Gementing suara pedang beradu dengan tombak dan keris memecah keheningan di desa Kampung Alit. Sebuah desa yang pada awalnya adalah desa kecil yang penuh kedamaian. Kegagalan panen dalam tiga musim membuat lumbung desa kosong, tak lagi berisi penuh seperti saat musim-musim yang lalu.
Patih tiga Wira Ageng sebagai salah satu putra daerah yang berasal dari desa Kampung Alit, telah menyampaikan keluh kesah warga pada Prabu Arya Pamenang. Namun, Sang Prabu tidak pernah melakukan tindakan apapun sebagai respon positif atas keluhan warga. "Bagaimana penanganan masalah kekeringan dan gagal panen yang tengah melanda desa Kampung Alit, Baginda?" tanya Patih tiga Wira Ageng kala itu. Saat siang tengah menapak separuh waktunya. Di atas langit puri istana Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang kala itu tengah mengadakan pertemuan untuk para petinggi kerajaan, membahas bencana alam yang tengah gencar melanda negri. Di atas meja panjang berlapis emas, tersaji hidangan aneka makanan. Aromanya menggugah selera. Sebutir nasi pun kala itu tak sanggup melewati kerongkongan Patih tiga Wira Ageng. Teringat akan tangis kelaparan warga di desanya. Teringat akan derai air mata para orang tua yang kehilangan anak-anaknya karena menahan lapar selama berhari-hari. "Saya dengan Patih dua Doso Singo, sedang memikirkan caranya, Patih Wira. Karena sumber air di dalam wilayah desa Kampung Alit, tidak dapat ditemukan. Peristiwa gunung meletus di desa Sendiko, telah mengeringkan sumber mata air yang harusnya mengalir ke desa Kampung Alit."Prabu Arya Pamenang sudah menjelaskan kendala yang dihadapi pada Patih tiga Wira Ageng. Kala itu, Patih tiga Wira Ageng tak dapat menerima penjelasan Prabu Arya Pamenang. Dia berprinsip bahwa sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, Prabu Arya Pamenang harus selalu memiliki solusi. Tidak ada penolakan ataupun penundaan untuk alasan apapun juga. "Tapi rakyat tidak bisa menunggu, Baginda Prabu. Perut yang kelaparan tidak mungkin disuruh bersabar. Kematian akibat kelaparan sudah terjadi di mana-mana. Apakah tidak bisa pihak puri istana mengirimkan bantuan bahan makanan pada warga desa Kampung Alit?" Mata Patih tiga Wira Ageng berkabut ketika menyampaikan hal itu. Air mata yang mendesak dalam kantung mata ditahannya sekuat tenaga agar tidak membuncah. Prabu Arya Pamenang menghela nafas panjang. Dia menoleh ke arah Patih dua Doso Singo. Berharap ada anggukan kepala sebagai balasan atas tatapannya yang bermakna tanya itu. Namun, Patih dua Doso Singo menggeleng kuat. "Ma'afkan kami, Baginda Prabu. Persediaan beras dalam lumbung istana pun hanya tersisa untuk satu pekan. Kami tidak berani menguranginya lagi." Patih dua Doso Singo menundukkan kepala dalam-dalam ketika berucap. Keputusan sulit yang harus diambilnya. Prabu Arya Pamenang terdiam mendengar penjelasan Patih dua Doso Singo. Ke mana lagi harus meminta bantuan? Sementara Kerajaan Majapahit yang menjadi kerajaan induk, kini juga tengah mengalami banyak masalah. Tidak mungkin dia menghadap Raja Jayanegara untuk memohon bantuan pangan. "Beri saya waktu tiga hari, Patih Wira Ageng. Saya akan berunding dengan Patih Doso Singo untuk mencari jalan keluar. Mungkin ada kerajaan manca yang sudi membantu kita," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara lembut. Dia berusaha meredam amarah Patih tiga Wira Ageng yang terlihat sudah tak mampu lagi dibendung. "Tiga hari, Baginda Prabu? Bagaimana saya harus menjelaskan pada warga desa Kampung Alit? Hari ini mereka sudah menahan perih perut karena kelaparan. Dan masih harus menunggu tiga hari lagi ...?!" Patih tiga Wira Ageng menggebrak meja yang ada di hadapannya itu. Beberapa piring, gelas, dan mangkok bergetar karena gebrakan yang cukup keras itu. Air mata Patih tiga Wira Ageng mulai menitik. Tanpa mengucapkan pamit, menafikan segala tata krama dalam adat kerajaan, Patih tiga Wira Ageng meninggalkan acara pertemuan itu dengan raut wajah kesal. Sikap keras Patih tiga Wira Ageng itu membuat semua prajurit pengawal yang ada di belakang para petinggi kerajaan berdiri dan hendak menangkap Patih tiga Wira Ageng. Namun, Prabu Arya Pamenang mencegahnya. "Biarkan! Dia bersikap seperti itu karena kepedulian dan rasa cintanya yang amat besar pada warga desa Kampung Alit." Prabu Arya Pamenang merentangkan lengan kirinya ke arah para prajurit pengawal petinggi kerajaan yang hendak menangkap Patih tiga Wira Ageng itu. "Bagaimana jika Patih tiga Wira Ageng melakukan pemberontakan, Baginda Prabu?" tanya Patih satu Diro Menggolo yang dikenal sebagai ahli tata pemerintahan kerajaan. Dia sangat menghindari terjadinya konflik dalam kerajaan yang menjurus ke pertempuran fisik. Karena jika hal itu terjadi, akan mengakibatkan pemerintah yang berkuasa mengalami kehancuran. "Apakah ada gambaran seperti itu Patih Diro Menggolo?" tanya Prabu Arya Pamenang seraya mengernyitkan dahi. Rasanya musykil kalau sampai Patih tiga Wira Ageng melakukan pemberontakan, karena selama ini Prabu Arya Pamenang mengenalnya sebagai sosok yang lembut hati dan loyal pada kerajaan. "Kekalutan hati akan mampu mengubah karakter seseorang, Baginda Prabu," tukas Patih dua Doso Singo. Ucapannya itu disambut dengan anggukan kepala tegas oleh Patih satu Diro Menggolo dan hanpir keseluruhan mentri yang hadir dalam pertemuan kala itu. Prabu Arya Pamenang menggeleng-gelengkan kepala. Pepat sudah isi kepalanya menghadapi berbagai macam permasalahan yang tengah melanda negrinya. Dia teringat pada petuah kakeknya, Prabu Kawitan. Bahwa jika bencana alam terus menerus melanda sebuah negri, maka pemimpinnya harus melakukan pendekatan pada Tuhan. Harus melakukan pembersihan jiwa. "Patih Diro Menggolo," panggil Prabu Arya Pamenang pada Patih satu yang duduk di sisi kanannya itu, "saya besok akan menyepi di Candi Tunggal. Saya berharap mendapat petunjuk dari Penguasa Jagad." "Estu dhawuh, Baginda Prabu. Saya akan bertanggung jawab atas keamanan negri selama Baginda Prabu melakukan semedi." Patih satu Diro Menggolo menganggukkan kepala kepada Prabu Arya Pamenang sebagai sebuah takdzim yang dilakukan bawahan pada pimpinannya. "Dan kamu, Patih dua Doso Singo. Sisakan separuh saja beras yang ada di lumbung untuk kebutuhan warga puri istana. Separuhnya kirimkan ke desa Kampung Alit. Sekarang juga." Prabu Arya Pamenang akhirnya membuat keputusan yang menjadi masalah baru bagi Patih dua Doso Singo yang bertugas sebagai Pengendali Perekonomian Negri. Namun, Sang Prabu telah bertitah. Dan titah Sang Prabu bersifat mutlak. Tak boleh ada penundaan apalagi penolakan. "Baginda Prabu ...! Baginda Prabu ...! Keadaan darurat!" Seorang prajurit berpostur tinggi besar memegang tombak dan tameng tergopoh-gopoh memasuki ruang pertemuan. Setelah melakukan sikap hormat dengan membungkukkan badan di hadapan Prabu Arya Pamenang, dia menjelaskan dengan nafas terengah-engah. Satria Cakra, Sang Kepala Prajurit itu menyampaikan berita yang sontak membuat Prabu Arya Pamenang dan senua bawahannya berdiri dan masuk ke dalam ruang senjata. Suasana seketika menjadi ricuh, meskipun tetap dalam kendali. Dewi Rukmini yang tengah berlatih ilmu bela diri di sudut pendopo, menghentikan latihannya. "Ada apa, Ki Tunggul?" tanyanya pada sang pelatih.Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada