Home / Historical / Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi / Bab 1. Burung Gagak Besar Berwarna Hitam

Share

Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi
Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi
Author: Afifah Maulida

Bab 1. Burung Gagak Besar Berwarna Hitam

last update Last Updated: 2023-06-17 14:12:55

 "Tak ada kata sepakat untuk sebuah pemberontakan! Camkan itu, Cah Ayu!" seru Dewi Gauri, ibunda ratu Kerajaan Sanggabumi. Sembari menarik tali kekang Pethak Ageng, kuda putih kesayangan Sang Ratu. Kuda berpostur besar dengan ketangkasan bergerak, yang mampu mengimbangi gerak cepat Sang Ratu saat bertarung di tengah laga pertempuran.

  Gadis cantik berkulit sawo matang muda itu hanya bisa menatap kepergian ibunya sambil menggelengkan kepala. Tak ada seorang pun yang mampu mencegah keinginan Dewi Gauri untuk ikut terjun dalam pertempuran apapun. Sekali pun Sang Raja, Prabu Arya Pamenang, telah melarangnya dengan memohon.

   Kala itu, saat sore hampir menukik menyentuh pergantian waktu, Prabu Arya Pamenang bersimpuh di hadapan Dewi Gauri. Memohon dengan sangat agar belahan nyawanya itu tidak ikut dalam pertempuran menumpas pemberontakan di wilayah Kampung Alit, sebuah wilayah perdikan yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sanggabumi.

  "Dengan segala hormat dan segenap rasa cinta yang saya miliki untukmu, tolong urungkan niatmu, Adinda,"ujar Prabu Arya Pamenang, bersimpuh di hadapan Dewi Gauri dengan tatapan sendu.

   Wanita yang memiliki kecantikan laksana Dewi Parwati itu hanya tersenyum ke arah Sang Prabu. Dia berjongkok di hadapan suaminya. Memegang kedua tangan lelaki tampan, pemegang tampuk pemerintahan tertinggi di Kerajaan Sanggabumi itu, lantas mengajaknya berdiri dan membimbingnya untuk kembali duduk di atas singgasana berukir garuda.

   "Justru karena besarnya rasa cintaku padamu, Kakanda, maka saya memutuskan untuk mendampingimu bertugas." Dewi Gauri menempelkan kedua tangan Sang Prabu di pipi kirinya. Air matanya menggulir perlahan. Menitik jatuh hingga di atas tangan Sang Prabu.

   Prabu Arya Pamenang tak kuasa berkata-kata lagi. Dia tahu bahwa rasa cinta dan pengabdian yang dimiliki oleh Dewi Gauri pada dirinya, sangatlah besar. Dia menarik tangannya, kemudian melingkarkan lengannya di bahu Dewi Gauri.

   "Kamu adalah sigaraning nyawaku, Adinda. Aku sungguh takut kehilangan dirimu." Prabu Arya Pamenang menarik tubuh Dewi Gauri ke dalam dekapannya. Mereka berdua larut dalam suasana haru biru sore itu.

   Dewi Rukmini yang melihat dari sisi samping singgasana, menghela nafas panjang. Dalam hati dia juga ingin melarang Sang Ibunda untuk pergi. Namun, Dewi Gauri terlalu keras. Siapapun tahu jika wanita nomer satu di Kerajaan Sanggabumi itu memiliki watak yang sangat keras dalam memegang teguh prinsipnya.

    Ada satu kelebihan Dewi Rukmini yang tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan oleh orang tuanya sendiri. Dia memiliki kekuatan mata batin yang tak pernah dia ungkapkan pada siapapun. Segala hal yang mampu dia lihat melalui mata batinnya, hanya bisa dia pendam dalam hati.

    "Ibu akan pergi," batin Dewi Rukmini, "ini adalah saat terakhirku bersamanya." Dewi Rukmini berusaha menabahkan hatinya. Dia tidak akan mampu menolak takdir. Dia akan lepaskan kepergian ibunya dengan ikhlas.

    Dan waktu di sore itu terasa menggulir begitu cepat. Sore berganti petang, dan petang berganti malam. Dewi Rukmini membiarkan malam hari itu berlalu dalam keheningan. Dia hanya duduk merenung di halaman keputren. Menatap langit dan mencoba berbicara pada rembulan.

   "Biasanya panjenengan akan melewati malam sambil berkidung, Ndoro Putri," ujar Bik Nara, emban bertubuh subur yang duduk bersimpuh di dekat Dewi Rukmini.

    Dewi Rukmini menoleh ke arah Bik Nara. Menggenggam tangan wanita paruh baya itu. "Peluk aku, Bibik. Aku ingin menangis malam ini. Tak mampu lagi aku berkidung."

    Bik Nara menatap lekat wajah Ndoro Putrinya. Mengusap lembut setitik air mata yang hampir jatuh dari kedua sudut mata berbentuk bulat itu. "Saya tahu apa yang Ndoro Putri pikirkan. Mendekatlah, Ndoro Putri. Saya hanya mampu memberikan dada saya untuk tempat bersandar Ndoro Putri."

  Tubuh Dewi Rukmini bergeser. Menyambut rentangan lengan Bik Nara yang langsung mendekapnya erat. Tangis Dewi Rukmini pecah di keheningan malam itu.

  Sementara itu tiga ekor burung gagak berukuran cukup besar, berwarna hitam penuh, terbang berputar-putar di sekitar keputren. Suaranya keras menggunting telinga.

    Ngak ... ngak ... ngak.

   "Mereka telah datang, Bik," ujar Dewi Rukmini. Perlahan dia melepaskan diri dari dekapan Bik Nara. Mendongak menatap ketiga ekor burung gagak besar itu.

    Seekor burung gagak yang berukuran paling besar terbang merendah. Lantas hinggap tepat di atas puri kerajaan. Dewi Rukmini mengambil sebuah batu yang cukup besar. Melempari burung gagak besar itu agar segera pergi. Tapi burung gagak itu hanya menoleh sekilas dan kembali diam bertengger dengan sikap pongahnya.

    "Dia tidak akan pernah mau pergi, Ndoro Putri. Dia hanyalah pengantar takdir." Bik Nara berdiri dan menghampiri Dewi Rukmini. Merangkul dan menepuk-nepuk lembut bahu Sang Putri.

  "Tak dapatkah takdir diubah, Bik?" tanya Dewi Rukmini dengan suara parau.

   Bik Nara menggeleng perlahan. "Maut adalah rahasia Sang Penguasa Kehidupan. Juga menjadi kuasa mutlakNya yang tak dapat digaggu gugat oleh manusia. Dia-lah yang paling tahu, apa yang terbaik bagi manusia."

    Kedua wanita lantas terdiam dalam sejenak waktu. Hanya berdiri terpaku menatap burung gagak besar berwarna hitam yang masih tetap bertengger di atas atap istana puri. Ditingkahi rembulan yang makin enggan menampakkan dirinya. Menjadikan gelap malam itu semakin pekat.

   Ngak ... ngak ... ngak ...

   Suara dua ekor burung gagak besar yang lainnya kembali terdengar memecah malam. Membuat pengawal kerajaan bergegas keluar dari pintu depan istana puri. Ki Suro dan Ki Jagad memegang tombak sambil berlari kecil melewati pendopo menuju ke halaman depan puri.

   "Hei! Apa yang akan kalian lakukan?" tegur Bik Nara pada kedua pengawal tersebut. "Mereka hanyalah membawa pertanda. Bukan hendak membuat keonaran."

   Ki Suro menoleh ke arah Bik Nara dan menatapnya tajam. Dahinya mengernyit. "Suaranya berisik, Bik. Harus diusir."

   Ki Jagat perlahan menghampiri Bik Nara dan Dewi Rukmini yang tengah berdiri di halaman depan keputren. Berbeda dengan ekspresi Ki Suro yang terlihat marah, Ki Jagat malah memperlihatkan ekspresi ramah, menyunggingkan senyum lebarnya.

   "Sang Prabu dan Gusti Ratu sedang ehem ehem, Bik," bisik Ki Jagat pada Bik Nara. "Kami kuatir suara burung gagak ini akan mengganggu kemesraan mereka." Ki Jagat dan Bik Nara terkekeh.

   Mata Dewi Rukmini sontak berkabut. "Malam terakhir bagi Romo dan Ibu," ujarnya dalam hati. 

    Candaan Ki Jagat dan Bik Nara tak lagi dipedulikan oleh Dewi Rukmini. Dia hanya terdiam seraya terus memperhatikan burung gagak besar yang bertengger di atas atap istana puri. Dia kini tidak lagi berdiri gagah. Namun, telah mengubah posisinya menjadi duduk dengan kepala menunduk. Seakan terkantuk-kantuk. Tidak memedulikan kedua kawannya yang masih terus berteriak

    Burung gagak besar yang bertengger di atas atap istana puri itu seolah tengah menanti sesuatu. Entah apa yang dinantikannya itu. Mungkinkah malaikat Sang Pencabut Nyawa yang sudah harus bertugas malam ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 80. Insiden Mulai Terjadi

    Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 79. Kegamangan Hati Sang Patih Muda

    "Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 78. Warna Hati Sang Ratu

    Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 77. Janur Kuning Belum Dilengkungkan

    "Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 76. Mimpi yang Hilang

    "Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Ban 75. Pertemuan

    Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 74. Jelaga Dalam Istana

    Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 73. Dendam Sang Pangeran

    Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 72. Hubungab Terlarang

    Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status