"Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.
Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya.
"Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."
Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."
Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya.
"Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari dengan Mariana. Meninggalkan rumah ini diam-diam dan tak pernah memberi kabar lagi. Kami terus mencarinya, tapi tak pernah menemukannya... sampai hari ini..."
Hening. Kesedihan merayap di ruangan itu, meresap ke dalam hati mereka masing-masing. Marwa menyadari betapa dalam luka yang telah diwariskan oleh masa lalu.
"Kamu punya cita-cita Marwa?" tanya Opa Eko tiba-tiba.
Marwa terdiam. Matanya melirik sejenak ke arah Opa Eko, lalu menunduk. Ia ragu-ragu untuk menjawab. Bukan karena ia tidak punya jawaban, melainkan ia takut dianggap bermimpi terlalu tinggi.
"Hmm... punya sih, Opo. Cuma..." Marwa menghentikan kalimatnya.
"Cuma, apa?" Opa Eko mengerutkan alis.
Marwa menarik napas dalam. "Cuma, rasa-rasanya cita-citaku ketinggian, Opa," kata Marwa terus terang.
"Semua cita-cita itu memang harus tinggi, Marwa. Kalau tidak tinggi, itu namanya hobby." Opa Eko tertawa kecil.
"Dengar, Nak. Cita-cita itu seperti pohon. Semakin tinggi, semakin kuat akarnya harus menancap ke tanah. Kalau kamu sungguh-sungguh, Opa akan membantumu mewujudkannya!" Opa Eko tertawa. Marwa pun meringis geli.
"Jadi apa cita-citamu?" tanya Opa Eko lagi.
"Sejak kecil... aku ingin jadi dokter, Opa. Masalahnya biaya masuk fakuktas kedokteran mahal sekali kan, Opa?"
"Tidak mahal selama ada Opa." Opa Eko menepuk dadanya.
"Beneran, Opa?" kata Marwa gembira. Tidak menyangka akan mendapat dukungan penuh dari Opanya.
"Tentu saja benar. Tugasmu hanya belajar dengan sungguh-sungguh. Masalah biaya, serahkan pada Opa." Seolah mendapat semangat baru, Opa Eko menegakkan punggungnya yang renta dengan bangga.
"Terima kasih, Opa. Aku akan sungguh-sungguh belajar keras dan tidak akan mengecewakan Opa dan Oma, insyaallah," janji Marwa pada opa dan omanya.
"Aamiin. Semoga cita-cita muliamu ini akan segera terwujud." Opa dan Oma mengamini.
***
LIMA BELAS TAHUN KEMUDIAN
Marwa melepas sarung tangan dan menghela napas panjang. Hari ini benar-benar melelahkan. Dalam empat jam terakhir, ia sudah menyelesaikan dua operasi besar. Pasien pertama adalah korban perkelahian dengan luka tusukan pisau, sedangkan pasien kedua seorang pekerja konstruksi yang jatuh dari lantai lima. Keduanya selamat, tapi tubuhnya terasa remuk setelah berkutat di ruang operasi begitu lama.
Saat sedang berganti pakaian, ponselnya bergetar di dalam loker. Nama yang muncul di layar membuat senyumnya merekah: Siska. Tanpa ragu, ia segera mengangkatnya.
"Halo, Sis! Ada kabar baik, kan?" tanya Marwa sambil menyandarkan tubuhnya ke loker.
Tawa renyah Siska terdengar di seberang. "Kamu memang selalu bisa membaca situasi! Aku berhasil! Bu Ida setuju menjual rumah itu!"
Marwa menutup matanya sesaat, merasakan gelombang emosi menghantam dadanya. Rumah kontrakan kecil di Gang Kenanga-tempat ia tumbuh dengan segala kenangan pahit dan manis-akhirnya akan menjadi miliknya.
"Serius? Tapi... bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan Haryo? Bukannya kamu bilang dia adalah orang yang paling ngotot menolak?" tanya Marwa penasaran.
"Aku ganti strategi," jawab Siska santai. "Daripada melawan kepala batu macam si Haryo, aku langsung mendekati Bu Ida dan Hani—adik perempuan Haryo. Aku bilang pada mereka, kalau ingin bahagia, mereka harus berani melepaskan masa lalu. Termasuk rumah yang menyimpan banyak kenangan buruk buat mereka. Akhirnya, mereka berdua yang bersikeras membujuk Haryo. Dan voilà! Rumah itu resmi akan menjadi milikmu besok."
Marwa tertawa pelan. "Kamu ini agen properti atau dukun? Bisa-bisanya ngerayu orang sampai segitunya."
"Aku ini agen dunia akhirat, Wa," Siska terkekeh. "Oke, sekarang tinggal satu langkah terakhir. Transfer uangnya sekarang, biar besok pagi kita bisa tanda tangan dokumen."
Tanpa berpikir dua kali, Marwa segera membuka aplikasi perbankan di ponselnya dan mentransfer jumlah yang diminta. Namun, sebelum menutup panggilan, Siska menggoda, "Eh, ngomong-ngomong, kamu tidak takut aku malah mengambil rumah ini untuk diriku sendiri? Kan, atas namaku."
Marwa tersenyum kecil. "Tidak masalah. Aku tinggal jual mobil mewahmu yang saat ini ada di garasiku. Surat-suratnya atas namaku juga, kan?" Marwa balik menggoda Siska. Tahun lalu Siska membeli mobil mewah di Surabaya dengan meminjam KTP-nya. Soalnya Siska tidak memiliki KTP Surabaya.
Sejenak, ada keheningan di seberang. Lalu, tawa Siska pecah. "Dasar dokter licik! Eh, kamu tidak mau tahu bagaimana penampakan Haryo setelah lima belas tahun kalian tidak bertemu? Mau aku kirimin fotonya nggak?" Tawa menggoda Siska terdengar geli dari ujung telepon.
"Nggak perlu. Aku sudah punya Mas Arga. Aku tidak tertarik lagi pada laki-laki lain," jawab Marwa singkat. Suara decakan Siska terdengar dari seberang sana.
"Ck, iya aku tahu, Dokter Arga Bayuaji memang tampan rupawan. Tapi Haryo Suryo Hanggono ini tampannya beda, Wa. Haryo ini hot... hot... cold, alias bisa tampak panas namun dingin secara bersamaan gitu lho. Kamu aja dulu naksir berat kan sama dia?" goda Siska nakal.
"Itu dulu. Saat aku masih abege dan belum tahu kekejamannya. Udah ah, aku tutup dulu teleponnya ya. Aku mau mengabarkan Mas Arga kalau bulan depan aku akan mulai bekerja di rumah sakit Jakarta. See you ya, Sis. Thank you atas semuanya."
Marwa menutup telepon setelah memberi kecupan jarak jauh pada Siska. Ia tidak sabar untuk mengabarkan berita baik ini pada pacarnya tersayang.
Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka
Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa
Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In
"Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny
Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan
Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O