Share

9. Kisah Masa Lalu.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-08 11:24:26

Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. 

"Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. 

"Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie.

"Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.

Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi. Wajah itu terpajang dalam bingkai mewah di dinding. Di sampingnya, ada foto lain. Seorang bocah kecil, diapit oleh sepasang suami istri yang garis wajah keduanya ada pada di diri ayahnya. Dugaan Marwa, itu adalah foto kecil ayahnya beserta kedua orang tuanya.

Air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. Siapa yang menyangka bahwa ayahnya ternyata adalah anak orang kaya? 

Langkah kaki terdengar mendekat. Marwa mengangkat wajahnya dan mendapati sepasang suami istri masuk ke dalam ruangan. Mereka tampak persis seperti di dalam foto. Rambut lelaki tua itu sudah memutih, sorot matanya tajam meski tubuhnya mulai renta. Wanita di sampingnya, dengan rambut tersisir rapi dan balutan kain elegan, menghentikan langkahnya seketika saat melihat Marwa. Marwa berdiri dari sofa. Ia harus bertingkah laku sopan di rumah orang.

Mereka bertiga terpaku dalam diam, seperti tengah berusaha menafsirkan perasaan masing-masing. Lalu, suara lirih namun penuh emosi terdengar dari wanita tua itu.

"Kamu... mirip sekali dengan Mariana."

"Orang-orang juga mengatakan hal yang sama Bu-" Marwa menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu harus memanggil apa pada sang oma. 

"Panggil saja Oma Lastri dan ini Opa Eko. Berdasarkan kertas yang ditulis oleh ayahmu, kami adalah kakek dan nenekmu. Ayo duduk kembali, Marwa." Oma Lastri mempersilakan Marwa kembali duduk di tempatnya. 

"Mana ayahmu? Dua puluh tahun sudah berlalu. Bukannya bersikap kesatria dan kembali baik-baik ke rumah, ia malah mengutusmu datang duluan," Opa Eko bersungut-sungut. Walau mengomel tapi Marwa menangkap kerinduan di mata tuanya. 

Marwa menundukkan kepala. Tenggorokannya tercekat. Sebenarnya ia tidak sampai hati mengatakan yang sebenarnya, tapi tidak mungkin juga ia berbohong. Dengan suara lirih, Marwa pun menjawab pelan, "Ayah... tidak bisa datang ke sini, Opa." 

Dahi Opa Eko mengernyit. "Kenapa? Ayahmu masih marah karena Opa dan Oma dulu melarangnya menikahi ibumu?" dengkus Opa Eko gusar.

Marwa menarik napas panjang, berusaha menahan udara mata yang mengancam turun. "Bukan, Opa. Ayah tidak bisa datang karena... Ayah sudah meninggal. Rumah kami kebakaran tiga hari yang lalu. Ayah, Bang Marco dan Kak Marsya meninggal dalam peristiwa itu. Hanya a--ku seorang yang selamat." Marwa berbicara dengan suara terbata-bata. 

Ruangan itu sunyi senyap. Oma Lastri menutup mulutnya dengan tangan gemetar, sementara tubuh Opa Eko bersandar lemah ke sandaran kursi. Mata orang tuanya berkaca-kaca, menatap Marwa dengan ekspresi tak percaya.

“Tidak… tidak mungkin…” suara Oma Lastri nyaris tidak terdengar. “Anakku… Maryadi… ia… sudah tiada?” Suara Oma Lastri terdengar pilu.

Marwa mengangguk perlahan. Berusaha tenaga menahan kesedihan. 

"Aku... Ibumu di mana sekarang?" tanya Oma Lastri lagi.

"Ibu meninggal lebih dulu, Oma. Kecelakaan lalu lintas. Seminggu kemudian... Ayah, Bang Marco dan Kak Marsya menyusul Ibu. Meninggalkan aku sendirian di dunia ini." 

Kali ini Marwa tidak sanggup lagi menahan kesedihan. Dadanya berombak-ombak menahan emosi yang membuncah. Air matanya berlelehan dengan nafas tersengal-sengal. Ia tidak berani mengeluarkan suara, agar tidak dianggap meminta simpati orang. Ia sudah terbiasa menahan sedih sendirian. 

Opa Eko memejamkan mata, rahangnya memaksa menahan duka yang begitu dalam. Sementara Oma Lastri terisak perlahan, gemetar dalam kesedihan. Anak yang ia rindukan kehadirannya siang dan malam telah tiada.

"Kemari, Marwa. Menangislah sepuasmu bersama kami." Opa Eko mengembangkan tangannya. Marwa berlari mendekat dan menumpahkan tangisnya di sana. Oma Lastri menyusul. Menjadikannya yang ketigaberpelukan dalam tangisan. 

“Oalah, kasihan kamu, Nduk… Nduk…” Oma Lastri mencium ubun-ubun Marwa. 

"Sebelum meninggal, Ayah memberikan aku secarik kertas bertuliskan alamat ini. Kata Ayah, jika terjadi sesuatu yang buruk, aku harus datang ke alamat ini. Aku tidak tahu kalau ini rumah Opa dan Oma," kata Marwa lirih. 

"Ayahmu sudah melakukan hal yang benar. Kamu adalah cucu kami. Darah daging kami. Kami akan melindungi kamu di sini." Mendengar penerimaan Opa dan Omanya, Marwa merasa sangat bahagia. Ia tidak lagi sebatang kara di dunia ini. 

Sejurus kemudian ART yang memandu Marwa tadi masuk ke dalam ruangan dengan membawa minuman di atas nampan. Ada juga beberapa kue-kue kering topless di sana. 

"Ayo minum dulu, Marwa. Cicipi juga kue-kuenya. Sambil makan, Oma akan menceritakan kisah ayahmu," ucap Oma Lastri sambil menghapus airmata. Marwa pun mengikuti kata sang oma. Ia menghapus air mata dan duduk kembali di kursinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ayu Cla
sumpah.... sedih banget ceritanya thor, nyesek dari awal baca banjir air mata
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
aku nangisss......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   86. Marahnya Orang Sabar.

    Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   85. Pindah Ke Rumah Baru.

    Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   84. Dasar Perempuan Sialan!

    Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   83. Mulai Mencari.

    "Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   82. Demi Kebenaran.

    Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   81. Saling Memaafkan.

    Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status