Share

Bab 3. Penyerangan oleh Patih Tiga Wira Ageng

Ki Tunggul hanya diam mematung melihat kesibukan para punggawa dan prajurit kerajaan. Mereka berhamburan keluar masuk ruang senjata. Pintu gerbang besar yang berjarak lebih kurang 5 meter dari pendopo, seketika ditutup rapat. Tombak, pedang, dan keris melayang masuk ke dalam puri istana dari berbagai macam arah.

Hanya dalam waktu sekejap, darah tertumpah mengotori halaman istana. Beberapa prajurit tergeletak tak bernyawa di depan puri istana, keputren, dan kesatreyan.

"Paman," panggil Dewi Rukmini lirih pada Ki Tunggul. "Ijinkan saya untuk bergabung."

Kaki kanan Dewi Rukmini telah melangkah maju. Hendak menjejak ikut membaur bersama para prajurit. Namun, sebuah tombak panjang menghadang langkahnya. Dengan sigap dia memegang tombak itu dan bersiap menyingkirkannya.

Tapi niat itu segera diurungkannya begitu mengetahui siapa yang menghadangkan tombak itu di depan dadanya. Dia segera bersimpuh, menangkupkan kedua tangan di depan dada. Diikuti oleh Ki Tunggul di belakangnya.

"Ma'afkan saya, Ibu. Saya tidak tega melihat para prajurit bertarung hingga menemui ajalnya di depan mata saya. Ijinkan saya bergabung dengan mereka," ujar Dewi Rukmini pada ibunya, Dewi Gauri, yang kini berdiri di hadapan anak semata wayangnya itu. Tombak yang tadi dihadangkannya di depan Dewi Rukmini, kini telah berdiri tegak dalam genggamannya.

"Tidak kuijinkan, Cah Ayu. Kamu adalah satu-satunya anak yang kumiliki. Dan aku berharap bahwa kamulah yang akan menggantikan tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggabumi ini. Bukan orang lain. Agar darahku dan darah romomu yang telah menyatu dalam tubuhmu, akan tetap menjadi nadi dalam pemerintahan Kerajaan Sanggabumi ini." Dewi Gauri berkata tegas. Menciutkan nyali Dewi Rukmini yang semula berkobar begitu besar.

"Ki Tunggul, jagakan anakku!" perintah Dewi Gauri pada Ki Tunggul. Lelaki tua yang didapuk menjadi pelatih ilmu bela diri Dewi Rukmini sejak sang putri berusia tiga tahun.

"Siap, Baginda Ratu. Saya laksanakan." Ki Tunggul menjawab dengan tegas pula.

Dan seketika Dewi Gauri melesat pergi dengan begitu lincahnya. Meloncat bertumpukan sebuah batu besar di depan puri istana dan berdiri gagah di atas tembok istana. Memimpin pertempuran di kelompok barat.

"Siapa sesungguhnya yang menyerang istana kita, Ki Tunggul?" tanya Dewi Rukmini, masih dengan sikap bersimpuhnya. Pandangannya nanar menatap setiap tombak, keris, dan pedang yang melesak masuk ke halaman istana. Dan hampir seluruhnya menancap dengan tepat di dada prajurit yang berjaga di dalam istana.

"Tadi saya sempat mendengar bahwa Patih tiga Wira Ageng yang melakukan penyerangan, Gusti Putri." Ki Tunggul berdiri dan memakukan arah pandangnya ke tubuh para prajurit yang bergeletakan bersimbah darah. "Saya mohon ijin hendak membawa raga para prajurit ke dalam pendopo, Gusti Putri."

Tanpa memperhatikan anggukan kepala Dewi Rukmini, Ki Tunggul berlari cepat menuju ke halaman depan istana. Bersama beberapa abdi dalem kerajaan, mereka membawa raga-raga yang tak lagi memiiki ruh itu ke dalam pendopo. Para prajurit yang mengabdi pada kebesaran nama kerajaan hingga di akhir hayatnya.

Dewi Rukmini tidak bisa hanya berdiam diri. Dia berdiri dan ikut membantu Ki Tunggul dan para abdi dalem. Jemari lentiknya berlumuran darah. Wajah cantiknya bersimbah peluh. Dan dia tidak peduli itu.

"Ndoro Putri jangan ikut ke halaman. Panjenengan yang mengatur jasad mereka dalam pendopo saja. Karena senjata-senjata tajam masih berseliweran!" Ki Tunggul meneriaki Dewi Rukmini yang tengah menggotong tubuh seorang prajurit bersama Kalong.

"Baik, Ki ...!" jawab Dewi Rukmini sambil berteriak pula.

Wuuuzz ...! Jleb ...!

Sebatang tombak melesat masuk ke dalam istana dengan kecepatan tinggi. Mengarah lurus tepat di dada Ki Tunggul. Darah menyembur deras dari titik tusukan tombak itu.

"Ki ...," panggil Dewi Rukmini lirih. Lelaki tua yang telah membimbingnya selama 17 tahun itu, meregang nyawa tepat di hadapan matanya.

Dengan tubuh gemetar, Dewi Rukmini berlari menuju ke arah Ki Tunggul yang terkapar di halaman keputren. Darah segar membasahi dada Ki Tunggul. Bibir Dewi Rukmini bergetar hebat. Berulang kali disebutnya nama lelaki tua itu.

"Ki, jangan pergi. Kuatlah, Ki. Bertahanlah." Dewi Rukmini mengangkat kepala Ki Tunggul dan meletakkannya di atas pangkuan. Dielusnya rambut putih Ki Tunggul. Air matanya luruh berbaur dengan pekatnya darah yang menggenang di dada Ki Tunggul.

Mata Ki Tunggul menutup rapat. Sementara itu bibirnya yang juga mengatup rapat, menyunggingkan senyum terakhirnya. Gerakan dadanya tak ada lagi. Tangannya pun tak lagi bisa membalas genggaman tangan Dewi Rukmini.

Bejo yang semula selalu bersama Ki Tunggul untuk membantu, tak mampu menahan perasaannya yang berkecamuk tak menentu. Kecewa, marah, sedih, semua rasa itu membuatnya hilang kendali. Dia berteriak sekencang-kencangnya sembari mencabut tombak yang terhunus di dada Ki Tunggul.

"Bedebah, kaliaaan ...!" Teriakan Bejo yang bercampur isak tangis membuat suara desingan senjata tajam terhenti seketika.

Prabu Arya Pamenang yang memimpin di sektor timur, Patih satu Diro Menggolo yang memimpin di sektor utara, Dewi Gauri yang memimpin di sektor barat, dan Patih dua Doso Singo yang memimpin di sektor selatan, serempak menengok ke dalam tembok istana dari posko mereka masing-masing di atas tembok. Semua tertegun melihat Bajo yang mengamuk di dekat raga Ki Tunggul.

Bejo, abdi dalem bertubuh pendek gempal dan berkulit legam itu, tiba-tiba keluar menerobos pintu gerbang istana sembari memainkan tombak penuh darah yang telah mengakhirkan nyawa Ki Tunggul.

"Aku! Putra daerah asli desa Kampung Alit! Romoku mantan kepala desa di bumi Kampung Alit! Tidak pernah mengajarkan warga desanya untuk membunuh!" Suara Bejo lantang memecah keheningan akibat jeda pertempuran yang tak terduga.

"Aku! Seno Wijaya! Putra dari kepala desa Kampung Alit! Romoku mengajarkanku untuk selalu melindungi warga dan menjaganya agar janagn sampai ada yang kelaparan!" Seorang pemuda berpostur tinggi besar berkulit kuning, maju menghadang gerakan tombak berputar yang dilakukan Bejo.

Dua pemuda yang berasal dari satu desa itu saling berhadapan. Saling membalas pandang dengan mata memerah menahan amarah. Sejenak mereka berdua bergerak perlahan saling memutar. Sebelum akhirnya tombak yang dibawa Bejo menghunjam tubuh Seno Wijaya tepat di bagian dada.

Darah tertumpah. Pemimpin pemberontakan hari itu telah menemui akhir hidupnya. Suara kasak kusuk terdengar di antara para prajurit pemberontak yang berada di hadapan Bejo.

"Mundur ...!" Terdengar teriakan keras dari arah barisan belakang . "Besok kita akan kembali ke sini! Menuntut balas kematian Seno Wijaya!" Patih tiga Wira Ageng muncul dari belakang barisan menunggang seekor kuda hitam bersurai keemasan.

Beberapa prajurit dari desa Kampung Alit mengangkat tubuh Seno Wijaya dan meletakkannya di atas kuda hitam yang ditunggangi Patih tiga Wira Ageng itu. Lantas mereka semua berbalik arah, kembali menuju ke desa Kampung Alit. Derap langkah kaki kuda diirngi suara derap langkah kaki seakan mengiris-iris dada. Bak sembilu yang menyayat hati.

Peperangan belum usai. Pertempuran masih berlanjut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status