Beranda / Historical / Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi / Bab 3. Penyerangan oleh Patih Tiga Wira Ageng

Share

Bab 3. Penyerangan oleh Patih Tiga Wira Ageng

Penulis: Afifah Maulida
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-17 14:17:00

Ki Tunggul hanya diam mematung melihat kesibukan para punggawa dan prajurit kerajaan. Mereka berhamburan keluar masuk ruang senjata. Pintu gerbang besar yang berjarak lebih kurang 5 meter dari pendopo, seketika ditutup rapat. Tombak, pedang, dan keris melayang masuk ke dalam puri istana dari berbagai macam arah.

Hanya dalam waktu sekejap, darah tertumpah mengotori halaman istana. Beberapa prajurit tergeletak tak bernyawa di depan puri istana, keputren, dan kesatreyan.

"Paman," panggil Dewi Rukmini lirih pada Ki Tunggul. "Ijinkan saya untuk bergabung."

Kaki kanan Dewi Rukmini telah melangkah maju. Hendak menjejak ikut membaur bersama para prajurit. Namun, sebuah tombak panjang menghadang langkahnya. Dengan sigap dia memegang tombak itu dan bersiap menyingkirkannya.

Tapi niat itu segera diurungkannya begitu mengetahui siapa yang menghadangkan tombak itu di depan dadanya. Dia segera bersimpuh, menangkupkan kedua tangan di depan dada. Diikuti oleh Ki Tunggul di belakangnya.

"Ma'afkan saya, Ibu. Saya tidak tega melihat para prajurit bertarung hingga menemui ajalnya di depan mata saya. Ijinkan saya bergabung dengan mereka," ujar Dewi Rukmini pada ibunya, Dewi Gauri, yang kini berdiri di hadapan anak semata wayangnya itu. Tombak yang tadi dihadangkannya di depan Dewi Rukmini, kini telah berdiri tegak dalam genggamannya.

"Tidak kuijinkan, Cah Ayu. Kamu adalah satu-satunya anak yang kumiliki. Dan aku berharap bahwa kamulah yang akan menggantikan tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggabumi ini. Bukan orang lain. Agar darahku dan darah romomu yang telah menyatu dalam tubuhmu, akan tetap menjadi nadi dalam pemerintahan Kerajaan Sanggabumi ini." Dewi Gauri berkata tegas. Menciutkan nyali Dewi Rukmini yang semula berkobar begitu besar.

"Ki Tunggul, jagakan anakku!" perintah Dewi Gauri pada Ki Tunggul. Lelaki tua yang didapuk menjadi pelatih ilmu bela diri Dewi Rukmini sejak sang putri berusia tiga tahun.

"Siap, Baginda Ratu. Saya laksanakan." Ki Tunggul menjawab dengan tegas pula.

Dan seketika Dewi Gauri melesat pergi dengan begitu lincahnya. Meloncat bertumpukan sebuah batu besar di depan puri istana dan berdiri gagah di atas tembok istana. Memimpin pertempuran di kelompok barat.

"Siapa sesungguhnya yang menyerang istana kita, Ki Tunggul?" tanya Dewi Rukmini, masih dengan sikap bersimpuhnya. Pandangannya nanar menatap setiap tombak, keris, dan pedang yang melesak masuk ke halaman istana. Dan hampir seluruhnya menancap dengan tepat di dada prajurit yang berjaga di dalam istana.

"Tadi saya sempat mendengar bahwa Patih tiga Wira Ageng yang melakukan penyerangan, Gusti Putri." Ki Tunggul berdiri dan memakukan arah pandangnya ke tubuh para prajurit yang bergeletakan bersimbah darah. "Saya mohon ijin hendak membawa raga para prajurit ke dalam pendopo, Gusti Putri."

Tanpa memperhatikan anggukan kepala Dewi Rukmini, Ki Tunggul berlari cepat menuju ke halaman depan istana. Bersama beberapa abdi dalem kerajaan, mereka membawa raga-raga yang tak lagi memiiki ruh itu ke dalam pendopo. Para prajurit yang mengabdi pada kebesaran nama kerajaan hingga di akhir hayatnya.

Dewi Rukmini tidak bisa hanya berdiam diri. Dia berdiri dan ikut membantu Ki Tunggul dan para abdi dalem. Jemari lentiknya berlumuran darah. Wajah cantiknya bersimbah peluh. Dan dia tidak peduli itu.

"Ndoro Putri jangan ikut ke halaman. Panjenengan yang mengatur jasad mereka dalam pendopo saja. Karena senjata-senjata tajam masih berseliweran!" Ki Tunggul meneriaki Dewi Rukmini yang tengah menggotong tubuh seorang prajurit bersama Kalong.

"Baik, Ki ...!" jawab Dewi Rukmini sambil berteriak pula.

Wuuuzz ...! Jleb ...!

Sebatang tombak melesat masuk ke dalam istana dengan kecepatan tinggi. Mengarah lurus tepat di dada Ki Tunggul. Darah menyembur deras dari titik tusukan tombak itu.

"Ki ...," panggil Dewi Rukmini lirih. Lelaki tua yang telah membimbingnya selama 17 tahun itu, meregang nyawa tepat di hadapan matanya.

Dengan tubuh gemetar, Dewi Rukmini berlari menuju ke arah Ki Tunggul yang terkapar di halaman keputren. Darah segar membasahi dada Ki Tunggul. Bibir Dewi Rukmini bergetar hebat. Berulang kali disebutnya nama lelaki tua itu.

"Ki, jangan pergi. Kuatlah, Ki. Bertahanlah." Dewi Rukmini mengangkat kepala Ki Tunggul dan meletakkannya di atas pangkuan. Dielusnya rambut putih Ki Tunggul. Air matanya luruh berbaur dengan pekatnya darah yang menggenang di dada Ki Tunggul.

Mata Ki Tunggul menutup rapat. Sementara itu bibirnya yang juga mengatup rapat, menyunggingkan senyum terakhirnya. Gerakan dadanya tak ada lagi. Tangannya pun tak lagi bisa membalas genggaman tangan Dewi Rukmini.

Bejo yang semula selalu bersama Ki Tunggul untuk membantu, tak mampu menahan perasaannya yang berkecamuk tak menentu. Kecewa, marah, sedih, semua rasa itu membuatnya hilang kendali. Dia berteriak sekencang-kencangnya sembari mencabut tombak yang terhunus di dada Ki Tunggul.

"Bedebah, kaliaaan ...!" Teriakan Bejo yang bercampur isak tangis membuat suara desingan senjata tajam terhenti seketika.

Prabu Arya Pamenang yang memimpin di sektor timur, Patih satu Diro Menggolo yang memimpin di sektor utara, Dewi Gauri yang memimpin di sektor barat, dan Patih dua Doso Singo yang memimpin di sektor selatan, serempak menengok ke dalam tembok istana dari posko mereka masing-masing di atas tembok. Semua tertegun melihat Bajo yang mengamuk di dekat raga Ki Tunggul.

Bejo, abdi dalem bertubuh pendek gempal dan berkulit legam itu, tiba-tiba keluar menerobos pintu gerbang istana sembari memainkan tombak penuh darah yang telah mengakhirkan nyawa Ki Tunggul.

"Aku! Putra daerah asli desa Kampung Alit! Romoku mantan kepala desa di bumi Kampung Alit! Tidak pernah mengajarkan warga desanya untuk membunuh!" Suara Bejo lantang memecah keheningan akibat jeda pertempuran yang tak terduga.

"Aku! Seno Wijaya! Putra dari kepala desa Kampung Alit! Romoku mengajarkanku untuk selalu melindungi warga dan menjaganya agar janagn sampai ada yang kelaparan!" Seorang pemuda berpostur tinggi besar berkulit kuning, maju menghadang gerakan tombak berputar yang dilakukan Bejo.

Dua pemuda yang berasal dari satu desa itu saling berhadapan. Saling membalas pandang dengan mata memerah menahan amarah. Sejenak mereka berdua bergerak perlahan saling memutar. Sebelum akhirnya tombak yang dibawa Bejo menghunjam tubuh Seno Wijaya tepat di bagian dada.

Darah tertumpah. Pemimpin pemberontakan hari itu telah menemui akhir hidupnya. Suara kasak kusuk terdengar di antara para prajurit pemberontak yang berada di hadapan Bejo.

"Mundur ...!" Terdengar teriakan keras dari arah barisan belakang . "Besok kita akan kembali ke sini! Menuntut balas kematian Seno Wijaya!" Patih tiga Wira Ageng muncul dari belakang barisan menunggang seekor kuda hitam bersurai keemasan.

Beberapa prajurit dari desa Kampung Alit mengangkat tubuh Seno Wijaya dan meletakkannya di atas kuda hitam yang ditunggangi Patih tiga Wira Ageng itu. Lantas mereka semua berbalik arah, kembali menuju ke desa Kampung Alit. Derap langkah kaki kuda diirngi suara derap langkah kaki seakan mengiris-iris dada. Bak sembilu yang menyayat hati.

Peperangan belum usai. Pertempuran masih berlanjut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 80. Insiden Mulai Terjadi

    Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 79. Kegamangan Hati Sang Patih Muda

    "Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 78. Warna Hati Sang Ratu

    Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 77. Janur Kuning Belum Dilengkungkan

    "Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 76. Mimpi yang Hilang

    "Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Ban 75. Pertemuan

    Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 74. Jelaga Dalam Istana

    Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 73. Dendam Sang Pangeran

    Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 72. Hubungab Terlarang

    Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status