Share

Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi
Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi
Penulis: Afifah Maulida

Bab 1. Burung Gagak Besar Berwarna Hitam

 "Tak ada kata sepakat untuk sebuah pemberontakan! Camkan itu, Cah Ayu!" seru Dewi Gauri, ibunda ratu Kerajaan Sanggabumi. Sembari menarik tali kekang Pethak Ageng, kuda putih kesayangan Sang Ratu. Kuda berpostur besar dengan ketangkasan bergerak, yang mampu mengimbangi gerak cepat Sang Ratu saat bertarung di tengah laga pertempuran.

  Gadis cantik berkulit sawo matang muda itu hanya bisa menatap kepergian ibunya sambil menggelengkan kepala. Tak ada seorang pun yang mampu mencegah keinginan Dewi Gauri untuk ikut terjun dalam pertempuran apapun. Sekali pun Sang Raja, Prabu Arya Pamenang, telah melarangnya dengan memohon.

   Kala itu, saat sore hampir menukik menyentuh pergantian waktu, Prabu Arya Pamenang bersimpuh di hadapan Dewi Gauri. Memohon dengan sangat agar belahan nyawanya itu tidak ikut dalam pertempuran menumpas pemberontakan di wilayah Kampung Alit, sebuah wilayah perdikan yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sanggabumi.

  "Dengan segala hormat dan segenap rasa cinta yang saya miliki untukmu, tolong urungkan niatmu, Adinda,"ujar Prabu Arya Pamenang, bersimpuh di hadapan Dewi Gauri dengan tatapan sendu.

   Wanita yang memiliki kecantikan laksana Dewi Parwati itu hanya tersenyum ke arah Sang Prabu. Dia berjongkok di hadapan suaminya. Memegang kedua tangan lelaki tampan, pemegang tampuk pemerintahan tertinggi di Kerajaan Sanggabumi itu, lantas mengajaknya berdiri dan membimbingnya untuk kembali duduk di atas singgasana berukir garuda.

   "Justru karena besarnya rasa cintaku padamu, Kakanda, maka saya memutuskan untuk mendampingimu bertugas." Dewi Gauri menempelkan kedua tangan Sang Prabu di pipi kirinya. Air matanya menggulir perlahan. Menitik jatuh hingga di atas tangan Sang Prabu.

   Prabu Arya Pamenang tak kuasa berkata-kata lagi. Dia tahu bahwa rasa cinta dan pengabdian yang dimiliki oleh Dewi Gauri pada dirinya, sangatlah besar. Dia menarik tangannya, kemudian melingkarkan lengannya di bahu Dewi Gauri.

   "Kamu adalah sigaraning nyawaku, Adinda. Aku sungguh takut kehilangan dirimu." Prabu Arya Pamenang menarik tubuh Dewi Gauri ke dalam dekapannya. Mereka berdua larut dalam suasana haru biru sore itu.

   Dewi Rukmini yang melihat dari sisi samping singgasana, menghela nafas panjang. Dalam hati dia juga ingin melarang Sang Ibunda untuk pergi. Namun, Dewi Gauri terlalu keras. Siapapun tahu jika wanita nomer satu di Kerajaan Sanggabumi itu memiliki watak yang sangat keras dalam memegang teguh prinsipnya.

    Ada satu kelebihan Dewi Rukmini yang tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan oleh orang tuanya sendiri. Dia memiliki kekuatan mata batin yang tak pernah dia ungkapkan pada siapapun. Segala hal yang mampu dia lihat melalui mata batinnya, hanya bisa dia pendam dalam hati.

    "Ibu akan pergi," batin Dewi Rukmini, "ini adalah saat terakhirku bersamanya." Dewi Rukmini berusaha menabahkan hatinya. Dia tidak akan mampu menolak takdir. Dia akan lepaskan kepergian ibunya dengan ikhlas.

    Dan waktu di sore itu terasa menggulir begitu cepat. Sore berganti petang, dan petang berganti malam. Dewi Rukmini membiarkan malam hari itu berlalu dalam keheningan. Dia hanya duduk merenung di halaman keputren. Menatap langit dan mencoba berbicara pada rembulan.

   "Biasanya panjenengan akan melewati malam sambil berkidung, Ndoro Putri," ujar Bik Nara, emban bertubuh subur yang duduk bersimpuh di dekat Dewi Rukmini.

    Dewi Rukmini menoleh ke arah Bik Nara. Menggenggam tangan wanita paruh baya itu. "Peluk aku, Bibik. Aku ingin menangis malam ini. Tak mampu lagi aku berkidung."

    Bik Nara menatap lekat wajah Ndoro Putrinya. Mengusap lembut setitik air mata yang hampir jatuh dari kedua sudut mata berbentuk bulat itu. "Saya tahu apa yang Ndoro Putri pikirkan. Mendekatlah, Ndoro Putri. Saya hanya mampu memberikan dada saya untuk tempat bersandar Ndoro Putri."

  Tubuh Dewi Rukmini bergeser. Menyambut rentangan lengan Bik Nara yang langsung mendekapnya erat. Tangis Dewi Rukmini pecah di keheningan malam itu.

  Sementara itu tiga ekor burung gagak berukuran cukup besar, berwarna hitam penuh, terbang berputar-putar di sekitar keputren. Suaranya keras menggunting telinga.

    Ngak ... ngak ... ngak.

   "Mereka telah datang, Bik," ujar Dewi Rukmini. Perlahan dia melepaskan diri dari dekapan Bik Nara. Mendongak menatap ketiga ekor burung gagak besar itu.

    Seekor burung gagak yang berukuran paling besar terbang merendah. Lantas hinggap tepat di atas puri kerajaan. Dewi Rukmini mengambil sebuah batu yang cukup besar. Melempari burung gagak besar itu agar segera pergi. Tapi burung gagak itu hanya menoleh sekilas dan kembali diam bertengger dengan sikap pongahnya.

    "Dia tidak akan pernah mau pergi, Ndoro Putri. Dia hanyalah pengantar takdir." Bik Nara berdiri dan menghampiri Dewi Rukmini. Merangkul dan menepuk-nepuk lembut bahu Sang Putri.

  "Tak dapatkah takdir diubah, Bik?" tanya Dewi Rukmini dengan suara parau.

   Bik Nara menggeleng perlahan. "Maut adalah rahasia Sang Penguasa Kehidupan. Juga menjadi kuasa mutlakNya yang tak dapat digaggu gugat oleh manusia. Dia-lah yang paling tahu, apa yang terbaik bagi manusia."

    Kedua wanita lantas terdiam dalam sejenak waktu. Hanya berdiri terpaku menatap burung gagak besar berwarna hitam yang masih tetap bertengger di atas atap istana puri. Ditingkahi rembulan yang makin enggan menampakkan dirinya. Menjadikan gelap malam itu semakin pekat.

   Ngak ... ngak ... ngak ...

   Suara dua ekor burung gagak besar yang lainnya kembali terdengar memecah malam. Membuat pengawal kerajaan bergegas keluar dari pintu depan istana puri. Ki Suro dan Ki Jagad memegang tombak sambil berlari kecil melewati pendopo menuju ke halaman depan puri.

   "Hei! Apa yang akan kalian lakukan?" tegur Bik Nara pada kedua pengawal tersebut. "Mereka hanyalah membawa pertanda. Bukan hendak membuat keonaran."

   Ki Suro menoleh ke arah Bik Nara dan menatapnya tajam. Dahinya mengernyit. "Suaranya berisik, Bik. Harus diusir."

   Ki Jagat perlahan menghampiri Bik Nara dan Dewi Rukmini yang tengah berdiri di halaman depan keputren. Berbeda dengan ekspresi Ki Suro yang terlihat marah, Ki Jagat malah memperlihatkan ekspresi ramah, menyunggingkan senyum lebarnya.

   "Sang Prabu dan Gusti Ratu sedang ehem ehem, Bik," bisik Ki Jagat pada Bik Nara. "Kami kuatir suara burung gagak ini akan mengganggu kemesraan mereka." Ki Jagat dan Bik Nara terkekeh.

   Mata Dewi Rukmini sontak berkabut. "Malam terakhir bagi Romo dan Ibu," ujarnya dalam hati. 

    Candaan Ki Jagat dan Bik Nara tak lagi dipedulikan oleh Dewi Rukmini. Dia hanya terdiam seraya terus memperhatikan burung gagak besar yang bertengger di atas atap istana puri. Dia kini tidak lagi berdiri gagah. Namun, telah mengubah posisinya menjadi duduk dengan kepala menunduk. Seakan terkantuk-kantuk. Tidak memedulikan kedua kawannya yang masih terus berteriak

    Burung gagak besar yang bertengger di atas atap istana puri itu seolah tengah menanti sesuatu. Entah apa yang dinantikannya itu. Mungkinkah malaikat Sang Pencabut Nyawa yang sudah harus bertugas malam ini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
EPIPHYLLUM
ceritanya bagus...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status