Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup.
"Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik.
"Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie.
"Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.
Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi. Wajah itu terpajang dalam bingkai mewah di dinding. Di sampingnya, ada foto lain. Seorang bocah kecil, diapit oleh sepasang suami istri yang garis wajah keduanya ada pada di diri ayahnya. Dugaan Marwa, itu adalah foto kecil ayahnya beserta kedua orang tuanya.
Air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. Siapa yang menyangka bahwa ayahnya ternyata adalah anak orang kaya?
Langkah kaki terdengar mendekat. Marwa mengangkat wajahnya dan mendapati sepasang suami istri masuk ke dalam ruangan. Mereka tampak persis seperti di dalam foto. Rambut lelaki tua itu sudah memutih, sorot matanya tajam meski tubuhnya mulai renta. Wanita di sampingnya, dengan rambut tersisir rapi dan balutan kain elegan, menghentikan langkahnya seketika saat melihat Marwa. Marwa berdiri dari sofa. Ia harus bertingkah laku sopan di rumah orang.
Mereka bertiga terpaku dalam diam, seperti tengah berusaha menafsirkan perasaan masing-masing. Lalu, suara lirih namun penuh emosi terdengar dari wanita tua itu.
"Kamu... mirip sekali dengan Mariana."
"Orang-orang juga mengatakan hal yang sama Bu-" Marwa menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu harus memanggil apa pada sang oma.
"Panggil saja Oma Lastri dan ini Opa Eko. Berdasarkan kertas yang ditulis oleh ayahmu, kami adalah kakek dan nenekmu. Ayo duduk kembali, Marwa." Oma Lastri mempersilakan Marwa kembali duduk di tempatnya.
"Mana ayahmu? Dua puluh tahun sudah berlalu. Bukannya bersikap kesatria dan kembali baik-baik ke rumah, ia malah mengutusmu datang duluan," Opa Eko bersungut-sungut. Walau mengomel tapi Marwa menangkap kerinduan di mata tuanya.
Marwa menundukkan kepala. Tenggorokannya tercekat. Sebenarnya ia tidak sampai hati mengatakan yang sebenarnya, tapi tidak mungkin juga ia berbohong. Dengan suara lirih, Marwa pun menjawab pelan, "Ayah... tidak bisa datang ke sini, Opa."
Dahi Opa Eko mengernyit. "Kenapa? Ayahmu masih marah karena Opa dan Oma dulu melarangnya menikahi ibumu?" dengkus Opa Eko gusar.
Marwa menarik napas panjang, berusaha menahan udara mata yang mengancam turun. "Bukan, Opa. Ayah tidak bisa datang karena... Ayah sudah meninggal. Rumah kami kebakaran tiga hari yang lalu. Ayah, Bang Marco dan Kak Marsya meninggal dalam peristiwa itu. Hanya a--ku seorang yang selamat." Marwa berbicara dengan suara terbata-bata.
Ruangan itu sunyi senyap. Oma Lastri menutup mulutnya dengan tangan gemetar, sementara tubuh Opa Eko bersandar lemah ke sandaran kursi. Mata orang tuanya berkaca-kaca, menatap Marwa dengan ekspresi tak percaya.
“Tidak… tidak mungkin…” suara Oma Lastri nyaris tidak terdengar. “Anakku… Maryadi… ia… sudah tiada?” Suara Oma Lastri terdengar pilu.
Marwa mengangguk perlahan. Berusaha tenaga menahan kesedihan.
"Aku... Ibumu di mana sekarang?" tanya Oma Lastri lagi.
"Ibu meninggal lebih dulu, Oma. Kecelakaan lalu lintas. Seminggu kemudian... Ayah, Bang Marco dan Kak Marsya menyusul Ibu. Meninggalkan aku sendirian di dunia ini."
Kali ini Marwa tidak sanggup lagi menahan kesedihan. Dadanya berombak-ombak menahan emosi yang membuncah. Air matanya berlelehan dengan nafas tersengal-sengal. Ia tidak berani mengeluarkan suara, agar tidak dianggap meminta simpati orang. Ia sudah terbiasa menahan sedih sendirian.
Opa Eko memejamkan mata, rahangnya memaksa menahan duka yang begitu dalam. Sementara Oma Lastri terisak perlahan, gemetar dalam kesedihan. Anak yang ia rindukan kehadirannya siang dan malam telah tiada.
"Kemari, Marwa. Menangislah sepuasmu bersama kami." Opa Eko mengembangkan tangannya. Marwa berlari mendekat dan menumpahkan tangisnya di sana. Oma Lastri menyusul. Menjadikannya yang ketigaberpelukan dalam tangisan.
“Oalah, kasihan kamu, Nduk… Nduk…” Oma Lastri mencium ubun-ubun Marwa.
"Sebelum meninggal, Ayah memberikan aku secarik kertas bertuliskan alamat ini. Kata Ayah, jika terjadi sesuatu yang buruk, aku harus datang ke alamat ini. Aku tidak tahu kalau ini rumah Opa dan Oma," kata Marwa lirih.
"Ayahmu sudah melakukan hal yang benar. Kamu adalah cucu kami. Darah daging kami. Kami akan melindungi kamu di sini." Mendengar penerimaan Opa dan Omanya, Marwa merasa sangat bahagia. Ia tidak lagi sebatang kara di dunia ini.
Sejurus kemudian ART yang memandu Marwa tadi masuk ke dalam ruangan dengan membawa minuman di atas nampan. Ada juga beberapa kue-kue kering topless di sana.
"Ayo minum dulu, Marwa. Cicipi juga kue-kuenya. Sambil makan, Oma akan menceritakan kisah ayahmu," ucap Oma Lastri sambil menghapus airmata. Marwa pun mengikuti kata sang oma. Ia menghapus air mata dan duduk kembali di kursinya.
Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber
Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S
"Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya
Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep
Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.
Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra