Share

Bab 4. Persiapan Pertempuran

Patih tiga Wira Ageng benar-benar melakukan ancamannya. Dia melakukan penyerangan berulang kali ke arah puri istana Kerajaan Sanggabumi. Yang berujung pada kegeraman dan tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah kerajaan terhadap warga desa Kampung Alit.

"Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah mengalah. Dan saatnya pemerintah menegakkan kewibawaannya," ujar Patih dua Doso Singo. Ini kali ketiga pemerintah melakukan pertemuan darurat untuk membahas masalah penyerangan warga desa Kampung Alit yng dipimpin oleh Patih tiga Wira Ageng.

Prabu Arya Pamenang tidak segera menjawab. Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk berpikir demi mendapatkan solusi yang terbaik. Pandangan matanya mengarah pada sebuah titik tak terfokus. Sebuah dilema baginya.

Penyerangan yang dilakukan warga desa Kampung Alit ini dinamakan dengan Pemberontakan Candra Ratri. Sang Prabu memberinya nama seperti tu karena penyerangan terhebat yang terjadi adalah saat tengah malam ketika bulan tengah purnama. Dan menyebabkan puluhan nyawa tercerabut dalam gelimangan darah.

"Bagaimana, Baginda Prabu? Waktu kita tidak banyak. Sekarang waktu telah hampir memasuki petang." Patih satu Diro Menggolo terlihat kurang sabar menghadapi sikap Prabu Arya Pamenang yang terlalu lama berpikir.

Prabu Arya Pamenang menatap ke arah dua patihnya tersebut. Dua orang kepercayaan yang telah terbukti loyalitas dan kepiawaiannya membantu Sang Prabu mengendalikan roda pemerintahan selama ini. Patutkah Sang Prabu menolak masukan dari kedua patihnya tersebut, yang kebetulan memiliki pendapat serujuk?

Pada akhirnya Sang Prabu mengangguk. Demi rasa hormatnya pada kedua patih tersebut. Yang sesungguhnya, jauh dalam hati kecilnya, dia menolak penyerangan balasan ke warga desa Kampung Alit. Tidak kuasa hatinya jika harus menghunus senjata ke arah warganya, meskipun mereka hendak membunuhnya sekalipun.

"Baiklah, Patih satu dan Patih dua. Saya menyetujui usulan kalian. Besok pagi buta, sebelum fajar menyingsing, kita bergerak maju menuju ke desa Kampung Alit. Besar harapan saya bahwa mereka tidak melakukan tindak perlawanan, agar tidak jatuh korban jiwa lebih banyak lagi." Suara Prabu Arya Pamenang terdengar parau. Dan ketika dia menyelesaikan ucapannya, terlihat jakunnya yang bergerak sangat pelan. Seperti ada yang menyekat kerongkongannya ketika dia hendak menelan ludah.

"Baik, Baginda Prabu. Kami akan perintahkan seluruh kepala prajurit untuk melakukan persiapan malam ini." Patih satu Diro Menggolo sigap berdiri dan berjalan keluar dari ruang Raja menuju ke balai prajurit. Diikuti oleh Patih dua Doso Singo, yang sebelumnya menghaturkan sembah baktinya pada Prabu Arya Pamenang.

Tinggal Prabu Arya Pamenang bertiga bersama pengawal pribadinya, Ki Cakra dan Ki Langgeng, dalam ruang Raja yang berukuran sangat luas itu. Prabu Arya Pamenang menghela nafas panjang. Berusaha melonggarkan sesak di dada. Pikirannya melayang ke peristiwa pemberontakan Candra Ratri yang terjadi dua malam yang lalu.

Sebuah sentuhan lembut di lengan kanan, membuat Prabu Arya Pamenang terperanjat. Dia menoleh cepat. Dan ternyata Dewi Gauri, Sang Permaisuri yang duduk di sampingnya.

"Apa yang tengah Kakanda pikirkan?" tanya Dewi Gauri dengan suara lembut. Wajah cantik dan sifat lemah lembutnya sering dianggap warga sebagai jelmaan Dewi Parwati. Dewi yang memiliki sifat keibuan, penuh cinta, dan mengalirkan kekuatan harmoni dalam kehidupan manusia.

Prabu Arya Pamenang menyunggingkan senyum terindahnya untuk Sang Istri tercinta. Digenggamnya tangan Dewi Gauri erat. Lantas diciuminya tangan halus berjemari lentik itu. Cinta Prabu Arya Pamenang pada Dewi Gauri tak dapat disangkal oleh semua orang. Telah menjadi pembicaraan di kalangan para raja di seluruh bumi Jawa Dwipa.

"Tak akan ada hal yang mampu membebani pikiranku kecuali rakyatku dan dirimu, Adinda," jawab Prabu Arya Pamenang sembari terus menciumi tangan Dewi Gauri.

Sang Permaisuri membalas kemesraan sikap suaminya itu dengan senyum manis yang tersungging di bibir indahnya. "Apakah penyerangan warga desa Kampung Alit yang mengganggu pikiran panjenengan, Kakanda?" tanya Dewi Gauri.

"Tentu saja, Dewiku. Apalagi yang sedang menjadi beban pikiranku kecuali hal itu untuk saat ini?" Prabu Arya Pamenang mengembuskan nafas kuat-kuat dan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Dewi Gauri.

Lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit bersih itu berjalan perlahan menuju ke jendela besar yang berada di sisi utara dinding ruang raja. Dia memperhatikan kesibukan para prajurit yang keluar masuk balai prajurit.

Matanya berkaca-kaca. Hal yang sangat tidak diinginkannya terjadi ketika tampuk tertinggi pemerintahan dikuasakan padanya. Adalah pertempuran yang terjadi antar anak negri. Perang saudara. Merupakan bukti kegagalan sebuah pemerintahan.

"Hal ini terpaksa terjadi, Adinda. Aku tidak mungkin menolak masukan dari Patih satu Diro Menggolo dan Patih dua Doso Singo. Aku harus memilih." Prabu Arya Pamenang membalikkan badan dan kembali berjalan menuju ke singgasananya. "Semua prajurit saat ini tengah mempersiapkan semuanya."

Dewi Gauri menatap lekat netra Prabu Arya Pamenang teoat di manik matanya. "Penyerangan balasan?" tanya Sang Permaisuri, memastikan pertanyaan yang menggemuruh dalam hatinya sejak tadi.

"Betul, istriku. Itu pilihan yang harus aku ambil. Pilihan terbaik di antara semua pilihan yang buruk." Prabu Arya Pamenang balas menatap pandangan istrinya.

"Kakanda, ijinkan saya untuk terlibat dalam pertempuran besok." Dewi Gauri menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, di hadapan Prabu Arya Pamenang. Sontak Sang Prabu membelalakkan mata.

"Aku tidak ijinkan, Adinda. Pertempuran kali ini berbeda. Tidak seperti pertempuran di hari-hari kemarin. Medan lawan belum kamu kuasai. Dan itu sangat membahayakan keselamatan dan keamananmu." Prabu Arya Pamenang turun dari singgasananya dan bersimpuh di hadapan Dewi Gauri.

Di balik kelembutannya, sesungguhnya Dewi Gauri adalah seorang wanita yang berwatak keras. Dia teguh memegang prinsip. Dan tidak menerima penolakan apapun atas segala hal yang telah menjadi tekad dan keinginannya.

"Panjenengan adalah sigaraning nyawa saya, Adinda. Jika terjadi apa-apa dengan dirimu, maka aku-lah yang akan paling menyesal. Hidupku tak akan ada artinya tanpa kehadiranmu di sisiku," ujar Prabu Arya Pamenang.

Dewi Gauri pun segera turun pula dari singgasana permaisurinya. Berjongkok dan membimbing Sang Prabu agar kembali duduk di singgasana. Tangannya menggenggam tangan Sang Prabu dan ditempelkannya ke pipi kiri. Air matanya menitik perlahan.

"Justru karena saya adalah sigaraning nyawa panjenengan, maka saya ingin ikut terus mendampingi dalam setiap kegiatan panjenengan. Saya mohon dengan sangat, Kakanda. Ijinkan saya mendampingi panjenengan untuk menghadapi pertempuran esok hari." Dewi Gauri terus memohon dengan sikap manjanya. Hingga mampu meluluhkan kekerasan hati Sang Prabu.

"Baiklah, Adinda. Namun, ingatlah akan satu hal. Jangan pernah jauh dariku. Di mana pun aku berposisi esok dalam laga pertempuran, kamu harus ada di dekatku." Akhirnya Prabu Arya Pamenang luluh. Mengijinkan Sang Permaisuri ikut dalam pertempuran esok hari.

Dewi Gauri berdiri dari simpuhnya. Mengerling manja ke arah Sang Prabu. Lantas menarik tangan Prabu Arya Pamenang, masuk ke dalam kamar. Mengajaknya untuk menyesap indahnya kasih sayang dalam paduan hubungan suami istri mereka.

Dan semalaman itu berlalu begitu indah bagi Prabu Arya Pamenang dan Dewi Gauri. Hingga mereka tak mampu lagi mendengar isyarat alam. Tiga ekor burung gagak besar berwarna hitam yang sepanjang malam mengitari atap puri istana. Dan rentetan kejadian itu hanya disaksikan oleh Dewi Rukmini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status