Share

Bab 6. Melepas Kepergian Ibunda Ratu

Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka.

Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan.

Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri.

"Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.

Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian menemani jasad Dewi Gauri, mulai menyerang Dewi Rukmini. Putri Kedaton pewaris tunggal tahta Kerajaan Sanggabumi.

"Gusti Putri, mari kita kembali ke keputren dulu. Gusti Putri harus istirahat. Ibunda Ratu tentu akan sangat sedih jika Gusti Putri sampai sakit," ujar Bik Nara yang duduk bersimpuh di samping Dewi Rukmini.

"Baiklah, Bik. Saya akan beristirahat sebentar. Sekalian menjenguk Romo di puri istana. Kasihan Romo." Dewi Rukmini menatap sebuah batu candi besar yang tadi pagi diduduki oleh Prabu Arya Pamenang.

Hanya sampai matahari sepenggalah, Prabu Arya Pamenang sanggup duduk di atas batu besar yang berada di depan pintu bangunan pasetran. Bangunan berbentuk segi empat yang digunakan untuk tempat membakar jasad Dewi Gauri. Kesadaran Sang Prabu seringkali hilang setiap kali menyadari sigaraning nyawanya telah pergi ke swargaloka.

Perlahan Dewi Rukmini berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke keputren. Tangan Bik Nara menggamit lengan ndoro putrinya itu. Karena langkah Dewi Rukmini terlihat sangat lunglai dan sedikit sempoyongan.

"Nyuwun pangapunten, Gusti Putri. Hatur sembah dalem. Saya mohon ma'af datang menghadap di tengah jalan seperti ini tanpa menunggu Gusti Putri sampai di keputren." Patih satu Diro Menggolo terlihat tergopoh-gopoh menghampiri Putri Kedaton Kerajaan Sanggabumi itu.

"Tidak apa-apa, Paman Patih. Hal penting apakah kiranya yang ingin panjenengan sampaikan?" tanya Dewi Rukmini. Tuturnya begitu halus seperti semilir angin petang kala itu.

Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Terdiam sejenak sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

"Gusti Prabu, Kanjeng Putri. Beliau tidak berhenti berteriak sejak tadi pagi, sepulang dari pasetran ini. Kadang beliau marah-marah, tapi tak lama kemudian beliau tertawa terbahak-bahak. Berselang waktu tak lama, Gusti Prabu menangis terisak-isak. Saya bingung bagaimana menghadapi keadaan Sang Prabu yang seperti ini, Gusti Putri." Patih satu Diro Menggolo kembali menarik nafas panjang.

Sinar matahari mulai meredup. Keadaan di sekitar pasetran mulai gelap. Dewi Rukmini menoleh ke belakang, ke arah asap pembakaran jenazah yang keluar dari pasetran. Menipis. Namun, semerbak wangi bunga melati makin bertambah kuat.

"Ibu, bantu aku untuk menyembuhkan Romo," desis Dewi Rukmini pelan. Lantas dia menoleh ke arah Patih satu Diro Menggolo. "Tolong temani saya, Paman Patih. Untuk menjenguk Romo."

"Tentu, Gusti Putri. Saya akan temani," ujar Patih satu Diro Menggolo.

Bertiga mereka berjalan bergegas menuju puri istana. Sebuah bangunan berbentuk limasan dengan pendopo besar di depan bangunan utama istana. Burung-burung kecil ramai mencericit bertengger di atas atap puri istana. Seakan mengajak seluruh satwa untuk kembali ke sarangnya.

Dari pendopo, Dewi Rukmini lamat-lamat mendengar suara ayahnya, Prabu Arya Pamenang tengah tertawa terbahak-bahak. Sambil mengatakan hal-hal indah tentang Dewi Gauri.

"Ah, Dinda nampak lucu mengenakan pakaian saya. Terlalu besar. Terlihat seperti karung gabah. Ha ... ha ... ha ...!" Suara tawa Sang Prabu terdengar semaikin lama semakin keras. Karena jarak langkah Dewi Rukmini pun semakin dekat.

Tiba di depan kamar Prabu Arya Pamenang, Dewi Rukmini berhenti. Tidak segera masuk. Namun, sejenak menghaturkan do'a pada Sang Hyang Widhi, agar dia mampu menguatkan hati saat menghadap Sang Prabu.

"Romo ..." panggil Dewi Rukmini lirih pada Sang Ayah yang masih tertawa terbahak-bahak itu. "Saya datang menghadap, Romo."

Prabu Arya Pamenang menoleh ke arah Dewi Rukmini. Tawanya seketika berhenti. Menatap Dewi Rukmini dengan tajam.

Di luar dugaan semua yang ada di ruangan itu, Prabu Arya Pamenang menarik rambut Dewi Rukmini yang sebelumnya digelung indah. Seketika rambut panjangnya terurai lepas. Sang Prabu menarik rambut Dewi Rukmini keras-keras dan menggoyangkannya ke sana ke mari.

"Kamu yang telah membunuh istriku! Kamu yang membuat saya kehilangan dia selamanya?" Prabu Arya Pamenang berteriak keras.

"Aduh ...! Romo ...! Sakit ...," rintih Dewi Rukmini sembari memegang pangkal rambutnya.

Bik Nara panik. Dia membantu Dewi Rukmini melepaskan cengkeraman tangan Prabu Arya Pamenang di rambut Sekar Kedaton itu. Tapi tenaga Sang Prabu terlalu kuat.

Sementara itu Patih satu Diro Menggolo kebingungan harus melakukan hal apa. Selama ini dia tidak pernah menyentuh Prabu Arya Pamenang untuk tindakan kasar.

"Paman Patih, tolonglah! Tenaga Gusti Prabu terlampau kuat. Lihat mata Gusti Putri sampai memerah menahan sakit," mohon Bik Nara seraya berusaha untuk terus melepaskan cengkeraman tangan Sang Prabu di rambut Dewi Rukmini.

Tidak ada waktu lagi untuk berpikir panjang. Patih satu Diro Menggolo yang berbadan lebih besar dan lebih kuat dari Sang Prabu, nekad menarik tubuh Prabu Arya Pamenang dari arah belakang. Dan upayanya itu berhasil. Meskipun akhirnya mereka berdua jatuh terguling ke belakang.

"Gusti Putri, ayo, kita keluar dari sini. Gusti Prabu sedang mengalami kebingungan. Nanti Gusti Putri yang celaka jika tetap bertahan di sini," ujar Bik Nara seraya menarik tangan Dewi Rukmini.

Dewi Rukmini menggeleng keras. "Romo sedang sakit, Bik Nara. Saya tidak boleh meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Romo membutuhkan seseorang untuk menjaganya. Dan itu adalah saya. Saat ini saya yang dibutuhkannya, Bik." Derai air mata mengiringi ucapan Dewi Rukmini.

Dewi Rukmini tetap bertahan duduk bersimpuh di lantai di samping pintu kamar Prabu Arya Pamenang. Kamar Sang Ayah, yang kini tengah sakit. Sakit batin karena guncangan jiwa akibat kepergian Dewi Gauri.

Pada akhirnya Patih satu Diro Menggolo harus melumpuhkan Prabu Arya Pamenang. Dia mengetok leher belakang Sang Prabu, tepat di titik syaraf utama pengendali anggota gerak tubuhnya.

Seketika tubuh Prabu Arya Pamenang melemah. Terkulai tanpa perlawanan. Dan dibantu oleh Dewi Rukmini dan Bik Nara, Patih satu Diro Menggolo mengangkat tubuh Prabu Arya Pamenang di atas tempat tidurnya.

Mata Prabu Arya Pamenang mengerjap-ngerjap tak berhenti. Bola matanya berputar-putar tanpa kendali.

Air mata Dewi Rukmini menitik.

"Duh, Romo, bisakah panjenengan sembuh?"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status