Beranda / Fantasi / Dewa Iblis Gerbang Neraka / Menemui Dewa Pendekar

Share

Menemui Dewa Pendekar

Penulis: Bebby
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-17 22:52:15

Shin Kui Long dan Shiu Ling tiba di Pulau Arak dengan tenang, tanpa menghadapi rintangan yang berarti. Udara di pulau tersebut terasa berat oleh aura spiritual yang kuat, namun itu tak mengganggu perjalanan mereka. Ketika mereka bertemu dengan Dewa Mabuk, sosok tua yang penuh kebijaksanaan, Dewa Mabuk segera menyadari bahwa tantangan selanjutnya yang harus dihadapi oleh Shin Kui Long adalah sesuatu yang lebih besar daripada sekadar ilmu kultivasi yang ia peroleh.

"Aku tahu kau telah mendapatkan Ilmu Jiwa Sutra, ilmu kuno yang luar biasa kuat," kata Dewa Mabuk, matanya yang keruh menatap tajam ke arah Shin Kui Long. "Namun, untuk menghadapi Dewa Bandit, kau membutuhkan lebih dari sekadar kultivasi. Kau perlu mempelajari teknik yang bisa menghancurkan pertahanan ilmunya. Aku sarankan kau bertemu dengan Dewa Pendekar di Pegunungan Pendekar."

Shin Kui Long mengangguk dengan tegas. "Dewa Pendekar? Ilmu apa yang bisa ia ajarkan padaku?"

"Tapak Pendekar Sakti, sebuah teknik yang telah melege
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
semakin mantap bah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.22. Raja Naga Hitam

    Kilatan petir menghiasi langit malam. Angin mengamuk, membawa suara dentingan pedang dan sorakan pasukan yang bertarung di luar gerbang. Namun, di dalam benteng utama, hanya ada dua sosok... Shin Kui Long, Sang Raja Naga Hitam, julukan barunya ... dan Kaisar Han, penguasa terakhir Kekaisaran Han yang megah.Dengan langkah mantap, Shin Kui Long berjalan melewati aula megah Istana Dunia Kultivator. Sepasang matanya yang menyala biru menatap lurus ke depan, rambut hitamnya berkibar liar tertiup badai spiritual yang diciptakan kekuatannya sendiri. Tubuhnya memancarkan aura hitam pekat bercampur kilatan ungu, tanda bahwa dia telah melampaui batas-batas kultivator biasa.Di ujung aula, Kaisar Han berdiri dengan gagah, tubuhnya dibalut baju zirah emas berukir naga, pedang besar di tangannya berkilau memantulkan cahaya dari obor-obor raksasa di sekeliling ruangan. Sorot matanya dingin, tapi mulutnya melengkungkan senyum kecil.“Shin Kui Long… kau akhirnya datang,” ucap Kaisar Han, suaranya dal

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.21. Rubah Ekor Sembilan vs Qilin

    Waktu tidak lagi berjalan.Ia terlipat—seperti helai sutra langit yang diremas tangan para dewa. Di setiap langkah, dimensi pecah seperti kaca rapuh yang dihantam badai, namun tak satu pun dari dua makhluk itu tergoyahkan. Mereka bukan sekadar berjalan di ruang, tapi menembus lapisan-lapisan eksistensi yang tak bisa dipahami oleh makhluk fana.Di tengah reruntuhan dimensi yang mengapung seperti puing bintang, Yinyin melayang—misterius dan mematikan dalam bentuk rubah berekor sembilan. Setiap ekornya menjulur seperti sungai bayangan yang tak berujung, menggulung dan meliuk seolah menari dengan kekosongan. Di tangannya yang lentik, dua bilah belati memantulkan cahaya kelabu:“Zaman yang Retak” dan “Kesunyian yang Abadi”, bergetar pelan ... haus. Haus akan darah yang sudah dilupakan bahkan oleh waktu.Di hadapannya berdiri sosok agung:Qilin Emas.Tubuhnya memancarkan cahaya keemasan—lembut namun padat, seperti logam surgawi yang hidup. Setiap langkahnya tidak hanya menyentuh tanah, tapi

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.20. Hujan Pedang

    Ratusan Immortal berdiri membentuk lingkaran sempurna di tengah dataran yang telah berubah menjadi ruang antara realita dan mimpi. Udara membeku, menekan dada mereka seperti beban tak kasatmata. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot es ke dalam paru-paru.Di tengah formasi itu, Array Seribu Ilusi menyala terang—ledakan cahaya spiritual meledak dari permukaannya seperti kilatan petir yang tak berhenti. Riak-riak dimensi melingkar, membelah ruang dan waktu dalam gelombang berlapis. Setiap lapisan memunculkan bayangan… wajah… tubuh…Dewa Pedang.Satu… dua… ratusan… ribuan versi dirinya tersebar di segala penjuru. Di atas, di bawah, di kiri, kanan, bahkan dari balik celah ruang, refleksi dirinya tersenyum, mengernyit, atau sekadar diam menatap tajam balik padanya.Ilusi begitu nyata, begitu sempurna, hingga mustahil membedakan mana dirinya yang asli.“Perkuat ilusi! Jangan beri celah!” teriak seorang kultivator dari garis depan, suaranya menggema seperti ledakan genderang perang. C

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.19. Pedang Zhenjian

    Dari balik reruntuhan langit yang robek oleh pertempuran, Immortal Kuno melangkah maju. Tubuhnya berlumur luka, jubah robek dan terbakar, sementara darah suci mengalir perlahan dari pelipisnya, membentuk garis tipis di wajah yang diliputi amarah dan harga diri yang tercabik.Matanya menyala—bukan oleh cahaya, melainkan oleh tekad terakhir yang menggelegak seperti magma yang tak bisa lagi dibendung.Dengan suara berat yang seperti mengguncang angkasa, ia berseru,“Aku… belum kalah.”Tangannya yang gemetar mencengkeram Pedang Sepuluh Surga, bilah sakral yang memancarkan sepuluh warna cahaya surgawi, berputar perlahan seolah menciptakan pelangi di langit malam yang muram. Ketika ia mengangkatnya, seluruh dunia seperti menahan napas.Lalu ia menebas.Seketika itu juga, langit retak. Bumi berderak. Dan realitas terbelah menjadi sepuluh dimensi.Sepuluh jalur ruang dan waktu berlapis-lapis muncul di antara kedipan mata, masing-masing berdenyut dengan hukum alam yang berbeda—dimensi cahaya,

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.18. Dewa Pedang vs Immortal Kuno

    Langit retak, seperti kaca yang meleleh di bawah panas yang tak terlihat. Angin yang biasanya liar kini membeku, menggantung di udara seperti helaian kain rapuh. Di tengah dunia yang membisu itu, Dewa Pedang dan Immortal Kuno berdiri berhadapan, bagaikan dua puncak gunung abadi yang menolak runtuh. Waktu sendiri seolah menahan napas, menonton dalam diam.Di belakang Dewa Pedang, bayangan pedang-pedang raksasa melayang megah. Namun, ini bukan sekadar ilusi. Setiap pedang adalah kenangan hidup, gema dari senjata yang pernah ia genggam dan kuasai—dari pedang batu kasar yang ia tempa sendiri di masa fana, hingga Pedang Tanpa Nama, yang konon sanggup mengiris garis waktu dan membelah masa.Dewa Pedang melangkah maju. Tapak kakinya terdengar ringan, hampir tanpa suara, namun setiap sentuhan kakinya membuat tanah mengelupas, retakan membelah bumi bagai jaring laba-laba raksasa. Aura pedang yang menguar dari tubuhnya cukup untuk membuat rerumputan hangus dan batu-batu kecil melayang.Mengitar

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.17. Kehebatan Dewa Mabuk

    Dewa Mabuk tersenyum miring, getir, dan menambahkan ..."Anggur Takdir Terbalik ... Biarlah kenyataan pun mabuk bersamaku malam ini."Tanpa ragu, ia meneguk seluruh isi cangkir itu. Dalam sekejap, dunia bergidik. Awan di langit berputar terbalik, suara gemuruh mengeras seperti teriakan jutaan jiwa yang terseret arus waktu.Tiga detik. Dalam rentang sesingkat itu, dunia seolah melangkah mundur.Formasi Surga Agung—pilar energi—semua bergerak mundur, melawan kodrat mereka sendiri. Tapi tubuh para Immortal, makhluk hidup yang terikat pada alur waktu normal, tidak ikut serta.Apa yang terjadi berikutnya bukanlah pertempuran—melainkan pembantaian tanpa pedang.Tubuh para Immortal mendadak kejang, wajah mereka pucat membiru. Dari dalam daging dan tulang mereka, retakan-retakan kecil muncul, memancarkan cahaya ungu aneh. Lalu, satu per satu, tubuh-tubuh agung itu meledak dari dalam, seolah mereka dihukum oleh paradoks yang tidak bisa mereka lawan.Darah spiritual menguap menjadi kabut ung

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.16. Dewa Mabuk vs Immortal - II

    Pergerakan Dewa Mabuk berubah.Awalnya ia hanya bergoyang goyah seperti dedaunan kering tertiup angin senja. Namun, dalam sekejap, gerakannya menjadi lebih cepat—lebih halus, lebih sulit diikuti. Tubuhnya melayang, berputar-putar, dan tiap jejak langkahnya membentuk pusaran-pusaran bercahaya, menciptakan pola sihir rumit yang berdenyut, menyedot energi spiritual dari udara sekitarnya. Tanah di bawah kakinya bergetar, lalu retak, dan dari retakan-retakan itu... mengalir sesuatu yang tak wajar.Dalam kelipan waktu yang nyaris tak terdeteksi, medan perang berubah drastis.Tanah tandus itu perlahan membasahi dirinya sendiri, mengalir menjadi Danau Anggur Surgawi. Permukaannya berkilau ungu lembut, memantulkan bukan sekadar bayangan, tapi fragmen masa depan dari siapa pun yang berdiri di atasnya.Satu per satu, para Immortal memandang ke bawah—dan apa yang mereka lihat... memaku mereka di tempat."Tidak... kenapa aku..." Seorang Immortal berseru, wajahnya berubah pucat pasi, suaranya pecah

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.15. Dewa Mabuk vs Immortal

    Kabut racun menggantung tebal di udara, membelai medan pertempuran yang hancur dengan sentuhan kematian. Di tengah reruntuhan dan bau logam darah yang menusuk, terdengar tawa—tawa yang aneh, nyaring, memecah keheningan seperti dentang lonceng tua di pemakaman para dewa."HAAAA—! Sudah kubilang..." Suara itu meraung, parau dan bergaung seperti mabuk badai. "Jangan ganggu orang yang sedang menikmati tegukan terakhirnya!!"Dari pusaran kabut itu, muncul sosok yang mustahil diabaikan. Seorang pria bertubuh tambun dengan langkah limbung, seolah sewaktu-waktu bisa jatuh... namun entah bagaimana, setiap gerakannya justru memancarkan bahaya yang membuat udara terasa berat. Rambutnya kusut, acak-acakan seperti sarang burung gagak, dan jubahnya—oh, jubahnya—robek-robek dengan bekas-bekas tumpahan anggur spiritual berkilau yang menodai kain lusuh itu.Di tangannya, tergenggam erat sebuah botol kaca tua. Dari dalamnya, cairan berwarna ungu tua memancarkan cahaya redup yang hampir hipnotik—Anggur

  • Dewa Iblis Gerbang Neraka   6.14. Sang Pemusnah Immortal

    Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status