Beranda / Historical / Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi / Bab 5. Pemberontakan Candra Ratri

Share

Bab 5. Pemberontakan Candra Ratri

Penulis: Afifah Maulida
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-17 14:26:30

Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh.

Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan.

"Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya.

Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akhirnya dia berlari kembali mendampingi tuannya.

Patih dua Doso Singo yang melihat Sang Prabu terkapar, ikut membantu Dewi Gauri untuk mengangkat tubuh Prabu Arya Pamenang dan membantunya duduk di atas Turangga Cemeng. Dewi Gauri menyusul naik dan duduk di belakang Sang Prabu. Melindungi Sang Prabu.

Pethak Ageng, kuda tunggangan Dewi Gauri sudah mempersiapkan diri di belakang Turangga Cemeng untuk mengikuti langkahnya. Namun, takdir berkata lain. Tepat saat Turangga Cemeng hendak berlari, sebuah pedsng menyobek punggung Sang Permaisuri hingga darah menyembur tak terelakkan lagi.

"Munduuur ...!" Dengan suara lantang, Dewi Gauri memerintahkan semua pasukan untuk bergerak mundur. Tak dipedulikannya darah yang membanjir. Terus mengucur turun hingga menyentuh kulit tubuh bagian belakang kuda Turangga Cemeng.

Patih dua Doso Singo menatap keadaan Dewi Gauri dari arah belakang. Matanya berkabut. Ratu cantik, berwibawa, dan bijaksana itu tengah menahan luka yang pasti terasa sangat sakit. Wanita yang pernah dan selalu dicintainya dalam diam. Wanita yang mampu menimbulkan seribu decak kekaguman dalam hati.

Kuda Turangga Cemeng berlari sangat cepat. Membawa sepasang kekasih yang terluka di atas punggungnya. Menembus belantara, padang ialalang, dan sungai yang lebar dan deras airnya. Hingga terlewati sudah waktu satu hari perjalanan antara istana dengan Kampung Alit.

Pintu gerbang istana segera terbentang lebar ketika kuda Turangga Cemeng telah berada di halaman depan pintu gerbang istana. Para prajurit yang bertugas berjaga di istana segera bertindak cepat. Menurunkan beberapa prajurit yang terbunuh dan terluka dari atas beberapa ekor kuda.

Sementara Dewi Rukmini bergegas menolong ayah dan ibunya. Dibantu Patih dua Doso Singo dan Dimas Bagus Penggalih, putra dari Patih satu Diro Menggolo.

Ki Sradda, tabib kerajaan bergegas mengobati Prabu Arya Pamenang dan Dewi Gauri. Dibantu oleh Bejo dan Kalong yang masih terlihat kelelahan karena pertempuran tak berimbang yang harus mereka jalani.

"Bagaimana dengan ibuku, Ki Sradda?" tanya Dewi Rukmini dengan wajah pucat. Dia memegangi terus tumbukan dedaunan yang ditempelkan di punggung Dewi Gauri. Getah daun berbentuk jari itu diyakini Ki Sradda akan mampu menghentikan pendarahan dan mencegah infeksi.

Ki Sradda tidak segera menjawab pertanyaan Dewi Rukmini. Dia tengah sibuk menyuapkan ramuan dalam sebuah wadah batok kepada Prabu Arya Pamenang. Keadaan Sang Prabu sudah jauh membaik.

Setelah Ki Sradda selesai menangani Prabu Arya Pamenang, dia berpindah ke tempat tidur Sang Ratu. Duduk bersimpuh di tepi tempat tidur kayu berukir yang besar itu.

"Ma'afkan saya, Ndoro Putri. Ibunda Ratu sudah berpulang sejak beberapa detik yang lalu." Ki Sradda berucap lirih. Sangat lirih, bahkan hampir tak terdengar. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Tak mampu membalas tatapan Dewi Rukmini yang terlihat memohon.

Wanita cantik berkulit sawo matang muda itu tertegun. Mengalihkan pandangan matanya dari arah Ki Sradda ke tubuh Dewi Gauri yang tengah menelungkup. Tumbukan dedaunan yang menutupi luka menganga di punggung Sang Ibu, ditekannya lembut. Lantas dia balikkan tubuh Dewi Gauri hingga kini menjadi telentang.

Dewi Rukmini tersenyum. Dikecupnya kening Sang Ibu dengan penuh cinta kasih. "Berangkatlah, Ibu. Pintu swargaloka kini terbentang lebar menyambut kedatanganmu. Aroma wangi yang memancar dari hatimu, akan selalu menjadi penyelamat bagi seluruh warga Kerajaan Sanggabumi. Do'akan kami, Ibu." Air mata tanpa suara menitik perlahan jatuh di pipi halus Dewi Rukmini.

Lantas dia berdiri. Menghampiri Sang Ayah yang tengah berbincang dengan Patih satu Diro Menggolo di atas tempat tidurnya. Duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arya Pamenang dan menghaturkan sembah baktinya.

"Romo, saya menghadap. Ingin menghaturkan warta terindah buat kita semua." Parau suara Dewi Rukmini, tak mampu disembunyikannya.

"Ada apa, Cah Ayu? Katakan saja." Tangan kiri Prabu Arya Pamenang mengelus rambut anak gadisnya itu.

"Ibu telah sembuh, Romo. Tidak merasakan sakit lagi." Suara Dewi Rukmini terdengar makin parau.

"Astungkara. Lantas mengapa kamu menangis, Anakku?" tanya Prabu Arya Pamenang. Dia memegang dagu Dewi Rukmini. Mengangkatnya sedikit, hingga Sang Prabu melihat air mata Dewi Rukmini yang mengalir deras.

Prabu Arya Pamenang tersentak. Seketika lehernya seperti tercekat. Sontak dia berlari menuju ke tempat tidur Dewi Gauri.

Di atas pembaringannya, Sang Ratu terlihat seperti tengah tertidur pulas. Bibir indahnya tetap berwarna merah, tidak terlihat pucat atau kebiruan laiknya seseorang yang telah kehilangan nyawa.

Prabu Arya Pamenang tidak yakin bahwa garwa tunggalnya itu telah meninggal. Namun, ekspresi Ki Sradda, Bejo, dan Kalong telah cukup menjadi saksi, bahwa inilah kenyataan yang harus dihadapinya.

Teriakan Prabu Arya Pamenang melengking keras memanggil nama garwa tunggalnya itu. Mengheningkan suasana yang semula riuh dengan isak tangis dan erangan para prajurit dan keluarganya. Semua menundukkn kepala. Hening cipta untuk Sang Ratu, Permaisuri Kerajaan Sanggabumi, Dewi Gauri.

Sementara itu Dewi Rukmini telah kehilangan kesadarannya. Dia dibaringkan Patih satu Diro Menggolo dan putranya, Dimas Bagus Penggalih, di atas tempat tidur Sang Prabu. Keanggunan sebagai seorang dewi, putri kerajaan, dijaganya dengan sekuat hati.

Tidak boleh ada isak, tidak boleh ada rasa yang berlebihan. Segala rasa hati harus bisa dikendalikan sebaik mungkin. Amarah, sedih, kecewa, dan bahagia, haruslah dipendam rapat dalam dada. Itu yang selalu diajarkan Ibunda Ratu, Dewi Gauri kepada dirinya.

Namun, ternyata Dewi Rukmini tidaklah sekuat itu. Hatinya bisa menyimpan rapat, tapi tak sejalan dengan kemampuan fisiknya. Raganya tak sejalan, tak mampu menyembunyikan sedih hatinya.

Jauh di sudut pendopo, Patih dua Doso Singo duduk termangu mendengar berita itu. Cintanya telah pergi ke swargaloka. Dia merasa kehilangan seluruh hidupnya. Gejolak asmara yang dipendamnya selama 30 tahun, akhirnya benar-benar menemui ujungnya.

Keris yang terselip di pinggangnya, dicabutnya perlahan. Lantas Patih dua Doso Singo itu berdiri dan menghunuskan keris miliknya itu tepat di titik jantung. Darah menyembur. Mulutnya lirih menyebut nama Dewi Gauri, seiring dengan lepasnya sukma, menyusul kekasih hatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 80. Insiden Mulai Terjadi

    Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 79. Kegamangan Hati Sang Patih Muda

    "Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 78. Warna Hati Sang Ratu

    Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 77. Janur Kuning Belum Dilengkungkan

    "Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 76. Mimpi yang Hilang

    "Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Ban 75. Pertemuan

    Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 74. Jelaga Dalam Istana

    Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 73. Dendam Sang Pangeran

    Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 72. Hubungab Terlarang

    Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status