Ki Tunggul hanya diam mematung melihat kesibukan para punggawa dan prajurit kerajaan. Mereka berhamburan keluar masuk ruang senjata. Pintu gerbang besar yang berjarak lebih kurang 5 meter dari pendopo, seketika ditutup rapat. Tombak, pedang, dan keris melayang masuk ke dalam puri istana dari berbagai macam arah.
Hanya dalam waktu sekejap, darah tertumpah mengotori halaman istana. Beberapa prajurit tergeletak tak bernyawa di depan puri istana, keputren, dan kesatreyan. "Paman," panggil Dewi Rukmini lirih pada Ki Tunggul. "Ijinkan saya untuk bergabung." Kaki kanan Dewi Rukmini telah melangkah maju. Hendak menjejak ikut membaur bersama para prajurit. Namun, sebuah tombak panjang menghadang langkahnya. Dengan sigap dia memegang tombak itu dan bersiap menyingkirkannya. Tapi niat itu segera diurungkannya begitu mengetahui siapa yang menghadangkan tombak itu di depan dadanya. Dia segera bersimpuh, menangkupkan kedua tangan di depan dada. Diikuti oleh Ki Tunggul di belakangnya. "Ma'afkan saya, Ibu. Saya tidak tega melihat para prajurit bertarung hingga menemui ajalnya di depan mata saya. Ijinkan saya bergabung dengan mereka," ujar Dewi Rukmini pada ibunya, Dewi Gauri, yang kini berdiri di hadapan anak semata wayangnya itu. Tombak yang tadi dihadangkannya di depan Dewi Rukmini, kini telah berdiri tegak dalam genggamannya. "Tidak kuijinkan, Cah Ayu. Kamu adalah satu-satunya anak yang kumiliki. Dan aku berharap bahwa kamulah yang akan menggantikan tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggabumi ini. Bukan orang lain. Agar darahku dan darah romomu yang telah menyatu dalam tubuhmu, akan tetap menjadi nadi dalam pemerintahan Kerajaan Sanggabumi ini." Dewi Gauri berkata tegas. Menciutkan nyali Dewi Rukmini yang semula berkobar begitu besar. "Ki Tunggul, jagakan anakku!" perintah Dewi Gauri pada Ki Tunggul. Lelaki tua yang didapuk menjadi pelatih ilmu bela diri Dewi Rukmini sejak sang putri berusia tiga tahun. "Siap, Baginda Ratu. Saya laksanakan." Ki Tunggul menjawab dengan tegas pula. Dan seketika Dewi Gauri melesat pergi dengan begitu lincahnya. Meloncat bertumpukan sebuah batu besar di depan puri istana dan berdiri gagah di atas tembok istana. Memimpin pertempuran di kelompok barat. "Siapa sesungguhnya yang menyerang istana kita, Ki Tunggul?" tanya Dewi Rukmini, masih dengan sikap bersimpuhnya. Pandangannya nanar menatap setiap tombak, keris, dan pedang yang melesak masuk ke halaman istana. Dan hampir seluruhnya menancap dengan tepat di dada prajurit yang berjaga di dalam istana. "Tadi saya sempat mendengar bahwa Patih tiga Wira Ageng yang melakukan penyerangan, Gusti Putri." Ki Tunggul berdiri dan memakukan arah pandangnya ke tubuh para prajurit yang bergeletakan bersimbah darah. "Saya mohon ijin hendak membawa raga para prajurit ke dalam pendopo, Gusti Putri." Tanpa memperhatikan anggukan kepala Dewi Rukmini, Ki Tunggul berlari cepat menuju ke halaman depan istana. Bersama beberapa abdi dalem kerajaan, mereka membawa raga-raga yang tak lagi memiiki ruh itu ke dalam pendopo. Para prajurit yang mengabdi pada kebesaran nama kerajaan hingga di akhir hayatnya. Dewi Rukmini tidak bisa hanya berdiam diri. Dia berdiri dan ikut membantu Ki Tunggul dan para abdi dalem. Jemari lentiknya berlumuran darah. Wajah cantiknya bersimbah peluh. Dan dia tidak peduli itu. "Ndoro Putri jangan ikut ke halaman. Panjenengan yang mengatur jasad mereka dalam pendopo saja. Karena senjata-senjata tajam masih berseliweran!" Ki Tunggul meneriaki Dewi Rukmini yang tengah menggotong tubuh seorang prajurit bersama Kalong. "Baik, Ki ...!" jawab Dewi Rukmini sambil berteriak pula. Wuuuzz ...! Jleb ...! Sebatang tombak melesat masuk ke dalam istana dengan kecepatan tinggi. Mengarah lurus tepat di dada Ki Tunggul. Darah menyembur deras dari titik tusukan tombak itu. "Ki ...," panggil Dewi Rukmini lirih. Lelaki tua yang telah membimbingnya selama 17 tahun itu, meregang nyawa tepat di hadapan matanya. Dengan tubuh gemetar, Dewi Rukmini berlari menuju ke arah Ki Tunggul yang terkapar di halaman keputren. Darah segar membasahi dada Ki Tunggul. Bibir Dewi Rukmini bergetar hebat. Berulang kali disebutnya nama lelaki tua itu. "Ki, jangan pergi. Kuatlah, Ki. Bertahanlah." Dewi Rukmini mengangkat kepala Ki Tunggul dan meletakkannya di atas pangkuan. Dielusnya rambut putih Ki Tunggul. Air matanya luruh berbaur dengan pekatnya darah yang menggenang di dada Ki Tunggul. Mata Ki Tunggul menutup rapat. Sementara itu bibirnya yang juga mengatup rapat, menyunggingkan senyum terakhirnya. Gerakan dadanya tak ada lagi. Tangannya pun tak lagi bisa membalas genggaman tangan Dewi Rukmini. Bejo yang semula selalu bersama Ki Tunggul untuk membantu, tak mampu menahan perasaannya yang berkecamuk tak menentu. Kecewa, marah, sedih, semua rasa itu membuatnya hilang kendali. Dia berteriak sekencang-kencangnya sembari mencabut tombak yang terhunus di dada Ki Tunggul. "Bedebah, kaliaaan ...!" Teriakan Bejo yang bercampur isak tangis membuat suara desingan senjata tajam terhenti seketika. Prabu Arya Pamenang yang memimpin di sektor timur, Patih satu Diro Menggolo yang memimpin di sektor utara, Dewi Gauri yang memimpin di sektor barat, dan Patih dua Doso Singo yang memimpin di sektor selatan, serempak menengok ke dalam tembok istana dari posko mereka masing-masing di atas tembok. Semua tertegun melihat Bajo yang mengamuk di dekat raga Ki Tunggul. Bejo, abdi dalem bertubuh pendek gempal dan berkulit legam itu, tiba-tiba keluar menerobos pintu gerbang istana sembari memainkan tombak penuh darah yang telah mengakhirkan nyawa Ki Tunggul. "Aku! Putra daerah asli desa Kampung Alit! Romoku mantan kepala desa di bumi Kampung Alit! Tidak pernah mengajarkan warga desanya untuk membunuh!" Suara Bejo lantang memecah keheningan akibat jeda pertempuran yang tak terduga. "Aku! Seno Wijaya! Putra dari kepala desa Kampung Alit! Romoku mengajarkanku untuk selalu melindungi warga dan menjaganya agar janagn sampai ada yang kelaparan!" Seorang pemuda berpostur tinggi besar berkulit kuning, maju menghadang gerakan tombak berputar yang dilakukan Bejo. Dua pemuda yang berasal dari satu desa itu saling berhadapan. Saling membalas pandang dengan mata memerah menahan amarah. Sejenak mereka berdua bergerak perlahan saling memutar. Sebelum akhirnya tombak yang dibawa Bejo menghunjam tubuh Seno Wijaya tepat di bagian dada. Darah tertumpah. Pemimpin pemberontakan hari itu telah menemui akhir hidupnya. Suara kasak kusuk terdengar di antara para prajurit pemberontak yang berada di hadapan Bejo. "Mundur ...!" Terdengar teriakan keras dari arah barisan belakang . "Besok kita akan kembali ke sini! Menuntut balas kematian Seno Wijaya!" Patih tiga Wira Ageng muncul dari belakang barisan menunggang seekor kuda hitam bersurai keemasan. Beberapa prajurit dari desa Kampung Alit mengangkat tubuh Seno Wijaya dan meletakkannya di atas kuda hitam yang ditunggangi Patih tiga Wira Ageng itu. Lantas mereka semua berbalik arah, kembali menuju ke desa Kampung Alit. Derap langkah kaki kuda diirngi suara derap langkah kaki seakan mengiris-iris dada. Bak sembilu yang menyayat hati. Peperangan belum usai. Pertempuran masih berlanjut.Patih tiga Wira Ageng benar-benar melakukan ancamannya. Dia melakukan penyerangan berulang kali ke arah puri istana Kerajaan Sanggabumi. Yang berujung pada kegeraman dan tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah kerajaan terhadap warga desa Kampung Alit. "Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah mengalah. Dan saatnya pemerintah menegakkan kewibawaannya," ujar Patih dua Doso Singo. Ini kali ketiga pemerintah melakukan pertemuan darurat untuk membahas masalah penyerangan warga desa Kampung Alit yng dipimpin oleh Patih tiga Wira Ageng. Prabu Arya Pamenang tidak segera menjawab. Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk berpikir demi mendapatkan solusi yang terbaik. Pandangan matanya mengarah pada sebuah titik tak terfokus. Sebuah dilema baginya. Penyerangan yang dilakukan warga desa Kampung Alit ini dinamakan dengan Pemberontakan Candra Ratri. Sang Prabu memberinya nama seperti tu karena penyerangan terhebat yang terjadi adalah saat tengah malam ketik
Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh. Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan. "Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya. Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akh
Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka. Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan. Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri. "Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian meneman
Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri. "Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana
Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak
"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,
"Aku masih belum bisa menerima keputusan romomu, Kanda Dimas." Dewi Rukmini menerawangksn pandang jauh ke depan tanpa titik fokus. "Mengapa panjenengan tidak menyampaikannya pada romo?" tanya Dimas Bagus Penggalih. Matahari sore itu telah menyemburstkan wsrna merah oranye yang cukup terang. Sebuah paduan warna yang memberikan pertands alam, menurut para pinisepuh. Bahwa akan ada pagebluk. Wabah penyakit yang terjadi dalam waktu dekat. "Aku sudah menyampaikannya. Tapi memang tak ada jalan lain untuk menyembuhkan Gusti Romo kecuali sstu hal itu. Aku sudah menghubungi Ki Sradda dan menanyakannya. Dan memang harus seperti itu," ujar Dewi Rukmini. Pasetran yang ada di hadapan Dewi Rukmini dan Dimas Bagus Penggalih kini telah dingin. Tak lagi mengeluarkan asapnya yang wangi setelah 6 purnama berlalu. Enam purnama yang lalu, ketika kobaran api mengantarkan sukma Dewi Gauri menuju ke swargaloka. Dimas Bagus Penggalih tak tahu harus berkata apa. Tugasnya dalam pemerintahan hanyalah mena
Hari sakral itu telah tiba. Di bulan Kartika, saat bulan Sarat dalam kalender Saka menghadapi musim rontok. Saat di mana dedaunan mulai berjatuhan dan mengalirkan semilir angin yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Dewi Rukmini duduk di bagian samping pelaminan. Berjajar sedikit lebih tinggi dari para pejabat istana. Patih satu Diro Menggolo duduk di sampingnya. Terus membisikkan kalimat-kalimat penguat hati. Sementara kursi mendiang Patih dua Doso Singo, kini ditempati oleh Dimas Bagus Penggalih. Dan Patih tiga Wira Ageng kini duduk kembali di kursi yang pernah ditinggalkannya selama beberapa bulan. "Gusti Ratu harus ikhlas. Demi negri ini. Demi kedamaian rakyat," bisik Patih satu Diro Menggolo pada Sang Ratu. Dewi Rukmini mengangguk pelan. Karena mahkota emas itu masih terasa berat bertahta di kepalanya. Seulas senyum tipis dia sunggingkan di bibir indahnya.Pandangan Dewi Rukmini mengarah lurus ke depan. Di sisi seberangnya berjajar para petinggi Kerajaan Galuh. Prabu Su