Share

9. Kisah Masa Lalu.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-05-08 11:24:26

Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. 

"Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. 

"Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie.

"Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.

Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi. Wajah itu terpajang dalam bingkai mewah di dinding. Di sampingnya, ada foto lain. Seorang bocah kecil, diapit oleh sepasang suami istri yang garis wajah keduanya ada pada di diri ayahnya. Dugaan Marwa, itu adalah foto kecil ayahnya beserta kedua orang tuanya.

Air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. Siapa yang menyangka bahwa ayahnya ternyata adalah anak orang kaya? 

Langkah kaki terdengar mendekat. Marwa mengangkat wajahnya dan mendapati sepasang suami istri masuk ke dalam ruangan. Mereka tampak persis seperti di dalam foto. Rambut lelaki tua itu sudah memutih, sorot matanya tajam meski tubuhnya mulai renta. Wanita di sampingnya, dengan rambut tersisir rapi dan balutan kain elegan, menghentikan langkahnya seketika saat melihat Marwa. Marwa berdiri dari sofa. Ia harus bertingkah laku sopan di rumah orang.

Mereka bertiga terpaku dalam diam, seperti tengah berusaha menafsirkan perasaan masing-masing. Lalu, suara lirih namun penuh emosi terdengar dari wanita tua itu.

"Kamu... mirip sekali dengan Mariana."

"Orang-orang juga mengatakan hal yang sama Bu-" Marwa menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu harus memanggil apa pada sang oma. 

"Panggil saja Oma Lastri dan ini Opa Eko. Berdasarkan kertas yang ditulis oleh ayahmu, kami adalah kakek dan nenekmu. Ayo duduk kembali, Marwa." Oma Lastri mempersilakan Marwa kembali duduk di tempatnya. 

"Mana ayahmu? Dua puluh tahun sudah berlalu. Bukannya bersikap kesatria dan kembali baik-baik ke rumah, ia malah mengutusmu datang duluan," Opa Eko bersungut-sungut. Walau mengomel tapi Marwa menangkap kerinduan di mata tuanya. 

Marwa menundukkan kepala. Tenggorokannya tercekat. Sebenarnya ia tidak sampai hati mengatakan yang sebenarnya, tapi tidak mungkin juga ia berbohong. Dengan suara lirih, Marwa pun menjawab pelan, "Ayah... tidak bisa datang ke sini, Opa." 

Dahi Opa Eko mengernyit. "Kenapa? Ayahmu masih marah karena Opa dan Oma dulu melarangnya menikahi ibumu?" dengkus Opa Eko gusar.

Marwa menarik napas panjang, berusaha menahan udara mata yang mengancam turun. "Bukan, Opa. Ayah tidak bisa datang karena... Ayah sudah meninggal. Rumah kami kebakaran tiga hari yang lalu. Ayah, Bang Marco dan Kak Marsya meninggal dalam peristiwa itu. Hanya a--ku seorang yang selamat." Marwa berbicara dengan suara terbata-bata. 

Ruangan itu sunyi senyap. Oma Lastri menutup mulutnya dengan tangan gemetar, sementara tubuh Opa Eko bersandar lemah ke sandaran kursi. Mata orang tuanya berkaca-kaca, menatap Marwa dengan ekspresi tak percaya.

“Tidak… tidak mungkin…” suara Oma Lastri nyaris tidak terdengar. “Anakku… Maryadi… ia… sudah tiada?” Suara Oma Lastri terdengar pilu.

Marwa mengangguk perlahan. Berusaha tenaga menahan kesedihan. 

"Aku... Ibumu di mana sekarang?" tanya Oma Lastri lagi.

"Ibu meninggal lebih dulu, Oma. Kecelakaan lalu lintas. Seminggu kemudian... Ayah, Bang Marco dan Kak Marsya menyusul Ibu. Meninggalkan aku sendirian di dunia ini." 

Kali ini Marwa tidak sanggup lagi menahan kesedihan. Dadanya berombak-ombak menahan emosi yang membuncah. Air matanya berlelehan dengan nafas tersengal-sengal. Ia tidak berani mengeluarkan suara, agar tidak dianggap meminta simpati orang. Ia sudah terbiasa menahan sedih sendirian. 

Opa Eko memejamkan mata, rahangnya memaksa menahan duka yang begitu dalam. Sementara Oma Lastri terisak perlahan, gemetar dalam kesedihan. Anak yang ia rindukan kehadirannya siang dan malam telah tiada.

"Kemari, Marwa. Menangislah sepuasmu bersama kami." Opa Eko mengembangkan tangannya. Marwa berlari mendekat dan menumpahkan tangisnya di sana. Oma Lastri menyusul. Menjadikannya yang ketigaberpelukan dalam tangisan. 

“Oalah, kasihan kamu, Nduk… Nduk…” Oma Lastri mencium ubun-ubun Marwa. 

"Sebelum meninggal, Ayah memberikan aku secarik kertas bertuliskan alamat ini. Kata Ayah, jika terjadi sesuatu yang buruk, aku harus datang ke alamat ini. Aku tidak tahu kalau ini rumah Opa dan Oma," kata Marwa lirih. 

"Ayahmu sudah melakukan hal yang benar. Kamu adalah cucu kami. Darah daging kami. Kami akan melindungi kamu di sini." Mendengar penerimaan Opa dan Omanya, Marwa merasa sangat bahagia. Ia tidak lagi sebatang kara di dunia ini. 

Sejurus kemudian ART yang memandu Marwa tadi masuk ke dalam ruangan dengan membawa minuman di atas nampan. Ada juga beberapa kue-kue kering topless di sana. 

"Ayo minum dulu, Marwa. Cicipi juga kue-kuenya. Sambil makan, Oma akan menceritakan kisah ayahmu," ucap Oma Lastri sambil menghapus airmata. Marwa pun mengikuti kata sang oma. Ia menghapus air mata dan duduk kembali di kursinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   10. Marwa yang Baru.

    "Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   11. Ketulusan Marwa.

    Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   12. Hianat!

    Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   13. Goodbye, My Ex-Lover.

    Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat

    Last Updated : 2025-05-09
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   14. Jumpa Lagi.

    Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k

    Last Updated : 2025-05-09
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   1. Cinta Pertama.

    Setelah menitip keranjang kue, Marwa berlari-lari kecil ke arah lapangan basket. Di sana terdengar suara bola basket memantul di lapangan serta sorak sorai yang riuh. Marwa berlari dengan tangan membawa sebotol air mineral dingin yang rencananya akan ia berikan pada seseorang. Saat sorak-sorai memanggil-manggil nama Haryo mulai terdengar, kaki Marwa semakin lincah berlari. Ia tidak mau tertinggal moment melihat Haryo—sang kapten basket beraksi. Selain itu ia juga berencana akan memberi Haryo air mineral seperti yang dilakukan oleh siswi-siswi yang lain. Haryo Laksono adalah pujaan siswi-siswi Budi Mulia. "Aduh!" Marwa jatuh terjerembab saat seseorang mendorong bahunya keras."Ngapain kamu ke lapangan basket, anak LC? Mau "jualan" seperti ibumu? Dasar bibit LC. Masih SMP sudah kegatelan kalau melihat laki-laki!"Suara Asila, salah seorang pembullynya di sekolah. Marwa berdiri sambil mengibas-ngibas kotoran yang melekat di bajunya. Siku dan lututnya terasa perih. Ternyata semen keras

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   2. Hidup Yang Suram.

    "Bilang pada mereka untuk mengurus masalah mereka sendiri. Tapi kalau mereka memang mau mengurusi kita, sekalian suruh urus juga token listrik dan uang kontrakan. Ibu pergi dulu." Bu Mariana mencangklong tas. Ia menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum keluar rumah. Ia harus mempersiapkan diri sebelum berjibaku dengan LC-LC baru dan muda-muda di club. Lihatlah, semua orang punya masalah sendiri-sendiri bukan? Malam semakin larut. Marwa masih duduk di lantai dapur, menyusun kue-kue buatannya. Tapi tangannya kini bergerak lebih lambat, pikirannya melayang pada kata-kata ibunya barusan.Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari depan rumah. Pintu didorong kasar hingga hampir lepas dari engselnya. "Astaghfirullahaladzim!" Marwa mengucap karena kaget. Ayahnya masuk ke dalam rumah dalam keadaan teler seperti biasa. Tubuh ayahnya limbung dengan aroma alkohol menyengat yang menusuk hidung."Brengsek! Hidup memang tidak adil!" Pak Maryadi menggeram kesal dan berjalan sempoyongan. Saat sampa

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   3. Layu Sebelum Berkembang.

    Setelah menitip kue-kue di kantin seperti biasa, Marwa berjalan ke kelasnya. Semilir angin pagi yang sejuk, membelai-belai kulitnya. Saat mendekati lapangan basket, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya ada suara bola basket yang memantul dan sorak-sorai para siswi yang sudah terdengar dari kejauhan. Namun kali ini lapangan basket tampak lengang.Haryo tidak main hari ini? gumam Marwa dalam hati. Biasanya Haryo selalu jadi yang pertama di lapangan sebelum bel berbunyi. Tapi kali ini, sosoknya tidak ada di sana.Marwa menguap lebar. Rasa kantuk masih menyelimutinya. Semalam ia tidur larut karena harus menyelesaikan pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Ada pelanggan yang memesan kue-kue basah untuk acara selamatan. Demi melawan kantuk Marwa memutuskan untuk mampir ke toilet sekolah. Ia akan membasuh wajah agar lebih segar.Baru saja ia bermaksud membuka keran air, sebuah suara memanggilnya."Marwa."Marwa tersentak. Ia buru-buru menoleh.Haryo. Mimpi apa ia semalam sampai-samp

    Last Updated : 2025-04-23

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   14. Jumpa Lagi.

    Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   13. Goodbye, My Ex-Lover.

    Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   12. Hianat!

    Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   11. Ketulusan Marwa.

    Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   10. Marwa yang Baru.

    "Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   9. Kisah Masa Lalu.

    Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   8. Meniti Masa Depan.

    Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   7. Selamat Tinggal.

    Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   6. Dendam!

    "Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.***Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status