LOGIN(AREA DEWASA!!!) Pernikahan Nadine dan Rhevan tak berjalan mulus. Selama lima tahun bersama Nadine tak pernah mendapatkan kepuasan batin ketika bercinta dengan suaminya. Tidak hanya itu, sikap kasar dan acuh sang suami juga menambah luka dalam hatinya. Disaat Nadine mulai jengah dengan pernikahannya, muncul Dirga— tetangga barunya yang berstatus duda. Pria tampan bertubuh sixpack yang selalu membuat Nadine terbayang-bayang akan pesonanya yang menggoda. "Pejamkan matamu dan rasakan, Nad! Milik siapa yang lebih membuatmu nikmat? Milikku atau suamimu?" — Dirga (26 tahun)
View More"Ughh...” Rhevan menindih tubuh istrinya tanpa banyak basa-basi. Gerakannya agak terburu-buru, tanpa ciuman atau kalimat pemanis.
“Aaaah... Nadine...” gumamnya cepat, napasnya semakin memburu. Nadine sang istri hanya bisa menggigit bibir, berusaha menyesuaikan ritme. Tapi sebelum dirinya sempat merasakan apapun, Rhevan sudah mencapai puncak. “Aaa...” desahnya panjang, tubuhnya menegang beberapa detik sebelum akhirnya ambruk di samping ranjang. “Mas, kamu udah selesai?” Nadine membuka matanya, menatap suaminya dengan alis berkerut. “Aku—” Rhevan melirik ke arah istrinya, nafasnya masih terengah-engah. Namun kali ini wajahnya lebih rileks dibandingkan sebelumnya. “Kenapa? Ada masalah?” “Bu—bukan gitu, Mas. Tapi aku…” Navira bangkit. Ia menatap suaminya dengan nanar. “Aku...” Ia tak melanjutkan. Kalimat uneg-uneg yang ingin ia katakan hanya sampai di ujung lidah. Ia takut suaminya marah. “Ngomong yang jelas, Nad!” Ia melirik ke arah istrinya yang mulai menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut. “Enggak Mas. Enggak apa-apa kok.” Perempuan berkulit putih itu memandangi suaminya yang sudah sibuk bermain ponsel. Jemarinya begitu lincah mengetik pesan entah kepada siapa. “Buatkan aku kopi!” Nadine menarik napas panjang, menahan gejolak di dadanya. “Iya Mas. Tapi, aku mau bersih-bersih dulu,” balasnya sambil bersiap untuk turun dari atas ranjang. Rhevan menoleh sebentar, wajah malasnya berubah menjadi kesal. Pria itu paling malas jika permintaannya dibantah. “Cepetan mandinya!” “Iya Mas, iya,” sahut perempuan itu sambil menahan pedih. Nadine akhirnya masuk ke kamar mandi. Pandangannya tertuju ke arah pantulan dirinya di depan cermin. Ia sungguh menyedihkan. Hampir 5 tahun menikah, ia tak pernah mendapatkan kepuasan batin. Hampir tiap mereka bercinta, suaminya selalu “selesai” lebih dulu. Ia sudah seperti tempat pembuangan sperma bagi Rhevan. Ia ingin mengatakan soal kepuasan batinnya pada Rhevan, sayangnya ia terlalu takut membuat Rhevan marah, terlebih dengan sikap temperamen dan mudah tersinggungnya. Tak hanya itu, suaminya juga selalu bersikap ketus dan dingin padanya. Selalu egois dan sering memerintah ia seenaknya. Memperlakukan Nadine layaknya ART, bukan seorang istri. “Mungkin ini hanya sementara.” “Aku yakin, Mas Rhevan akan berubah.” “Namanya juga menikah karena perjodohan. Pasti kita berdua harus saling beradaptasi.” Bertahun-tahun kalimat tersebut menjadi patokannya agar terus kuat menjalani rumah tangga bersama Rhevan. Namun sialnya, semakin ke sini ia merasa berjuang sendirian. “NADINE! CEPETAN MANDINYA! AKU MAU KOPI!” Perempuan itu tercekat. Ia segera mengusap air mata di wajahnya dan mencoba menstabilkan suaranya agar tak membuat Rhevan curiga. “Iya Mas, sebentar.” Dengan secepat yang dia mampu, Navira segera membersihkan bekas cairan cinta sang suami dan mengganti pakaiannya dengan yang bersih. Setelahnya ia segera ke dapur dan menyiapkan kopi sesuai keinginan pria yang 5 tahun lebih tua darinya tersebut. “Ini kopinya, Mas.” Sambil tersenyum, ia meletakkan cangkir berisi cairan hitam pekat itu di atas lemari kecil samping ranjang. “Lama banget sih!” “Maaf.” Rhevan meletakkan ponselnya di paha. Lalu mulai menghirup aroma kafein yang menguar dari kopi buatan istrinya. “Mas, aku boleh bicara nggak?” Dengan ragu, Nadine mulai buka suara. Ia duduk di pinggir ranjang dekat dengan Rhevan. “Soal apa?” tanya pria bermata tajam itu dengan ketusnya. “Mas, kita kan udah sudah lama menikah. Bagaimana kalau kita coba periksa ke dokter. Aku udah—” “Apa? Ke dokter?” potong Rhevan cepat, bahkan sebelum Nadine menyelesaikan kalimatnya. Wajah pria itu langsung mengeras mendengar ucapan istrinya. Seolah kalimat sederhana itu adalah penghinaan besar baginya. “Kenapa harus ke dokter?” suaranya meninggi, penuh tekanan. Nadine menelan ludah, jemarinya meremas ujung dasternya sendiri. “Bu—bukan gitu, Mas. Aku cuma... em— maksudku... kita udah hampir lima tahun nikah, tapi belum juga punya anak. Jadi—” “Jadi apa, Nad?!” Rhevan memotong cepat, untuk kedua kalinya. “Cepat ngomong yang jelas!” Nadine mengerjap, jantungnya berdetak kencang. Tapi ia memberanikan diri untuk tetap melanjutkan ucapannya. “Aku sudah buat janji sama dokter kandungan. Aku berniat ngajakin kamu untuk konsultasi soal program kehamilan.” Kalimat itu meluncur lirih dari bibir Nadine. Tapi cukup untuk membuat darah Rhevan naik ke ubun-ubun. PRAANG!! Cangkir kopi yang baru saja ia genggam dibanting keras ke lantai. Cairan hitam panas memercik liar, sebagian besar mengenai kaki putih Nadine. “Akhh!” teriak perempuan itu, spontan ia mengangkat kakinya ke atas ranjang dan mengusapnya cepat, efek terkena cipratan air kopi. “Kamu buat janji dengan dokter tanpa memberitahuku lebih dulu?” suara Rhevan meledak, matanya merah menahan amarah. “Berani-beraninya kamu lancang begini?” Nadine gemetar, air mata bercucuran tanpa bisa ditahan. “A-aku nggak bermaksud lancang, Mas. Lagipula aku sudah sering bahas ini, tapi kamu–” Rhevan tak peduli dengan penjelasan istrinya. Ia sudah terlanjur dikuasai amarah. Dengan kasar ia meraih dagu Nadine, mencengkeramnya kuat hingga perempuan itu terpaksa menatap wajah garang suaminya. “Dengarkan aku baik-baik!” suaranya berat, sarat ancaman. “Apapun alasannya, aku tidak mau pergi ke dokter! Kalau kamu maksa, pergi saja sana sendiri!” “Ma—Mas...” Nadine meringis, matanya berkaca-kaca karena dagunya sakit ditekan terlalu keras oleh jari-jari kasar suaminya. “Bukan salahku kalau kamu tidak kunjung hamil,” Rhevan melanjutkan, matanya menyipit penuh tuduhan, “itu jelas KESALAHAN kamu, Nad! Kamu yang mandul! Kamu yang gagal jadi istri! Kamu yang nggak becus melayani suami.” DEG! Ucapan itu menusuk dada Navira lebih tajam daripada pisau. Nadine terdiam, tubuhnya kaku, ia hanya bisa menangis dalam diam. “Beruntung kamu masih aku pertahankan sampai sekarang. Kalau bukan karena almarhum Pak Wijaya, dari dulu kamu sudah aku ceraikan!” lanjut Rhevan tanpa ampun, suaranya sinis dan penuh penekanan. Air mata Nadine jatuh semakin deras. Ia berusaha membuka suara, tapi tak ada satu kata pun yang sanggup keluar. Dagu yang masih dipegang erat membuatnya hanya bisa terisak tertahan. Setelah puas melampiaskan amarahnya, Rhevan akhirnya melepaskan cengkeraman itu dengan kasar. “Hapus air mata kamu itu! Aku muak melihatnya!” Nadine langsung memalingkan wajah, menutupi tangisnya dengan telapak tangan. Tubuhnya gemetar hebat. Sementara itu, Rhevan kembali meraih ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. “Minggir!” Ia menendang pinggang sang istri hingga Nadine nyaris jatuh dari atas ranjang. “Aku mau istirahat!” Perempuan itu terduduk di lantai kamar. Pinggangnya masih sakit akibat tendangan Rhevan barusan, sementara hatinya remuk berkeping-keping. Air matanya terus mengalir deras tanpa henti. Ia memandang lantai yang dipenuhi pecahan cangkir kopi—seolah mewakili perasaannya saat ini. “Mas Rhevan, kenapa kamu tega begini?”“Nadine!!” Suara bentakan itu menggema keras di ruangan, membuat semua kepala otomatis menoleh. Nadine spontan berdiri, wajahnya bingung, sementara jantungnya berdetak cepat. Clara berjalan cepat ke arahnya, menenteng beberapa lembar berkas dengan ekspresi penuh amarah. “Kamu ini kerja pakai otak nggak sih?!” Ruangan langsung hening. Bahkan suara AC pun seolah menghilang. “M—Mba Clara, ada apa ya?” tanya Nadine hati-hati, berusaha tetap tenang meski lututnya mulai lemas. Clara menepuk keras berkas itu ke meja Nadine hingga beberapa kertas berhamburan. “Lihat ini! Data kamu kemarin kacau semua!” Nadine terperanjat. Ia menunduk, mengambil lembaran itu dengan tangan bergetar. “Kacau gimana, Mba?” “JANGAN PURA-PURA GAK TAU, NADINE!” teriak Clara lagi, suaranya meninggi dan membuat beberapa rekan kerja di cubicle lain langsung pura-pura sibuk. “Karena ulah kamu, sistem laporan hari ini kacau total! Ada data penjualan yang gak sinkron sama gudang!” Sarah yang duduk tak jauh dari sit
Keesokan paginya, Nadine sudah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang jatuh lembut di bahu. Wajahnya tampak lebih segar dan tenang, meski semalam sempat diwarnai amarah. Saat keluar kamar, ia sudah melihat Rhevan duduk di meja makan, berpakaian rapi dengan kemeja biru muda dan jam tangan hitam yang selalu ia kenakan. “Pagi Mas,” ucap Nadine singkat. “Hmm,” balas Rhevan, tanpa menoleh lama. Jelas, dia sedang sibuk dengan hapenya, mana mungkin memperhatikan Nadine yang ada di depannya. Tak ada percakapan panjang di antara mereka. Pasutri itu sibuk menikmati sarapan masing-masing sebelum berpisah menuju tempat kerja. *** Sesampainya di kantor, Nadine tidak langsung naik ke lantai atas. Ia sengaja mampir dulu ke kantin di lantai dasar— sekadar memesan satu cup espresso. Aroma kopi langsung menyambutnya begitu pintu kantin terbuka. Suasana pagi masih sepi, hanya ada beberapa karyawan yang sibuk menatap ponsel sambil menunggu pesanan mereka. Nadine mengantre dengan sabar,
Sementara itu, di kamar tamu, Rhevan bersandar santai di kepala ranjang. Ia menarik napas panjang, berusaha melepaskan sisa emosi yang masih tertinggal sejak pertengkaran tadi. Ponselnya kembali diangkat—nama *Amanda* terpampang di layar. Begitu tersambung, suara lembut wanita itu langsung terdengar. “Mas kayaknya kamu udah sendirian ya sekarang?” godanya pelan, ada senyum kecil di ujung suaranya. Rhevan terkekeh kecil. “Kamu bisa tahu?” “Dari cara kamu ngomong,” jawab Amanda cepat. “Tadi pas masih ada Nadine, suaramu tuh... beda. Kaku, kayak nahan sesuatu.” Pria itu mengusap wajahnya, lalu menatap kosong ke arah langit-langit kamar. “Kamu benar. Sekarang aku sendirian.” “Tumben,” balas Amanda, nada suaranya menggoda. “Biasanya jam segini kamu udah di kamar sama dia.” Rhevan menghela napas berat. “Aku ada di kamar tamu sekarang. Abis berantem sama Nadine. Muak aku lihat mukanya.” Amanda tertawa kecil di ujung sana, tawa yang lembut tapi menyimpan nada puas. “Kenapa kalian bert
Nada dering dari ponsel yang ada di genggaman Nadine membuat perempuan itu agak terperanjat. Bukan itu saja, nama Dirga yang tertera di layar semakin membuatnya syok. Dirga. "Ngapain dia telfon?" tanyanya pada diri sendiri. "Apa jangan-jangan dia sadar kalau aku ngeliatin dia?" Dada Nadine langsung berdegup kencang. Pipinya memanas. Ia menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, berusaha menormalkan napas. “Halo?” Suara di seberang terdengar berat tapi hangat, rendah dan tenang seperti biasa. “Masih suka lihat-lihat ke balkon orang malam-malam gini?” Nadine membeku sejenak. Napasnya tertahan. “A-Apa?” tanyanya, pura-pura tak mengerti. “Aku—” “Tadi kamu berdiri di sana cukup lama.” Nada suaranya terdengar seperti senyum. “Kamu pikir aku gak sadar ya?” Pipi Nadine langsung memanas. Ia buru-buru memalingkan wajah, padahal tak ada siapa-siapa di sana selain dirinya sendiri. “Aku cuma cari udara segar. Kamu gak usah GR.” “Hmm.” Dirga terkekeh pelan, lembut tap
Nadine baru saja mematikan lampu tidur ketika pintu kamar terbuka. Rhevan masuk tanpa mengetuk, masih dengan ponsel di telinganya. “Halo, apa kamu sibuk? Aku mau bicara sebentar,” suaranya lembut, nyaris berbisik. "Hahaha. Benar. Itu kamu tau jawabannya." Langkahnya santai, seolah tak terjadi apa pun beberapa jam lalu. Nadine menatapnya dari tempat tidur. Dadanya terasa sesak, tapi ia tak bergerak. Perempuan itu mencoba untuk bersikap setenang mungkin. “Aku baru mau istirahat. Tapi tiba-tiba teringat sama kamu,” lanjut Rhevan sambil membuka kancing kemejanya. Tawa kecil keluar dari bibirnya, hangat—jenis tawa yang sudah lama tak pernah ia berikan pada Nadine. “Hmm… kamu juga? Hahaha. Bisa gitu ya?" Rhevan terus berbicara di telfon sambil berjalan ke arah Nadine dan mengambil bantal miliknya. "Seperti telepati." Nadine yang sudah berbaring hanya memperhatikan diam-diam dari balik selimutnya. Tatapannya tampak awas, dan pikirannya sibuk menebak-nebak. Tapi jujur, ia juga sedikit m
“Kamu baru pulang?” Suara Nadine terdengar lembut, hampir canggung. Tangannya masih sibuk merapikan rambut yang diikat ke belakang, berusaha tampak tenang meski jantungnya berdetak sedikit lebih cepat setiap kali mendengar suara pintu dibuka. “Eh, Mas?” Ia menoleh dan tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Iya nih. Kamu mau kopi?” Rhevan berdiri di dekat sofa dengan wajah yang sulit dibaca. Lelah, tapi juga sedikit kesal. Ia melepaskan jasnya dengan gerakan asal, melemparkannya ke sandaran kursi. “Belum masak?” tanyanya tanpa intonasi. Tapi nada dinginnya menusuk. “Belum Mas. Aku rencana mau beli aja.” Suara Nadine nyaris seperti bisikan antara setengah hati tapi juga agak takut. Rhevan mendengus, bibirnya menyeringai sinis. “Dasar pemalas. Temen-temenku di kantor aja bisa, pulang kerja langsung masak, beresin rumah, ngurus anak. Kamu? Baru kerja sehari aja rumah udah kayak kapal pecah.” Nadine terdiam. Ia menunduk sejenak, mencoba menahan diri untuk tidak terpancing. T












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments