Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka.
Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan. Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri. "Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian menemani jasad Dewi Gauri, mulai menyerang Dewi Rukmini. Putri Kedaton pewaris tunggal tahta Kerajaan Sanggabumi."Gusti Putri, mari kita kembali ke keputren dulu. Gusti Putri harus istirahat. Ibunda Ratu tentu akan sangat sedih jika Gusti Putri sampai sakit," ujar Bik Nara yang duduk bersimpuh di samping Dewi Rukmini."Baiklah, Bik. Saya akan beristirahat sebentar. Sekalian menjenguk Romo di puri istana. Kasihan Romo." Dewi Rukmini menatap sebuah batu candi besar yang tadi pagi diduduki oleh Prabu Arya Pamenang.Hanya sampai matahari sepenggalah, Prabu Arya Pamenang sanggup duduk di atas batu besar yang berada di depan pintu bangunan pasetran. Bangunan berbentuk segi empat yang digunakan untuk tempat membakar jasad Dewi Gauri. Kesadaran Sang Prabu seringkali hilang setiap kali menyadari sigaraning nyawanya telah pergi ke swargaloka.Perlahan Dewi Rukmini berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke keputren. Tangan Bik Nara menggamit lengan ndoro putrinya itu. Karena langkah Dewi Rukmini terlihat sangat lunglai dan sedikit sempoyongan."Nyuwun pangapunten, Gusti Putri. Hatur sembah dalem. Saya mohon ma'af datang menghadap di tengah jalan seperti ini tanpa menunggu Gusti Putri sampai di keputren." Patih satu Diro Menggolo terlihat tergopoh-gopoh menghampiri Putri Kedaton Kerajaan Sanggabumi itu."Tidak apa-apa, Paman Patih. Hal penting apakah kiranya yang ingin panjenengan sampaikan?" tanya Dewi Rukmini. Tuturnya begitu halus seperti semilir angin petang kala itu.Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Terdiam sejenak sambil menundukkan kepala dalam-dalam."Gusti Prabu, Kanjeng Putri. Beliau tidak berhenti berteriak sejak tadi pagi, sepulang dari pasetran ini. Kadang beliau marah-marah, tapi tak lama kemudian beliau tertawa terbahak-bahak. Berselang waktu tak lama, Gusti Prabu menangis terisak-isak. Saya bingung bagaimana menghadapi keadaan Sang Prabu yang seperti ini, Gusti Putri." Patih satu Diro Menggolo kembali menarik nafas panjang.Sinar matahari mulai meredup. Keadaan di sekitar pasetran mulai gelap. Dewi Rukmini menoleh ke belakang, ke arah asap pembakaran jenazah yang keluar dari pasetran. Menipis. Namun, semerbak wangi bunga melati makin bertambah kuat."Ibu, bantu aku untuk menyembuhkan Romo," desis Dewi Rukmini pelan. Lantas dia menoleh ke arah Patih satu Diro Menggolo. "Tolong temani saya, Paman Patih. Untuk menjenguk Romo.""Tentu, Gusti Putri. Saya akan temani," ujar Patih satu Diro Menggolo.Bertiga mereka berjalan bergegas menuju puri istana. Sebuah bangunan berbentuk limasan dengan pendopo besar di depan bangunan utama istana. Burung-burung kecil ramai mencericit bertengger di atas atap puri istana. Seakan mengajak seluruh satwa untuk kembali ke sarangnya.Dari pendopo, Dewi Rukmini lamat-lamat mendengar suara ayahnya, Prabu Arya Pamenang tengah tertawa terbahak-bahak. Sambil mengatakan hal-hal indah tentang Dewi Gauri."Ah, Dinda nampak lucu mengenakan pakaian saya. Terlalu besar. Terlihat seperti karung gabah. Ha ... ha ... ha ...!" Suara tawa Sang Prabu terdengar semaikin lama semakin keras. Karena jarak langkah Dewi Rukmini pun semakin dekat.Tiba di depan kamar Prabu Arya Pamenang, Dewi Rukmini berhenti. Tidak segera masuk. Namun, sejenak menghaturkan do'a pada Sang Hyang Widhi, agar dia mampu menguatkan hati saat menghadap Sang Prabu."Romo ..." panggil Dewi Rukmini lirih pada Sang Ayah yang masih tertawa terbahak-bahak itu. "Saya datang menghadap, Romo."Prabu Arya Pamenang menoleh ke arah Dewi Rukmini. Tawanya seketika berhenti. Menatap Dewi Rukmini dengan tajam.Di luar dugaan semua yang ada di ruangan itu, Prabu Arya Pamenang menarik rambut Dewi Rukmini yang sebelumnya digelung indah. Seketika rambut panjangnya terurai lepas. Sang Prabu menarik rambut Dewi Rukmini keras-keras dan menggoyangkannya ke sana ke mari."Kamu yang telah membunuh istriku! Kamu yang membuat saya kehilangan dia selamanya?" Prabu Arya Pamenang berteriak keras."Aduh ...! Romo ...! Sakit ...," rintih Dewi Rukmini sembari memegang pangkal rambutnya.Bik Nara panik. Dia membantu Dewi Rukmini melepaskan cengkeraman tangan Prabu Arya Pamenang di rambut Sekar Kedaton itu. Tapi tenaga Sang Prabu terlalu kuat.Sementara itu Patih satu Diro Menggolo kebingungan harus melakukan hal apa. Selama ini dia tidak pernah menyentuh Prabu Arya Pamenang untuk tindakan kasar."Paman Patih, tolonglah! Tenaga Gusti Prabu terlampau kuat. Lihat mata Gusti Putri sampai memerah menahan sakit," mohon Bik Nara seraya berusaha untuk terus melepaskan cengkeraman tangan Sang Prabu di rambut Dewi Rukmini.Tidak ada waktu lagi untuk berpikir panjang. Patih satu Diro Menggolo yang berbadan lebih besar dan lebih kuat dari Sang Prabu, nekad menarik tubuh Prabu Arya Pamenang dari arah belakang. Dan upayanya itu berhasil. Meskipun akhirnya mereka berdua jatuh terguling ke belakang."Gusti Putri, ayo, kita keluar dari sini. Gusti Prabu sedang mengalami kebingungan. Nanti Gusti Putri yang celaka jika tetap bertahan di sini," ujar Bik Nara seraya menarik tangan Dewi Rukmini.Dewi Rukmini menggeleng keras. "Romo sedang sakit, Bik Nara. Saya tidak boleh meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Romo membutuhkan seseorang untuk menjaganya. Dan itu adalah saya. Saat ini saya yang dibutuhkannya, Bik." Derai air mata mengiringi ucapan Dewi Rukmini.Dewi Rukmini tetap bertahan duduk bersimpuh di lantai di samping pintu kamar Prabu Arya Pamenang. Kamar Sang Ayah, yang kini tengah sakit. Sakit batin karena guncangan jiwa akibat kepergian Dewi Gauri.Pada akhirnya Patih satu Diro Menggolo harus melumpuhkan Prabu Arya Pamenang. Dia mengetok leher belakang Sang Prabu, tepat di titik syaraf utama pengendali anggota gerak tubuhnya.Seketika tubuh Prabu Arya Pamenang melemah. Terkulai tanpa perlawanan. Dan dibantu oleh Dewi Rukmini dan Bik Nara, Patih satu Diro Menggolo mengangkat tubuh Prabu Arya Pamenang di atas tempat tidurnya.Mata Prabu Arya Pamenang mengerjap-ngerjap tak berhenti. Bola matanya berputar-putar tanpa kendali.Air mata Dewi Rukmini menitik."Duh, Romo, bisakah panjenengan sembuh?"*****Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri. "Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana
Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak
"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,
"Aku masih belum bisa menerima keputusan romomu, Kanda Dimas." Dewi Rukmini menerawangksn pandang jauh ke depan tanpa titik fokus. "Mengapa panjenengan tidak menyampaikannya pada romo?" tanya Dimas Bagus Penggalih. Matahari sore itu telah menyemburstkan wsrna merah oranye yang cukup terang. Sebuah paduan warna yang memberikan pertands alam, menurut para pinisepuh. Bahwa akan ada pagebluk. Wabah penyakit yang terjadi dalam waktu dekat. "Aku sudah menyampaikannya. Tapi memang tak ada jalan lain untuk menyembuhkan Gusti Romo kecuali sstu hal itu. Aku sudah menghubungi Ki Sradda dan menanyakannya. Dan memang harus seperti itu," ujar Dewi Rukmini. Pasetran yang ada di hadapan Dewi Rukmini dan Dimas Bagus Penggalih kini telah dingin. Tak lagi mengeluarkan asapnya yang wangi setelah 6 purnama berlalu. Enam purnama yang lalu, ketika kobaran api mengantarkan sukma Dewi Gauri menuju ke swargaloka. Dimas Bagus Penggalih tak tahu harus berkata apa. Tugasnya dalam pemerintahan hanyalah mena
Hari sakral itu telah tiba. Di bulan Kartika, saat bulan Sarat dalam kalender Saka menghadapi musim rontok. Saat di mana dedaunan mulai berjatuhan dan mengalirkan semilir angin yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Dewi Rukmini duduk di bagian samping pelaminan. Berjajar sedikit lebih tinggi dari para pejabat istana. Patih satu Diro Menggolo duduk di sampingnya. Terus membisikkan kalimat-kalimat penguat hati. Sementara kursi mendiang Patih dua Doso Singo, kini ditempati oleh Dimas Bagus Penggalih. Dan Patih tiga Wira Ageng kini duduk kembali di kursi yang pernah ditinggalkannya selama beberapa bulan. "Gusti Ratu harus ikhlas. Demi negri ini. Demi kedamaian rakyat," bisik Patih satu Diro Menggolo pada Sang Ratu. Dewi Rukmini mengangguk pelan. Karena mahkota emas itu masih terasa berat bertahta di kepalanya. Seulas senyum tipis dia sunggingkan di bibir indahnya.Pandangan Dewi Rukmini mengarah lurus ke depan. Di sisi seberangnya berjajar para petinggi Kerajaan Galuh. Prabu Su
"Apa yang panjenengan lakukan itu, Ibu Dewi Laraswati?" tanya Dewi Rukmini keheranan. Sepagi ini istri batu Prabu Arya Pamenang itu sudah sibuk di halaman depan puri istana. Memetik aneka bunga yang berjajar rapi di dekat tembok pagar istana. Dewi Laraswati sontak menoleh. Matanya tajam menatap manik mata Dewi Rukmini. Dari sorot matanya terlihat jelas bahwa dia tidaklah menyukai Dewi Rukmini. "Memangnya kenapa? Aku adalah istri dari Prabu Arya Pamenang. Raja di Kerajaan Sanggabumi ini. Aku berhak melakukan apapun." Dewii Laraswati berjalan mendekati Dewi Rukmini sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Dewi Rukmini menghela nafas panjang. "Alangkah lebih bijaknya jika ibu Dewi Laraswati menanyakan beberapa hal mengenai kebiasaan yang berlaku di istana ini. Karena banyak hal di sini merupakan kebiasaan yang ditinggalksn oleh ibu saya, mendiang ibunda Dewi Gauri." "O ya? Kebiasaan apa itu?" tanya Dewi Laraswati dengan senyum yang menyungging penuh kelicikan. "Salah satunya,
Suara derap kaki beberapa ekor kuda mengagetkan Dewi Rukmini, Bik Nara, Patih satu Diro Menggolo, dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih, yang tengah berkumpul di halaman depan puri istana membicarakan masukan dari Dewi Laraswati. Mereka saling pandang. Salah satu prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang istana tergopoh-gopoh mendatangi Dewi Rukmini. "Hatur sembah dalem, Gusti Ratu. Ada rombongan dari Kerajaan Galuh. Mahapatih Wiro Sayogo dan Pangeran Rangga Aditya hendak sowan beserta para pengawalnya." Prajurit penjaga pintu gerbang itu menyampaikan apa yang ditemuinya pada Dewi Rukmini. "Hah?! Mereka sudah datang? Berarti ini semua sudah direncanakan oleh Patih tiga Wira Ageng dan pihak Kerajaan Galuh. Kita telah terjebak dalam konspirasi mereka, Paman Patih," ujar Dewi Rukmini dengan mimik penuh kekuatiran. "Dan sakitnya Romo, mereka jadikan sebagai kunci." Patih satu Diro Menggolo menarik nafas panjang. "Jadi harus bagaimana, Gusti Ratu? Kita terima atau kita tolak kedatan
Tiga purnama terlampui. Masa hemanta telah beralih menuju masa sisiria, di mana kabut mulai menebal saat dini hari menjemput waktu. Selalu ada yang berganti ketika dunia memutar masanya. Dan sore itu Dewi Rukmini tengah berlatih beladiri di bawah asuhan Bejo dan Kalong. Mereka berdua bergantian mengajarkan ilmu kanuragan pada Sang Ratu. Memang ilmu kanuragan mereka berdua masih sangat jauh di bawah mendiang Ki Tunggul. Namun, tetap saja mereka masing-masing memiliki keahlian spesifik yang mampu menjadi pengapesan buat lawannya. "Saya lihat kemajuan beladiri panjenengan semakin hari semakin bertambah matang, Gusti Ratu," ujar Patih dua Dimas Bagus Penggalih kala itu. Sejatinya dia menghampiri Dewi Rukmini untuk menyampaikan laporan mengenai perkembangan Pangeran Rangga Aditya selama sepekan ini. Tapi niat itu ditundanya dulu karena dia lebih tertarik memperhatikan kegiatan latihan beladiri Sang Ratu. "Maukah panjenengan menjadi lawan latih saya, Kangmas Patih?" tanya Dewi Rukmini s