Patih tiga Wira Ageng benar-benar melakukan ancamannya. Dia melakukan penyerangan berulang kali ke arah puri istana Kerajaan Sanggabumi. Yang berujung pada kegeraman dan tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah kerajaan terhadap warga desa Kampung Alit.
"Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah mengalah. Dan saatnya pemerintah menegakkan kewibawaannya," ujar Patih dua Doso Singo. Ini kali ketiga pemerintah melakukan pertemuan darurat untuk membahas masalah penyerangan warga desa Kampung Alit yng dipimpin oleh Patih tiga Wira Ageng. Prabu Arya Pamenang tidak segera menjawab. Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk berpikir demi mendapatkan solusi yang terbaik. Pandangan matanya mengarah pada sebuah titik tak terfokus. Sebuah dilema baginya. Penyerangan yang dilakukan warga desa Kampung Alit ini dinamakan dengan Pemberontakan Candra Ratri. Sang Prabu memberinya nama seperti tu karena penyerangan terhebat yang terjadi adalah saat tengah malam ketika bulan tengah purnama. Dan menyebabkan puluhan nyawa tercerabut dalam gelimangan darah. "Bagaimana, Baginda Prabu? Waktu kita tidak banyak. Sekarang waktu telah hampir memasuki petang." Patih satu Diro Menggolo terlihat kurang sabar menghadapi sikap Prabu Arya Pamenang yang terlalu lama berpikir. Prabu Arya Pamenang menatap ke arah dua patihnya tersebut. Dua orang kepercayaan yang telah terbukti loyalitas dan kepiawaiannya membantu Sang Prabu mengendalikan roda pemerintahan selama ini. Patutkah Sang Prabu menolak masukan dari kedua patihnya tersebut, yang kebetulan memiliki pendapat serujuk? Pada akhirnya Sang Prabu mengangguk. Demi rasa hormatnya pada kedua patih tersebut. Yang sesungguhnya, jauh dalam hati kecilnya, dia menolak penyerangan balasan ke warga desa Kampung Alit. Tidak kuasa hatinya jika harus menghunus senjata ke arah warganya, meskipun mereka hendak membunuhnya sekalipun. "Baiklah, Patih satu dan Patih dua. Saya menyetujui usulan kalian. Besok pagi buta, sebelum fajar menyingsing, kita bergerak maju menuju ke desa Kampung Alit. Besar harapan saya bahwa mereka tidak melakukan tindak perlawanan, agar tidak jatuh korban jiwa lebih banyak lagi." Suara Prabu Arya Pamenang terdengar parau. Dan ketika dia menyelesaikan ucapannya, terlihat jakunnya yang bergerak sangat pelan. Seperti ada yang menyekat kerongkongannya ketika dia hendak menelan ludah. "Baik, Baginda Prabu. Kami akan perintahkan seluruh kepala prajurit untuk melakukan persiapan malam ini." Patih satu Diro Menggolo sigap berdiri dan berjalan keluar dari ruang Raja menuju ke balai prajurit. Diikuti oleh Patih dua Doso Singo, yang sebelumnya menghaturkan sembah baktinya pada Prabu Arya Pamenang. Tinggal Prabu Arya Pamenang bertiga bersama pengawal pribadinya, Ki Cakra dan Ki Langgeng, dalam ruang Raja yang berukuran sangat luas itu. Prabu Arya Pamenang menghela nafas panjang. Berusaha melonggarkan sesak di dada. Pikirannya melayang ke peristiwa pemberontakan Candra Ratri yang terjadi dua malam yang lalu. Sebuah sentuhan lembut di lengan kanan, membuat Prabu Arya Pamenang terperanjat. Dia menoleh cepat. Dan ternyata Dewi Gauri, Sang Permaisuri yang duduk di sampingnya. "Apa yang tengah Kakanda pikirkan?" tanya Dewi Gauri dengan suara lembut. Wajah cantik dan sifat lemah lembutnya sering dianggap warga sebagai jelmaan Dewi Parwati. Dewi yang memiliki sifat keibuan, penuh cinta, dan mengalirkan kekuatan harmoni dalam kehidupan manusia. Prabu Arya Pamenang menyunggingkan senyum terindahnya untuk Sang Istri tercinta. Digenggamnya tangan Dewi Gauri erat. Lantas diciuminya tangan halus berjemari lentik itu. Cinta Prabu Arya Pamenang pada Dewi Gauri tak dapat disangkal oleh semua orang. Telah menjadi pembicaraan di kalangan para raja di seluruh bumi Jawa Dwipa. "Tak akan ada hal yang mampu membebani pikiranku kecuali rakyatku dan dirimu, Adinda," jawab Prabu Arya Pamenang sembari terus menciumi tangan Dewi Gauri. Sang Permaisuri membalas kemesraan sikap suaminya itu dengan senyum manis yang tersungging di bibir indahnya. "Apakah penyerangan warga desa Kampung Alit yang mengganggu pikiran panjenengan, Kakanda?" tanya Dewi Gauri. "Tentu saja, Dewiku. Apalagi yang sedang menjadi beban pikiranku kecuali hal itu untuk saat ini?" Prabu Arya Pamenang mengembuskan nafas kuat-kuat dan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Dewi Gauri. Lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit bersih itu berjalan perlahan menuju ke jendela besar yang berada di sisi utara dinding ruang raja. Dia memperhatikan kesibukan para prajurit yang keluar masuk balai prajurit. Matanya berkaca-kaca. Hal yang sangat tidak diinginkannya terjadi ketika tampuk tertinggi pemerintahan dikuasakan padanya. Adalah pertempuran yang terjadi antar anak negri. Perang saudara. Merupakan bukti kegagalan sebuah pemerintahan. "Hal ini terpaksa terjadi, Adinda. Aku tidak mungkin menolak masukan dari Patih satu Diro Menggolo dan Patih dua Doso Singo. Aku harus memilih." Prabu Arya Pamenang membalikkan badan dan kembali berjalan menuju ke singgasananya. "Semua prajurit saat ini tengah mempersiapkan semuanya." Dewi Gauri menatap lekat netra Prabu Arya Pamenang teoat di manik matanya. "Penyerangan balasan?" tanya Sang Permaisuri, memastikan pertanyaan yang menggemuruh dalam hatinya sejak tadi. "Betul, istriku. Itu pilihan yang harus aku ambil. Pilihan terbaik di antara semua pilihan yang buruk." Prabu Arya Pamenang balas menatap pandangan istrinya. "Kakanda, ijinkan saya untuk terlibat dalam pertempuran besok." Dewi Gauri menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, di hadapan Prabu Arya Pamenang. Sontak Sang Prabu membelalakkan mata. "Aku tidak ijinkan, Adinda. Pertempuran kali ini berbeda. Tidak seperti pertempuran di hari-hari kemarin. Medan lawan belum kamu kuasai. Dan itu sangat membahayakan keselamatan dan keamananmu." Prabu Arya Pamenang turun dari singgasananya dan bersimpuh di hadapan Dewi Gauri. Di balik kelembutannya, sesungguhnya Dewi Gauri adalah seorang wanita yang berwatak keras. Dia teguh memegang prinsip. Dan tidak menerima penolakan apapun atas segala hal yang telah menjadi tekad dan keinginannya. "Panjenengan adalah sigaraning nyawa saya, Adinda. Jika terjadi apa-apa dengan dirimu, maka aku-lah yang akan paling menyesal. Hidupku tak akan ada artinya tanpa kehadiranmu di sisiku," ujar Prabu Arya Pamenang. Dewi Gauri pun segera turun pula dari singgasana permaisurinya. Berjongkok dan membimbing Sang Prabu agar kembali duduk di singgasana. Tangannya menggenggam tangan Sang Prabu dan ditempelkannya ke pipi kiri. Air matanya menitik perlahan. "Justru karena saya adalah sigaraning nyawa panjenengan, maka saya ingin ikut terus mendampingi dalam setiap kegiatan panjenengan. Saya mohon dengan sangat, Kakanda. Ijinkan saya mendampingi panjenengan untuk menghadapi pertempuran esok hari." Dewi Gauri terus memohon dengan sikap manjanya. Hingga mampu meluluhkan kekerasan hati Sang Prabu. "Baiklah, Adinda. Namun, ingatlah akan satu hal. Jangan pernah jauh dariku. Di mana pun aku berposisi esok dalam laga pertempuran, kamu harus ada di dekatku." Akhirnya Prabu Arya Pamenang luluh. Mengijinkan Sang Permaisuri ikut dalam pertempuran esok hari. Dewi Gauri berdiri dari simpuhnya. Mengerling manja ke arah Sang Prabu. Lantas menarik tangan Prabu Arya Pamenang, masuk ke dalam kamar. Mengajaknya untuk menyesap indahnya kasih sayang dalam paduan hubungan suami istri mereka. Dan semalaman itu berlalu begitu indah bagi Prabu Arya Pamenang dan Dewi Gauri. Hingga mereka tak mampu lagi mendengar isyarat alam. Tiga ekor burung gagak besar berwarna hitam yang sepanjang malam mengitari atap puri istana. Dan rentetan kejadian itu hanya disaksikan oleh Dewi Rukmini.Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh. Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan. "Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya. Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akh
Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka. Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan. Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri. "Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian meneman
Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri. "Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana
Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak
"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,
"Aku masih belum bisa menerima keputusan romomu, Kanda Dimas." Dewi Rukmini menerawangksn pandang jauh ke depan tanpa titik fokus. "Mengapa panjenengan tidak menyampaikannya pada romo?" tanya Dimas Bagus Penggalih. Matahari sore itu telah menyemburstkan wsrna merah oranye yang cukup terang. Sebuah paduan warna yang memberikan pertands alam, menurut para pinisepuh. Bahwa akan ada pagebluk. Wabah penyakit yang terjadi dalam waktu dekat. "Aku sudah menyampaikannya. Tapi memang tak ada jalan lain untuk menyembuhkan Gusti Romo kecuali sstu hal itu. Aku sudah menghubungi Ki Sradda dan menanyakannya. Dan memang harus seperti itu," ujar Dewi Rukmini. Pasetran yang ada di hadapan Dewi Rukmini dan Dimas Bagus Penggalih kini telah dingin. Tak lagi mengeluarkan asapnya yang wangi setelah 6 purnama berlalu. Enam purnama yang lalu, ketika kobaran api mengantarkan sukma Dewi Gauri menuju ke swargaloka. Dimas Bagus Penggalih tak tahu harus berkata apa. Tugasnya dalam pemerintahan hanyalah mena
Hari sakral itu telah tiba. Di bulan Kartika, saat bulan Sarat dalam kalender Saka menghadapi musim rontok. Saat di mana dedaunan mulai berjatuhan dan mengalirkan semilir angin yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Dewi Rukmini duduk di bagian samping pelaminan. Berjajar sedikit lebih tinggi dari para pejabat istana. Patih satu Diro Menggolo duduk di sampingnya. Terus membisikkan kalimat-kalimat penguat hati. Sementara kursi mendiang Patih dua Doso Singo, kini ditempati oleh Dimas Bagus Penggalih. Dan Patih tiga Wira Ageng kini duduk kembali di kursi yang pernah ditinggalkannya selama beberapa bulan. "Gusti Ratu harus ikhlas. Demi negri ini. Demi kedamaian rakyat," bisik Patih satu Diro Menggolo pada Sang Ratu. Dewi Rukmini mengangguk pelan. Karena mahkota emas itu masih terasa berat bertahta di kepalanya. Seulas senyum tipis dia sunggingkan di bibir indahnya.Pandangan Dewi Rukmini mengarah lurus ke depan. Di sisi seberangnya berjajar para petinggi Kerajaan Galuh. Prabu Su
"Apa yang panjenengan lakukan itu, Ibu Dewi Laraswati?" tanya Dewi Rukmini keheranan. Sepagi ini istri batu Prabu Arya Pamenang itu sudah sibuk di halaman depan puri istana. Memetik aneka bunga yang berjajar rapi di dekat tembok pagar istana. Dewi Laraswati sontak menoleh. Matanya tajam menatap manik mata Dewi Rukmini. Dari sorot matanya terlihat jelas bahwa dia tidaklah menyukai Dewi Rukmini. "Memangnya kenapa? Aku adalah istri dari Prabu Arya Pamenang. Raja di Kerajaan Sanggabumi ini. Aku berhak melakukan apapun." Dewii Laraswati berjalan mendekati Dewi Rukmini sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Dewi Rukmini menghela nafas panjang. "Alangkah lebih bijaknya jika ibu Dewi Laraswati menanyakan beberapa hal mengenai kebiasaan yang berlaku di istana ini. Karena banyak hal di sini merupakan kebiasaan yang ditinggalksn oleh ibu saya, mendiang ibunda Dewi Gauri." "O ya? Kebiasaan apa itu?" tanya Dewi Laraswati dengan senyum yang menyungging penuh kelicikan. "Salah satunya,