Share

Bab 5. Pemberontakan Candra Ratri

Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh.

Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan.

"Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya.

Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akhirnya dia berlari kembali mendampingi tuannya.

Patih dua Doso Singo yang melihat Sang Prabu terkapar, ikut membantu Dewi Gauri untuk mengangkat tubuh Prabu Arya Pamenang dan membantunya duduk di atas Turangga Cemeng. Dewi Gauri menyusul naik dan duduk di belakang Sang Prabu. Melindungi Sang Prabu.

Pethak Ageng, kuda tunggangan Dewi Gauri sudah mempersiapkan diri di belakang Turangga Cemeng untuk mengikuti langkahnya. Namun, takdir berkata lain. Tepat saat Turangga Cemeng hendak berlari, sebuah pedsng menyobek punggung Sang Permaisuri hingga darah menyembur tak terelakkan lagi.

"Munduuur ...!" Dengan suara lantang, Dewi Gauri memerintahkan semua pasukan untuk bergerak mundur. Tak dipedulikannya darah yang membanjir. Terus mengucur turun hingga menyentuh kulit tubuh bagian belakang kuda Turangga Cemeng.

Patih dua Doso Singo menatap keadaan Dewi Gauri dari arah belakang. Matanya berkabut. Ratu cantik, berwibawa, dan bijaksana itu tengah menahan luka yang pasti terasa sangat sakit. Wanita yang pernah dan selalu dicintainya dalam diam. Wanita yang mampu menimbulkan seribu decak kekaguman dalam hati.

Kuda Turangga Cemeng berlari sangat cepat. Membawa sepasang kekasih yang terluka di atas punggungnya. Menembus belantara, padang ialalang, dan sungai yang lebar dan deras airnya. Hingga terlewati sudah waktu satu hari perjalanan antara istana dengan Kampung Alit.

Pintu gerbang istana segera terbentang lebar ketika kuda Turangga Cemeng telah berada di halaman depan pintu gerbang istana. Para prajurit yang bertugas berjaga di istana segera bertindak cepat. Menurunkan beberapa prajurit yang terbunuh dan terluka dari atas beberapa ekor kuda.

Sementara Dewi Rukmini bergegas menolong ayah dan ibunya. Dibantu Patih dua Doso Singo dan Dimas Bagus Penggalih, putra dari Patih satu Diro Menggolo.

Ki Sradda, tabib kerajaan bergegas mengobati Prabu Arya Pamenang dan Dewi Gauri. Dibantu oleh Bejo dan Kalong yang masih terlihat kelelahan karena pertempuran tak berimbang yang harus mereka jalani.

"Bagaimana dengan ibuku, Ki Sradda?" tanya Dewi Rukmini dengan wajah pucat. Dia memegangi terus tumbukan dedaunan yang ditempelkan di punggung Dewi Gauri. Getah daun berbentuk jari itu diyakini Ki Sradda akan mampu menghentikan pendarahan dan mencegah infeksi.

Ki Sradda tidak segera menjawab pertanyaan Dewi Rukmini. Dia tengah sibuk menyuapkan ramuan dalam sebuah wadah batok kepada Prabu Arya Pamenang. Keadaan Sang Prabu sudah jauh membaik.

Setelah Ki Sradda selesai menangani Prabu Arya Pamenang, dia berpindah ke tempat tidur Sang Ratu. Duduk bersimpuh di tepi tempat tidur kayu berukir yang besar itu.

"Ma'afkan saya, Ndoro Putri. Ibunda Ratu sudah berpulang sejak beberapa detik yang lalu." Ki Sradda berucap lirih. Sangat lirih, bahkan hampir tak terdengar. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Tak mampu membalas tatapan Dewi Rukmini yang terlihat memohon.

Wanita cantik berkulit sawo matang muda itu tertegun. Mengalihkan pandangan matanya dari arah Ki Sradda ke tubuh Dewi Gauri yang tengah menelungkup. Tumbukan dedaunan yang menutupi luka menganga di punggung Sang Ibu, ditekannya lembut. Lantas dia balikkan tubuh Dewi Gauri hingga kini menjadi telentang.

Dewi Rukmini tersenyum. Dikecupnya kening Sang Ibu dengan penuh cinta kasih. "Berangkatlah, Ibu. Pintu swargaloka kini terbentang lebar menyambut kedatanganmu. Aroma wangi yang memancar dari hatimu, akan selalu menjadi penyelamat bagi seluruh warga Kerajaan Sanggabumi. Do'akan kami, Ibu." Air mata tanpa suara menitik perlahan jatuh di pipi halus Dewi Rukmini.

Lantas dia berdiri. Menghampiri Sang Ayah yang tengah berbincang dengan Patih satu Diro Menggolo di atas tempat tidurnya. Duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arya Pamenang dan menghaturkan sembah baktinya.

"Romo, saya menghadap. Ingin menghaturkan warta terindah buat kita semua." Parau suara Dewi Rukmini, tak mampu disembunyikannya.

"Ada apa, Cah Ayu? Katakan saja." Tangan kiri Prabu Arya Pamenang mengelus rambut anak gadisnya itu.

"Ibu telah sembuh, Romo. Tidak merasakan sakit lagi." Suara Dewi Rukmini terdengar makin parau.

"Astungkara. Lantas mengapa kamu menangis, Anakku?" tanya Prabu Arya Pamenang. Dia memegang dagu Dewi Rukmini. Mengangkatnya sedikit, hingga Sang Prabu melihat air mata Dewi Rukmini yang mengalir deras.

Prabu Arya Pamenang tersentak. Seketika lehernya seperti tercekat. Sontak dia berlari menuju ke tempat tidur Dewi Gauri.

Di atas pembaringannya, Sang Ratu terlihat seperti tengah tertidur pulas. Bibir indahnya tetap berwarna merah, tidak terlihat pucat atau kebiruan laiknya seseorang yang telah kehilangan nyawa.

Prabu Arya Pamenang tidak yakin bahwa garwa tunggalnya itu telah meninggal. Namun, ekspresi Ki Sradda, Bejo, dan Kalong telah cukup menjadi saksi, bahwa inilah kenyataan yang harus dihadapinya.

Teriakan Prabu Arya Pamenang melengking keras memanggil nama garwa tunggalnya itu. Mengheningkan suasana yang semula riuh dengan isak tangis dan erangan para prajurit dan keluarganya. Semua menundukkn kepala. Hening cipta untuk Sang Ratu, Permaisuri Kerajaan Sanggabumi, Dewi Gauri.

Sementara itu Dewi Rukmini telah kehilangan kesadarannya. Dia dibaringkan Patih satu Diro Menggolo dan putranya, Dimas Bagus Penggalih, di atas tempat tidur Sang Prabu. Keanggunan sebagai seorang dewi, putri kerajaan, dijaganya dengan sekuat hati.

Tidak boleh ada isak, tidak boleh ada rasa yang berlebihan. Segala rasa hati harus bisa dikendalikan sebaik mungkin. Amarah, sedih, kecewa, dan bahagia, haruslah dipendam rapat dalam dada. Itu yang selalu diajarkan Ibunda Ratu, Dewi Gauri kepada dirinya.

Namun, ternyata Dewi Rukmini tidaklah sekuat itu. Hatinya bisa menyimpan rapat, tapi tak sejalan dengan kemampuan fisiknya. Raganya tak sejalan, tak mampu menyembunyikan sedih hatinya.

Jauh di sudut pendopo, Patih dua Doso Singo duduk termangu mendengar berita itu. Cintanya telah pergi ke swargaloka. Dia merasa kehilangan seluruh hidupnya. Gejolak asmara yang dipendamnya selama 30 tahun, akhirnya benar-benar menemui ujungnya.

Keris yang terselip di pinggangnya, dicabutnya perlahan. Lantas Patih dua Doso Singo itu berdiri dan menghunuskan keris miliknya itu tepat di titik jantung. Darah menyembur. Mulutnya lirih menyebut nama Dewi Gauri, seiring dengan lepasnya sukma, menyusul kekasih hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status