Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh.
Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan. "Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya. Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akhirnya dia berlari kembali mendampingi tuannya. Patih dua Doso Singo yang melihat Sang Prabu terkapar, ikut membantu Dewi Gauri untuk mengangkat tubuh Prabu Arya Pamenang dan membantunya duduk di atas Turangga Cemeng. Dewi Gauri menyusul naik dan duduk di belakang Sang Prabu. Melindungi Sang Prabu. Pethak Ageng, kuda tunggangan Dewi Gauri sudah mempersiapkan diri di belakang Turangga Cemeng untuk mengikuti langkahnya. Namun, takdir berkata lain. Tepat saat Turangga Cemeng hendak berlari, sebuah pedsng menyobek punggung Sang Permaisuri hingga darah menyembur tak terelakkan lagi. "Munduuur ...!" Dengan suara lantang, Dewi Gauri memerintahkan semua pasukan untuk bergerak mundur. Tak dipedulikannya darah yang membanjir. Terus mengucur turun hingga menyentuh kulit tubuh bagian belakang kuda Turangga Cemeng. Patih dua Doso Singo menatap keadaan Dewi Gauri dari arah belakang. Matanya berkabut. Ratu cantik, berwibawa, dan bijaksana itu tengah menahan luka yang pasti terasa sangat sakit. Wanita yang pernah dan selalu dicintainya dalam diam. Wanita yang mampu menimbulkan seribu decak kekaguman dalam hati. Kuda Turangga Cemeng berlari sangat cepat. Membawa sepasang kekasih yang terluka di atas punggungnya. Menembus belantara, padang ialalang, dan sungai yang lebar dan deras airnya. Hingga terlewati sudah waktu satu hari perjalanan antara istana dengan Kampung Alit. Pintu gerbang istana segera terbentang lebar ketika kuda Turangga Cemeng telah berada di halaman depan pintu gerbang istana. Para prajurit yang bertugas berjaga di istana segera bertindak cepat. Menurunkan beberapa prajurit yang terbunuh dan terluka dari atas beberapa ekor kuda. Sementara Dewi Rukmini bergegas menolong ayah dan ibunya. Dibantu Patih dua Doso Singo dan Dimas Bagus Penggalih, putra dari Patih satu Diro Menggolo. Ki Sradda, tabib kerajaan bergegas mengobati Prabu Arya Pamenang dan Dewi Gauri. Dibantu oleh Bejo dan Kalong yang masih terlihat kelelahan karena pertempuran tak berimbang yang harus mereka jalani. "Bagaimana dengan ibuku, Ki Sradda?" tanya Dewi Rukmini dengan wajah pucat. Dia memegangi terus tumbukan dedaunan yang ditempelkan di punggung Dewi Gauri. Getah daun berbentuk jari itu diyakini Ki Sradda akan mampu menghentikan pendarahan dan mencegah infeksi. Ki Sradda tidak segera menjawab pertanyaan Dewi Rukmini. Dia tengah sibuk menyuapkan ramuan dalam sebuah wadah batok kepada Prabu Arya Pamenang. Keadaan Sang Prabu sudah jauh membaik. Setelah Ki Sradda selesai menangani Prabu Arya Pamenang, dia berpindah ke tempat tidur Sang Ratu. Duduk bersimpuh di tepi tempat tidur kayu berukir yang besar itu. "Ma'afkan saya, Ndoro Putri. Ibunda Ratu sudah berpulang sejak beberapa detik yang lalu." Ki Sradda berucap lirih. Sangat lirih, bahkan hampir tak terdengar. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Tak mampu membalas tatapan Dewi Rukmini yang terlihat memohon. Wanita cantik berkulit sawo matang muda itu tertegun. Mengalihkan pandangan matanya dari arah Ki Sradda ke tubuh Dewi Gauri yang tengah menelungkup. Tumbukan dedaunan yang menutupi luka menganga di punggung Sang Ibu, ditekannya lembut. Lantas dia balikkan tubuh Dewi Gauri hingga kini menjadi telentang. Dewi Rukmini tersenyum. Dikecupnya kening Sang Ibu dengan penuh cinta kasih. "Berangkatlah, Ibu. Pintu swargaloka kini terbentang lebar menyambut kedatanganmu. Aroma wangi yang memancar dari hatimu, akan selalu menjadi penyelamat bagi seluruh warga Kerajaan Sanggabumi. Do'akan kami, Ibu." Air mata tanpa suara menitik perlahan jatuh di pipi halus Dewi Rukmini. Lantas dia berdiri. Menghampiri Sang Ayah yang tengah berbincang dengan Patih satu Diro Menggolo di atas tempat tidurnya. Duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arya Pamenang dan menghaturkan sembah baktinya. "Romo, saya menghadap. Ingin menghaturkan warta terindah buat kita semua." Parau suara Dewi Rukmini, tak mampu disembunyikannya. "Ada apa, Cah Ayu? Katakan saja." Tangan kiri Prabu Arya Pamenang mengelus rambut anak gadisnya itu. "Ibu telah sembuh, Romo. Tidak merasakan sakit lagi." Suara Dewi Rukmini terdengar makin parau. "Astungkara. Lantas mengapa kamu menangis, Anakku?" tanya Prabu Arya Pamenang. Dia memegang dagu Dewi Rukmini. Mengangkatnya sedikit, hingga Sang Prabu melihat air mata Dewi Rukmini yang mengalir deras. Prabu Arya Pamenang tersentak. Seketika lehernya seperti tercekat. Sontak dia berlari menuju ke tempat tidur Dewi Gauri. Di atas pembaringannya, Sang Ratu terlihat seperti tengah tertidur pulas. Bibir indahnya tetap berwarna merah, tidak terlihat pucat atau kebiruan laiknya seseorang yang telah kehilangan nyawa. Prabu Arya Pamenang tidak yakin bahwa garwa tunggalnya itu telah meninggal. Namun, ekspresi Ki Sradda, Bejo, dan Kalong telah cukup menjadi saksi, bahwa inilah kenyataan yang harus dihadapinya. Teriakan Prabu Arya Pamenang melengking keras memanggil nama garwa tunggalnya itu. Mengheningkan suasana yang semula riuh dengan isak tangis dan erangan para prajurit dan keluarganya. Semua menundukkn kepala. Hening cipta untuk Sang Ratu, Permaisuri Kerajaan Sanggabumi, Dewi Gauri. Sementara itu Dewi Rukmini telah kehilangan kesadarannya. Dia dibaringkan Patih satu Diro Menggolo dan putranya, Dimas Bagus Penggalih, di atas tempat tidur Sang Prabu. Keanggunan sebagai seorang dewi, putri kerajaan, dijaganya dengan sekuat hati. Tidak boleh ada isak, tidak boleh ada rasa yang berlebihan. Segala rasa hati harus bisa dikendalikan sebaik mungkin. Amarah, sedih, kecewa, dan bahagia, haruslah dipendam rapat dalam dada. Itu yang selalu diajarkan Ibunda Ratu, Dewi Gauri kepada dirinya. Namun, ternyata Dewi Rukmini tidaklah sekuat itu. Hatinya bisa menyimpan rapat, tapi tak sejalan dengan kemampuan fisiknya. Raganya tak sejalan, tak mampu menyembunyikan sedih hatinya. Jauh di sudut pendopo, Patih dua Doso Singo duduk termangu mendengar berita itu. Cintanya telah pergi ke swargaloka. Dia merasa kehilangan seluruh hidupnya. Gejolak asmara yang dipendamnya selama 30 tahun, akhirnya benar-benar menemui ujungnya. Keris yang terselip di pinggangnya, dicabutnya perlahan. Lantas Patih dua Doso Singo itu berdiri dan menghunuskan keris miliknya itu tepat di titik jantung. Darah menyembur. Mulutnya lirih menyebut nama Dewi Gauri, seiring dengan lepasnya sukma, menyusul kekasih hatinya.Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka. Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan. Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri. "Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian meneman
Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri. "Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana
Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak
"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,
"Aku masih belum bisa menerima keputusan romomu, Kanda Dimas." Dewi Rukmini menerawangksn pandang jauh ke depan tanpa titik fokus. "Mengapa panjenengan tidak menyampaikannya pada romo?" tanya Dimas Bagus Penggalih. Matahari sore itu telah menyemburstkan wsrna merah oranye yang cukup terang. Sebuah paduan warna yang memberikan pertands alam, menurut para pinisepuh. Bahwa akan ada pagebluk. Wabah penyakit yang terjadi dalam waktu dekat. "Aku sudah menyampaikannya. Tapi memang tak ada jalan lain untuk menyembuhkan Gusti Romo kecuali sstu hal itu. Aku sudah menghubungi Ki Sradda dan menanyakannya. Dan memang harus seperti itu," ujar Dewi Rukmini. Pasetran yang ada di hadapan Dewi Rukmini dan Dimas Bagus Penggalih kini telah dingin. Tak lagi mengeluarkan asapnya yang wangi setelah 6 purnama berlalu. Enam purnama yang lalu, ketika kobaran api mengantarkan sukma Dewi Gauri menuju ke swargaloka. Dimas Bagus Penggalih tak tahu harus berkata apa. Tugasnya dalam pemerintahan hanyalah mena
Hari sakral itu telah tiba. Di bulan Kartika, saat bulan Sarat dalam kalender Saka menghadapi musim rontok. Saat di mana dedaunan mulai berjatuhan dan mengalirkan semilir angin yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Dewi Rukmini duduk di bagian samping pelaminan. Berjajar sedikit lebih tinggi dari para pejabat istana. Patih satu Diro Menggolo duduk di sampingnya. Terus membisikkan kalimat-kalimat penguat hati. Sementara kursi mendiang Patih dua Doso Singo, kini ditempati oleh Dimas Bagus Penggalih. Dan Patih tiga Wira Ageng kini duduk kembali di kursi yang pernah ditinggalkannya selama beberapa bulan. "Gusti Ratu harus ikhlas. Demi negri ini. Demi kedamaian rakyat," bisik Patih satu Diro Menggolo pada Sang Ratu. Dewi Rukmini mengangguk pelan. Karena mahkota emas itu masih terasa berat bertahta di kepalanya. Seulas senyum tipis dia sunggingkan di bibir indahnya.Pandangan Dewi Rukmini mengarah lurus ke depan. Di sisi seberangnya berjajar para petinggi Kerajaan Galuh. Prabu Su
"Apa yang panjenengan lakukan itu, Ibu Dewi Laraswati?" tanya Dewi Rukmini keheranan. Sepagi ini istri batu Prabu Arya Pamenang itu sudah sibuk di halaman depan puri istana. Memetik aneka bunga yang berjajar rapi di dekat tembok pagar istana. Dewi Laraswati sontak menoleh. Matanya tajam menatap manik mata Dewi Rukmini. Dari sorot matanya terlihat jelas bahwa dia tidaklah menyukai Dewi Rukmini. "Memangnya kenapa? Aku adalah istri dari Prabu Arya Pamenang. Raja di Kerajaan Sanggabumi ini. Aku berhak melakukan apapun." Dewii Laraswati berjalan mendekati Dewi Rukmini sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Dewi Rukmini menghela nafas panjang. "Alangkah lebih bijaknya jika ibu Dewi Laraswati menanyakan beberapa hal mengenai kebiasaan yang berlaku di istana ini. Karena banyak hal di sini merupakan kebiasaan yang ditinggalksn oleh ibu saya, mendiang ibunda Dewi Gauri." "O ya? Kebiasaan apa itu?" tanya Dewi Laraswati dengan senyum yang menyungging penuh kelicikan. "Salah satunya,
Suara derap kaki beberapa ekor kuda mengagetkan Dewi Rukmini, Bik Nara, Patih satu Diro Menggolo, dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih, yang tengah berkumpul di halaman depan puri istana membicarakan masukan dari Dewi Laraswati. Mereka saling pandang. Salah satu prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang istana tergopoh-gopoh mendatangi Dewi Rukmini. "Hatur sembah dalem, Gusti Ratu. Ada rombongan dari Kerajaan Galuh. Mahapatih Wiro Sayogo dan Pangeran Rangga Aditya hendak sowan beserta para pengawalnya." Prajurit penjaga pintu gerbang itu menyampaikan apa yang ditemuinya pada Dewi Rukmini. "Hah?! Mereka sudah datang? Berarti ini semua sudah direncanakan oleh Patih tiga Wira Ageng dan pihak Kerajaan Galuh. Kita telah terjebak dalam konspirasi mereka, Paman Patih," ujar Dewi Rukmini dengan mimik penuh kekuatiran. "Dan sakitnya Romo, mereka jadikan sebagai kunci." Patih satu Diro Menggolo menarik nafas panjang. "Jadi harus bagaimana, Gusti Ratu? Kita terima atau kita tolak kedatan