Rasanya musykil kalau sampai Patih tiga Wira Ageng melakukan pemberontakan, karena selama ini Prabu Arya Pamenang mengenalnya sebagai sosok yang lembut hati dan loyal pada kerajaan.

"Kekalutan hati akan mampu mengubah karakter seseorang, Baginda Prabu," tukas Patih dua Doso Singo. Ucapannya itu disambut dengan anggukan kepala tegas oleh Patih satu Diro Menggolo dan hanpir keseluruhan mentri yang hadir dalam pertemuan kala itu.

Prabu Arya Pamenang menggeleng-gelengkan kepala. Pepat sudah isi kepalanya menghadapi berbagai macam permasalahan yang tengah melanda negrinya. Dia teringat pada petuah kakeknya, Prabu Kawitan. Bahwa jika bencana alam terus menerus melanda sebuah negri, maka pemimpinnya harus melakukan pendekatan pada Tuhan. Harus melakukan pembersihan jiwa.

"Patih Diro Menggolo," panggil Prabu Arya Pamenang pada Patih satu yang duduk di sisi kanannya itu, "saya besok akan menyepi di Candi Tunggal. Saya berharap mendapat petunjuk dari Penguasa Jagad."

"Estu dhawuh, Baginda Prabu. Saya akan bertanggung jawab atas keamanan negri selama Baginda Prabu melakukan semedi." Patih satu Diro Menggolo menganggukkan kepala kepada Prabu Arya Pamenang sebagai sebuah takdzim yang dilakukan bawahan pada pimpinannya.

"Dan kamu, Patih dua Doso Singo. Sisakan separuh saja beras yang ada di lumbung untuk kebutuhan warga puri istana. Separuhnya kirimkan ke desa Kampung Alit. Sekarang juga." Prabu Arya Pamenang akhirnya membuat keputusan yang menjadi masalah baru bagi Patih dua Doso Singo yang bertugas sebagai Pengendali Perekonomian Negri. Namun, Sang Prabu telah bertitah. Dan titah Sang Prabu bersifat mutlak. Tak boleh ada penundaan apalagi penolakan.

"Baginda Prabu ...! Baginda Prabu ...! Keadaan darurat!" Seorang prajurit berpostur tinggi besar memegang tombak dan tameng tergopoh-gopoh memasuki ruang pertemuan. Setelah melakukan sikap hormat dengan membungkukkan badan di hadapan Prabu Arya Pamenang, dia menjelaskan dengan nafas terengah-engah.

Satria Cakra, Sang Kepala Prajurit itu menyampaikan berita yang sontak membuat Prabu Arya Pamenang dan senua bawahannya berdiri dan masuk ke dalam ruang senjata. Suasana seketika menjadi ricuh, meskipun tetap dalam kendali.

Dewi Rukmini yang tengah berlatih ilmu bela diri di sudut pendopo, menghentikan latihannya. "Ada apa, Ki Tunggul?" tanyanya pada sang pelatih.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
EPIPHYLLUM
mau nge-vote, belum ada berlian, jadi komen aja. Ceritamu bagus, thor.... Semoga banyak yg baca..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status