"Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.
Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya.
"Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."
Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."
Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya.
"Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari dengan Mariana. Meninggalkan rumah ini diam-diam dan tak pernah memberi kabar lagi. Kami terus mencarinya, tapi tak pernah menemukannya... sampai hari ini..."
Hening. Kesedihan merayap di ruangan itu, meresap ke dalam hati mereka masing-masing. Marwa menyadari betapa dalam luka yang telah diwariskan oleh masa lalu.
"Kamu punya cita-cita Marwa?" tanya Opa Eko tiba-tiba.
Marwa terdiam. Matanya melirik sejenak ke arah Opa Eko, lalu menunduk. Ia ragu-ragu untuk menjawab. Bukan karena ia tidak punya jawaban, melainkan ia takut dianggap bermimpi terlalu tinggi.
"Hmm... punya sih, Opo. Cuma..." Marwa menghentikan kalimatnya.
"Cuma, apa?" Opa Eko mengerutkan alis.
Marwa menarik napas dalam. "Cuma, rasa-rasanya cita-citaku ketinggian, Opa," kata Marwa terus terang.
"Semua cita-cita itu memang harus tinggi, Marwa. Kalau tidak tinggi, itu namanya hobby." Opa Eko tertawa kecil.
"Dengar, Nak. Cita-cita itu seperti pohon. Semakin tinggi, semakin kuat akarnya harus menancap ke tanah. Kalau kamu sungguh-sungguh, Opa akan membantumu mewujudkannya!" Opa Eko tertawa. Marwa pun meringis geli.
"Jadi apa cita-citamu?" tanya Opa Eko lagi.
"Sejak kecil... aku ingin jadi dokter, Opa. Masalahnya biaya masuk fakuktas kedokteran mahal sekali kan, Opa?"
"Tidak mahal selama ada Opa." Opa Eko menepuk dadanya.
"Beneran, Opa?" kata Marwa gembira. Tidak menyangka akan mendapat dukungan penuh dari Opanya.
"Tentu saja benar. Tugasmu hanya belajar dengan sungguh-sungguh. Masalah biaya, serahkan pada Opa." Seolah mendapat semangat baru, Opa Eko menegakkan punggungnya yang renta dengan bangga.
"Terima kasih, Opa. Aku akan sungguh-sungguh belajar keras dan tidak akan mengecewakan Opa dan Oma, insyaallah," janji Marwa pada opa dan omanya.
"Aamiin. Semoga cita-cita muliamu ini akan segera terwujud." Opa dan Oma mengamini.
***
LIMA BELAS TAHUN KEMUDIAN
Marwa melepas sarung tangan dan menghela napas panjang. Hari ini benar-benar melelahkan. Dalam empat jam terakhir, ia sudah menyelesaikan dua operasi besar. Pasien pertama adalah korban perkelahian dengan luka tusukan pisau, sedangkan pasien kedua seorang pekerja konstruksi yang jatuh dari lantai lima. Keduanya selamat, tapi tubuhnya terasa remuk setelah berkutat di ruang operasi begitu lama.
Saat sedang berganti pakaian, ponselnya bergetar di dalam loker. Nama yang muncul di layar membuat senyumnya merekah: Siska. Tanpa ragu, ia segera mengangkatnya.
"Halo, Sis! Ada kabar baik, kan?" tanya Marwa sambil menyandarkan tubuhnya ke loker.
Tawa renyah Siska terdengar di seberang. "Kamu memang selalu bisa membaca situasi! Aku berhasil! Bu Ida setuju menjual rumah itu!"
Marwa menutup matanya sesaat, merasakan gelombang emosi menghantam dadanya. Rumah kontrakan kecil di Gang Kenanga-tempat ia tumbuh dengan segala kenangan pahit dan manis-akhirnya akan menjadi miliknya.
"Serius? Tapi... bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan Haryo? Bukannya kamu bilang dia adalah orang yang paling ngotot menolak?" tanya Marwa penasaran.
"Aku ganti strategi," jawab Siska santai. "Daripada melawan kepala batu macam si Haryo, aku langsung mendekati Bu Ida dan Hani—adik perempuan Haryo. Aku bilang pada mereka, kalau ingin bahagia, mereka harus berani melepaskan masa lalu. Termasuk rumah yang menyimpan banyak kenangan buruk buat mereka. Akhirnya, mereka berdua yang bersikeras membujuk Haryo. Dan voilà! Rumah itu resmi akan menjadi milikmu besok."
Marwa tertawa pelan. "Kamu ini agen properti atau dukun? Bisa-bisanya ngerayu orang sampai segitunya."
"Aku ini agen dunia akhirat, Wa," Siska terkekeh. "Oke, sekarang tinggal satu langkah terakhir. Transfer uangnya sekarang, biar besok pagi kita bisa tanda tangan dokumen."
Tanpa berpikir dua kali, Marwa segera membuka aplikasi perbankan di ponselnya dan mentransfer jumlah yang diminta. Namun, sebelum menutup panggilan, Siska menggoda, "Eh, ngomong-ngomong, kamu tidak takut aku malah mengambil rumah ini untuk diriku sendiri? Kan, atas namaku."
Marwa tersenyum kecil. "Tidak masalah. Aku tinggal jual mobil mewahmu yang saat ini ada di garasiku. Surat-suratnya atas namaku juga, kan?" Marwa balik menggoda Siska. Tahun lalu Siska membeli mobil mewah di Surabaya dengan meminjam KTP-nya. Soalnya Siska tidak memiliki KTP Surabaya.
Sejenak, ada keheningan di seberang. Lalu, tawa Siska pecah. "Dasar dokter licik! Eh, kamu tidak mau tahu bagaimana penampakan Haryo setelah lima belas tahun kalian tidak bertemu? Mau aku kirimin fotonya nggak?" Tawa menggoda Siska terdengar geli dari ujung telepon.
"Nggak perlu. Aku sudah punya Mas Arga. Aku tidak tertarik lagi pada laki-laki lain," jawab Marwa singkat. Suara decakan Siska terdengar dari seberang sana.
"Ck, iya aku tahu, Dokter Arga Bayuaji memang tampan rupawan. Tapi Haryo Suryo Hanggono ini tampannya beda, Wa. Haryo ini hot... hot... cold, alias bisa tampak panas namun dingin secara bersamaan gitu lho. Kamu aja dulu naksir berat kan sama dia?" goda Siska nakal.
"Itu dulu. Saat aku masih abege dan belum tahu kekejamannya. Udah ah, aku tutup dulu teleponnya ya. Aku mau mengabarkan Mas Arga kalau bulan depan aku akan mulai bekerja di rumah sakit Jakarta. See you ya, Sis. Thank you atas semuanya."
Marwa menutup telepon setelah memberi kecupan jarak jauh pada Siska. Ia tidak sabar untuk mengabarkan berita baik ini pada pacarnya tersayang.
Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"
Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan
Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat
Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k
Setelah menitip keranjang kue, Marwa berlari-lari kecil ke arah lapangan basket. Di sana terdengar suara bola basket memantul di lapangan serta sorak sorai yang riuh. Marwa berlari dengan tangan membawa sebotol air mineral dingin yang rencananya akan ia berikan pada seseorang. Saat sorak-sorai memanggil-manggil nama Haryo mulai terdengar, kaki Marwa semakin lincah berlari. Ia tidak mau tertinggal moment melihat Haryo—sang kapten basket beraksi. Selain itu ia juga berencana akan memberi Haryo air mineral seperti yang dilakukan oleh siswi-siswi yang lain. Haryo Laksono adalah pujaan siswi-siswi Budi Mulia. "Aduh!" Marwa jatuh terjerembab saat seseorang mendorong bahunya keras."Ngapain kamu ke lapangan basket, anak LC? Mau "jualan" seperti ibumu? Dasar bibit LC. Masih SMP sudah kegatelan kalau melihat laki-laki!"Suara Asila, salah seorang pembullynya di sekolah. Marwa berdiri sambil mengibas-ngibas kotoran yang melekat di bajunya. Siku dan lututnya terasa perih. Ternyata semen keras
"Bilang pada mereka untuk mengurus masalah mereka sendiri. Tapi kalau mereka memang mau mengurusi kita, sekalian suruh urus juga token listrik dan uang kontrakan. Ibu pergi dulu." Bu Mariana mencangklong tas. Ia menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum keluar rumah. Ia harus mempersiapkan diri sebelum berjibaku dengan LC-LC baru dan muda-muda di club. Lihatlah, semua orang punya masalah sendiri-sendiri bukan? Malam semakin larut. Marwa masih duduk di lantai dapur, menyusun kue-kue buatannya. Tapi tangannya kini bergerak lebih lambat, pikirannya melayang pada kata-kata ibunya barusan.Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari depan rumah. Pintu didorong kasar hingga hampir lepas dari engselnya. "Astaghfirullahaladzim!" Marwa mengucap karena kaget. Ayahnya masuk ke dalam rumah dalam keadaan teler seperti biasa. Tubuh ayahnya limbung dengan aroma alkohol menyengat yang menusuk hidung."Brengsek! Hidup memang tidak adil!" Pak Maryadi menggeram kesal dan berjalan sempoyongan. Saat sampa
Setelah menitip kue-kue di kantin seperti biasa, Marwa berjalan ke kelasnya. Semilir angin pagi yang sejuk, membelai-belai kulitnya. Saat mendekati lapangan basket, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya ada suara bola basket yang memantul dan sorak-sorai para siswi yang sudah terdengar dari kejauhan. Namun kali ini lapangan basket tampak lengang.Haryo tidak main hari ini? gumam Marwa dalam hati. Biasanya Haryo selalu jadi yang pertama di lapangan sebelum bel berbunyi. Tapi kali ini, sosoknya tidak ada di sana.Marwa menguap lebar. Rasa kantuk masih menyelimutinya. Semalam ia tidur larut karena harus menyelesaikan pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Ada pelanggan yang memesan kue-kue basah untuk acara selamatan. Demi melawan kantuk Marwa memutuskan untuk mampir ke toilet sekolah. Ia akan membasuh wajah agar lebih segar.Baru saja ia bermaksud membuka keran air, sebuah suara memanggilnya."Marwa."Marwa tersentak. Ia buru-buru menoleh.Haryo. Mimpi apa ia semalam sampai-samp
"Tapi Ibu sering bertemu dengan Pak Marno di club kan? Jangan lagi menemui Pak Marno di sana ya, Bu? Nanti Haryo marah."Bu Mariana mengibaskan tangannya dengan kesal. "Dengar ya, Marwa. Ibu ini bekerja di sana. Club itu tempat umum. Siapa saja boleh datang kalau punya uang. Ibu tidak boleh menolak tamu yang mau ditemani minum karena itu memang pekerjaan Ibu. Sumber uang kita semua! Kalau Haryo tidak mau ayahnya menemui Ibu, minta ayahnya supaya tidak ke club! Si Ida yang cemburu buta, kenapa jadi Ibu yang susah?" sembur Bu Mariana gusar.Marwa hanya diam. Ia tidak bisa menolak argumen ibunya."Lagipula, Ibu tidak tertarik lagi dengan yang namanya cinta atau urusan asmara-asmaraan. Yang ada di kepala Ibu cuma satu: uang. Ibu punya banyak tanggungan yang harus dipikirkan," lanjut Bu Mariana seraya bangkit dari tempat tidur. Ia kemudian meraih jepit rambutnya di ranjang. "Apa betul di club Ibu hanya menemani tamu minum-minum?" Marwa akhirnya mengajukan pertanyaan yang selama ini hanya
Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k
Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat
Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan
Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"
"Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng
Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.
Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt
Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama
"Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.***Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya,