Negeri Shu dulunya adalah sebuah negeri subur yang dipenuhi oleh padang hijau dan sungai yang berkilauan. Namun, semuanya berubah ketika Raja Shu, seorang Immortal Iblis, mengambil alih takhta dengan kekuatan kegelapannya. Dengan bantuan kultivator iblis, ia menguasai negeri itu dan mengubahnya menjadi tanah tandus yang diliputi hawa iblis. Para kultivator iblis yang menjadi pelindung Raja Shu dikenal dengan kemampuan mereka untuk menggabungkan roh manusia dan iblis, menciptakan energi Qi hitam yang begitu kuat hingga dapat menghancurkan siapa saja yang berani menentang mereka.Kekuatan utama Raja Shu adalah Mustika Iblis Suci, sebuah artefak kuno yang menjadi inti dari teknik kultivasi kegelapan. Mustika ini menyerap energi dari penderitaan dan kematian, menjadikannya sumber Qi murni yang tiada tanding. Namun, kekuatan Mustika Iblis Suci tidak hanya menjadi pelindungnya, melainkan juga kunci yang menjaga keseimbangan negeri Shu. Tanpa mustika itu, seluruh energi kegelapan yang menopa
Hancurnya Mustika Iblis Suci menciptakan ledakan energi yang mengguncang Lembah Jiwa Hitam, memaksa semua yang hadir mundur. Kui Long, berdiri di tengah kehancuran, merasakan beban berat yang hilang namun tergantikan oleh hawa dingin yang menusuk. Dia menatap Putri Shu, yang tubuhnya mulai berubah.Kulit yang sebelumnya bercahaya kini perlahan memutih, seperti marmer yang kehilangan kehidupannya. Rambut hitam panjangnya memutih sepenuhnya, berkilauan di bawah sinar bulan. Namun, yang paling mencolok adalah perubahan pada wajahnya—tetap muda tetapi kini pucat, seperti mayat hidup. Matanya yang dulu penuh kasih berubah menjadi dingin dan dipenuhi kebencian.Putri Shu memandang dirinya dengan tatapan kosong, lalu menatap Kui Long dengan kebencian yang membakar dadanya."Kau... menghancurkanku," suaranya kini dingin, tanpa emosi yang pernah ia miliki. "Aku memberimu hatiku, dan ini balasanmu? Kau adalah monster yang lebih buruk dari ayahku!"Kui Long mencoba mendekatinya, tetapi dia mundu
Kui Long berdiri di tengah Lembah Jiwa Hitam, yang kini berantakan akibat pertarungan dahsyatnya dengan Raja Shu. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya, tetapi bukan rasa sakit fisik yang menghantam hatinya, melainkan kekosongan yang menyelimuti jiwanya. Mustika Iblis Suci telah dihancurkan, Raja Shu musnah, namun warisan kegelapan yang ditinggalkan oleh keluarga Shu tidak berakhir di sini.Putri Shu—dulu seorang wanita yang penuh cinta dan keberanian—kini menjadi ancaman yang bahkan lebih menakutkan daripada ayahnya. Kegelapan iblis yang terkunci dalam Mustika Iblis Suci telah menemukan tempat baru untuk bersarang yaitu di tubuh dan jiwa sang putri. Kui Long tahu bahwa kehancuran mustika itu adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan penindasan Raja Shu, tetapi ia tidak menyangka bahwa tindakannya akan menciptakan musuh yang tak pernah ia inginkan.***Di puncak gunung es yang jauh dari Lembah Jiwa Hitam, Putri Shu merenungi perubahan dirinya. Kulitnya yang putih pucat, rambutn
Malam menelan dunia saat Kui Long meninggalkan pegunungan tempat Elder Tian Bai tinggal. Angin dingin merasuk hingga ke tulangnya, tetapi ia tidak berhenti berjalan. Gulungan Teknik Nirvana Surya tersimpan di dalam jubahnya, terasa berat bukan karena fisiknya, melainkan beban tanggung jawab yang menyertai. Jalan di hadapannya kini penuh dengan ketidakpastian, namun satu hal yang pasti—Putri Shu semakin kuat setiap detiknya.Di kejauhan, bayangan lembah gelap yang dahulu dikenal sebagai tanah terlarang mulai menyebarkan terornya. Desas-desus tentang sosok Dewi Kegelapan Abadi meresahkan para kultivator. Kota-kota kecil diselimuti ketakutan; makhluk-makhluk dari dimensi gelap yang dipanggil oleh Putri Shu muncul untuk merusak, menebar kekacauan. Tidak ada yang berani melawannya, karena setiap perlawanan berakhir dengan kehancuran.Kui Long menyusuri jejak kehancuran itu, mengetahui bahwa setiap langkah membawanya lebih dekat kepada pertemuan yang tak terhindarkan. Namun, tubuhnya yang m
Kui Long membuka gulungan Teknik Nirvana Surya di bawah temaram cahaya lentera. Mata Mei Lin yang penuh penasaran memandang dari kejauhan, namun ia tidak berani mendekat. Aura yang terpancar dari gulungan itu seakan menyelimuti ruangan dengan kehangatan aneh, bertolak belakang dengan hawa dingin yang mendominasi malam.Tulisan-tulisan kuno pada gulungan tampak hidup, membentuk pola-pola bercahaya yang bergerak seperti aliran sungai. Namun, Kui Long tahu, mempelajari teknik ini bukan hanya soal membaca—ini tentang menyelaraskan jiwa. Ketika ia mulai mengatur pernapasan dan fokus pada intisari gulungan itu, sebuah suara lembut terdengar di pikirannya."Hanya mereka yang mampu menerima kebenaran sejati dalam terang dan gelap yang dapat menggunakan kekuatan ini tanpa hancur."Kata-kata itu menembus batinnya, membuka kembali luka-luka yang selama ini ia coba abaikan—rasa bersalah menghancurkan Mustika Iblis Suci, kekecewaan pada dirinya sendiri karena menciptakan ancaman baru dalam diri Pu
Malam itu, Kui Long berdiri di puncak tebing yang menghadap ke Lembah Iblis, tempat kekaisaran baru Putri Shu mulai berakar. Di kejauhan, benteng kristal hitamnya bersinar redup di bawah cahaya bulan, tampak seperti mahkota gelap yang menusuk langit malam. Angin membawa aroma tajam dari api unggun dan suara-suara samar dari pasukan iblis yang sedang berjaga.Mei Lin berdiri di belakangnya, tangannya mencengkeram erat kantong kecil berisi obat-obatan yang ia siapkan untuknya. “Kau yakin ini waktunya?” tanyanya, suaranya penuh keraguan. “Kekuatanmu belum sepenuhnya matang. Teknik Nirvana Surya masih terlalu baru—kau belum menguasainya sepenuhnya.”Kui Long tidak segera menjawab. Ia menatap ke lembah dengan mata yang tenang, tetapi di balik ketenangan itu, pikirannya bergolak. Ia tahu Mei Lin benar, tetapi ia juga tahu bahwa semakin lama ia menunggu, semakin besar kekuatan Putri Shu tumbuh. Setiap detik yang ia habiskan untuk bersiap adalah waktu bagi kegelapan untuk menelan dunia.“Aku
Shin Kui Long memantapkan posisinya saat naga iblis Putri Shu menyerang, mengoyak tanah di bawahnya dengan cakarnya yang raksasa. Dengan kilatan pedangnya yang bersinar terang, Kui Long mengayunkan serangan pertama, Aurora Sunstrike, sebuah jurus cahaya yang menghancurkan kegelapan di sekitarnya dan membuat naga iblis itu melengking kesakitan. Namun, makhluk itu hanya mundur beberapa langkah sebelum melancarkan serangan balik, semburan api hitam yang tampaknya membakar bahkan udara itu sendiri.“Apakah itu yang terbaik darimu, Kui Long?” Putri Shu mengejek dari atas benteng. Tubuhnya kini diselimuti pusaran energi hitam yang semakin pekat, kekuatannya memancar seperti badai yang tak terkendali. “Kekuatan cahaya yang kau banggakan tidak cukup untuk menghentikan kegelapan yang telah menyatu denganku.”Kui Long tak menjawab. Ia menghindari serangan naga dengan lompatan yang luar biasa tinggi, menggunakan Heavenly Step Technique, yang memberinya kelincahan di udara. Sementara itu, ia meng
Ketika debu mereda, Kui Long berdiri dengan tubuh yang hampir hancur, darah mengalir dari setiap luka di tubuhnya. Teknik Nirvana Surya telah menguras hampir seluruh energinya, membuatnya hanya bertahan karena tekad semata.Putri Shu bangkit perlahan, rambut putihnya kini berantakan, dan matanya yang merah kehilangan sebagian cahayanya. Namun, tatapan kebenciannya masih kuat. “Kau pikir ini sudah selesai, Kui Long?” bisiknya, suaranya penuh kemarahan.“Tentu saja belum,” jawab Kui Long dengan suara yang lemah, tetapi matanya bersinar dengan tekad. “Aku akan terus berjuang, selama aku masih hidup.”Pertarungan mereka belum benar-benar berakhir, tetapi untuk saat ini, dunia memiliki harapan kecil, meskipun keduanya telah meninggalkan luka yang mendalam di sepanjang jalan mereka.Putri Shu melangkah maju, tubuhnya kini dibalut aura hitam pekat yang berdenyut seperti jantung. Setiap langkahnya menciptakan getaran di tanah, dan serpihan energi dari ledakan sebelumnya perlahan melayang ke a
Waktu tidak lagi berjalan.Ia terlipat—seperti helai sutra langit yang diremas tangan para dewa. Di setiap langkah, dimensi pecah seperti kaca rapuh yang dihantam badai, namun tak satu pun dari dua makhluk itu tergoyahkan. Mereka bukan sekadar berjalan di ruang, tapi menembus lapisan-lapisan eksistensi yang tak bisa dipahami oleh makhluk fana.Di tengah reruntuhan dimensi yang mengapung seperti puing bintang, Yinyin melayang—misterius dan mematikan dalam bentuk rubah berekor sembilan. Setiap ekornya menjulur seperti sungai bayangan yang tak berujung, menggulung dan meliuk seolah menari dengan kekosongan. Di tangannya yang lentik, dua bilah belati memantulkan cahaya kelabu:“Zaman yang Retak” dan “Kesunyian yang Abadi”, bergetar pelan ... haus. Haus akan darah yang sudah dilupakan bahkan oleh waktu.Di hadapannya berdiri sosok agung:Qilin Emas.Tubuhnya memancarkan cahaya keemasan—lembut namun padat, seperti logam surgawi yang hidup. Setiap langkahnya tidak hanya menyentuh tanah, tapi
Ratusan Immortal berdiri membentuk lingkaran sempurna di tengah dataran yang telah berubah menjadi ruang antara realita dan mimpi. Udara membeku, menekan dada mereka seperti beban tak kasatmata. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot es ke dalam paru-paru.Di tengah formasi itu, Array Seribu Ilusi menyala terang—ledakan cahaya spiritual meledak dari permukaannya seperti kilatan petir yang tak berhenti. Riak-riak dimensi melingkar, membelah ruang dan waktu dalam gelombang berlapis. Setiap lapisan memunculkan bayangan… wajah… tubuh…Dewa Pedang.Satu… dua… ratusan… ribuan versi dirinya tersebar di segala penjuru. Di atas, di bawah, di kiri, kanan, bahkan dari balik celah ruang, refleksi dirinya tersenyum, mengernyit, atau sekadar diam menatap tajam balik padanya.Ilusi begitu nyata, begitu sempurna, hingga mustahil membedakan mana dirinya yang asli.“Perkuat ilusi! Jangan beri celah!” teriak seorang kultivator dari garis depan, suaranya menggema seperti ledakan genderang perang. C
Dari balik reruntuhan langit yang robek oleh pertempuran, Immortal Kuno melangkah maju. Tubuhnya berlumur luka, jubah robek dan terbakar, sementara darah suci mengalir perlahan dari pelipisnya, membentuk garis tipis di wajah yang diliputi amarah dan harga diri yang tercabik.Matanya menyala—bukan oleh cahaya, melainkan oleh tekad terakhir yang menggelegak seperti magma yang tak bisa lagi dibendung.Dengan suara berat yang seperti mengguncang angkasa, ia berseru,“Aku… belum kalah.”Tangannya yang gemetar mencengkeram Pedang Sepuluh Surga, bilah sakral yang memancarkan sepuluh warna cahaya surgawi, berputar perlahan seolah menciptakan pelangi di langit malam yang muram. Ketika ia mengangkatnya, seluruh dunia seperti menahan napas.Lalu ia menebas.Seketika itu juga, langit retak. Bumi berderak. Dan realitas terbelah menjadi sepuluh dimensi.Sepuluh jalur ruang dan waktu berlapis-lapis muncul di antara kedipan mata, masing-masing berdenyut dengan hukum alam yang berbeda—dimensi cahaya,
Langit retak, seperti kaca yang meleleh di bawah panas yang tak terlihat. Angin yang biasanya liar kini membeku, menggantung di udara seperti helaian kain rapuh. Di tengah dunia yang membisu itu, Dewa Pedang dan Immortal Kuno berdiri berhadapan, bagaikan dua puncak gunung abadi yang menolak runtuh. Waktu sendiri seolah menahan napas, menonton dalam diam.Di belakang Dewa Pedang, bayangan pedang-pedang raksasa melayang megah. Namun, ini bukan sekadar ilusi. Setiap pedang adalah kenangan hidup, gema dari senjata yang pernah ia genggam dan kuasai—dari pedang batu kasar yang ia tempa sendiri di masa fana, hingga Pedang Tanpa Nama, yang konon sanggup mengiris garis waktu dan membelah masa.Dewa Pedang melangkah maju. Tapak kakinya terdengar ringan, hampir tanpa suara, namun setiap sentuhan kakinya membuat tanah mengelupas, retakan membelah bumi bagai jaring laba-laba raksasa. Aura pedang yang menguar dari tubuhnya cukup untuk membuat rerumputan hangus dan batu-batu kecil melayang.Mengitar
Dewa Mabuk tersenyum miring, getir, dan menambahkan ..."Anggur Takdir Terbalik ... Biarlah kenyataan pun mabuk bersamaku malam ini."Tanpa ragu, ia meneguk seluruh isi cangkir itu. Dalam sekejap, dunia bergidik. Awan di langit berputar terbalik, suara gemuruh mengeras seperti teriakan jutaan jiwa yang terseret arus waktu.Tiga detik. Dalam rentang sesingkat itu, dunia seolah melangkah mundur.Formasi Surga Agung—pilar energi—semua bergerak mundur, melawan kodrat mereka sendiri. Tapi tubuh para Immortal, makhluk hidup yang terikat pada alur waktu normal, tidak ikut serta.Apa yang terjadi berikutnya bukanlah pertempuran—melainkan pembantaian tanpa pedang.Tubuh para Immortal mendadak kejang, wajah mereka pucat membiru. Dari dalam daging dan tulang mereka, retakan-retakan kecil muncul, memancarkan cahaya ungu aneh. Lalu, satu per satu, tubuh-tubuh agung itu meledak dari dalam, seolah mereka dihukum oleh paradoks yang tidak bisa mereka lawan.Darah spiritual menguap menjadi kabut ung
Pergerakan Dewa Mabuk berubah.Awalnya ia hanya bergoyang goyah seperti dedaunan kering tertiup angin senja. Namun, dalam sekejap, gerakannya menjadi lebih cepat—lebih halus, lebih sulit diikuti. Tubuhnya melayang, berputar-putar, dan tiap jejak langkahnya membentuk pusaran-pusaran bercahaya, menciptakan pola sihir rumit yang berdenyut, menyedot energi spiritual dari udara sekitarnya. Tanah di bawah kakinya bergetar, lalu retak, dan dari retakan-retakan itu... mengalir sesuatu yang tak wajar.Dalam kelipan waktu yang nyaris tak terdeteksi, medan perang berubah drastis.Tanah tandus itu perlahan membasahi dirinya sendiri, mengalir menjadi Danau Anggur Surgawi. Permukaannya berkilau ungu lembut, memantulkan bukan sekadar bayangan, tapi fragmen masa depan dari siapa pun yang berdiri di atasnya.Satu per satu, para Immortal memandang ke bawah—dan apa yang mereka lihat... memaku mereka di tempat."Tidak... kenapa aku..." Seorang Immortal berseru, wajahnya berubah pucat pasi, suaranya pecah
Kabut racun menggantung tebal di udara, membelai medan pertempuran yang hancur dengan sentuhan kematian. Di tengah reruntuhan dan bau logam darah yang menusuk, terdengar tawa—tawa yang aneh, nyaring, memecah keheningan seperti dentang lonceng tua di pemakaman para dewa."HAAAA—! Sudah kubilang..." Suara itu meraung, parau dan bergaung seperti mabuk badai. "Jangan ganggu orang yang sedang menikmati tegukan terakhirnya!!"Dari pusaran kabut itu, muncul sosok yang mustahil diabaikan. Seorang pria bertubuh tambun dengan langkah limbung, seolah sewaktu-waktu bisa jatuh... namun entah bagaimana, setiap gerakannya justru memancarkan bahaya yang membuat udara terasa berat. Rambutnya kusut, acak-acakan seperti sarang burung gagak, dan jubahnya—oh, jubahnya—robek-robek dengan bekas-bekas tumpahan anggur spiritual berkilau yang menodai kain lusuh itu.Di tangannya, tergenggam erat sebuah botol kaca tua. Dari dalamnya, cairan berwarna ungu tua memancarkan cahaya redup yang hampir hipnotik—Anggur
Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be
—Ketika racun bukan lagi sekadar senjata, tapi kutukan dunia itu sendiri—Medan perang menjadi lautan kehijauan yang membara dalam keheningan yang mengerikan. Tanah yang disentuh jimat Dewi Racun telah berubah menjadi ladang kematian ... bunga-bunga berbentuk tengkorak merekah dari tanah, memuntahkan spora beracun berwarna merah darah, sementara kabut ungu kehijauan merambat seperti tangan-tangan makhluk lapar yang mengincar jiwa.Dewi Racun berdiri di tengah-tengah pusaran itu, rambutnya melayang seperti ular-ular kecil, dan gaunnya bergelombang, seolah dijalin dari kabut itu sendiri. Di tangan kirinya, ia genggam Jimat Racun Kehancuran Tiga Dunia—artefak yang tak pernah diaktifkan sepenuhnya… sampai hari ini.“Kalian para immortal, begitu sombong dengan keabadian kalian... Tapi tidak ada yang abadi di hadapan racun yang benar-benar murni.” Suara Dewi Racun menggema, serak namun memikat, mengandung mantra yang memengaruhi kesadaran.Beberapa Immortal mulai berteriak histeris. Ilusi