"Aku bisa mengerti kalau Kak Marwa ingin mencari tahu tentang masa lalu Kakak, tapi aku mohon jangan melibatkan Kak Siska dalam bahaya," ujar Tony dingin."Tony," Bu Euis memperingatkan sang putra."Belum ada kepastian soal semuanya. Jangan sembarangan menuduh." Bu Euis mencoba bersikap bijak."Tidak apa-apa, Bu. Tony benar. Aku tidak seharusnya melibatkan pihak-pihak lain. Nanti, setelah Haryo datang, aku akan pindah dari rumah Ibu. Terima kasih karena kalian semua sudah menerimaku dengan baik selama ini."Marwa dengan besar hati meminta maaf. Ia mengerti akan keresahan hati Bu Euis dan Tony. Bu Euis dan Tony saling berpandangan. Sebenarnya mereka tidak enak juga bersikap seperti ini. Selama ini Marwa sudah sangat banyak membantu mereka. Tapi mereka juga memikirkan keselamatan Siska.Setengah jam kemudian, Haryo dan dua orang temannya—yang sepertinya adalah polisi—datang. Keduanya langsung memeriksa mobil yang dikendarai Siska tadi di parkiran. Mereka akan memeriksa mobil sambil menu
Sepeninggal Haryo, Siska membuka matanya perlahan dan memandang Marwa yang masih duduk di sisi ranjang. "Wa," gumamnya pelan, "kamu sudah cerita soal foto-foto itu pada Haryo?"Marwa menggeleng pelan. "Belum," jawabnya. "Tadinya aku mau cerita, tapi belum sempat ngomong, sudah keburu ditelepon disuruh ke sini."Siska mengangguk lemah. "Ya sudah. Nanti saat dia menjemputmu, perlihatkan saja foto-foto itu. Siapa tahu ia mengenalnya."Marwa mengangguk pelan. "Iya. Rencananya besok aku juga akan membawa foto-foto ini ke Tante Hilda dan Bu Ros. Siapa tahu mereka mengenal si Na yang ini," lanjut Marwa lagi."Setuju. Siapa tahu mereka tahu sesuatu. Aduh!" Siska meringis. Dahinya yang terluka berdenyut nyeri. Marwa segera menghampiri."Kepalamu sakit, ya, Sis? Aku panggil suster, ya?" seru Marwa panik."Ck, tidak usah. Cuma nyeri sedikit saja. Tidak usah lebay, deh." Siska mendecakkan lidah. Marwa menghela napas. Untung sahabatnya ini tidak kenapa-kenapa. Kalau sampai terjadi sesuatu yang ser
“Tidak apa-apa, Wa. Hidup memang tidak bisa diprediksi. Selalu penuh kejutan. Dan siap tidak siap, tetap harus kita hadapi.” Haryo merangkul Marwa hangat, mencoba menenangkan. Ia sangat memahami apa yang Marwa rasakan karena ia juga pernah mengalaminya.“Tapi kali ini kamu tidak sendiri. Ada aku yang menemanimu. Ayo, kita lihat dulu keadaan Siska,” bujuk Haryo lembut.“Iya. Tapi bagaimana caranya aku mengabari Tante Euis dan Tony? Mereka pasti cemas di Bandung sana.”“Pasti mereka cemas. Tapi mereka berhak mengetahui keadaan Siska. Ayo sekarang telepon mereka,” pungkas Haryo. Tanpa banyak bicara, Marwa segera menelepon Tony. Tony yang panik langsung mengatakan akan ke rumah sakit bersama sang ibu.“Sekarang kamu tarik napas dalam-dalam, tenangkan dirimu. Siska pasti akan baik-baik saja.” Haryo meminta Marwa menenangkan diri terlebih dahulu. Marwa pun mengikuti instruksi Haryo. Ia menarik napas panjang tiga kali dan menghembuskannya perlahan.“Sudah lebih lega?” tanya Haryo lembut. Mar
"Ya Tuhan, Marwa!" seru Siska sambil berdiri di ambang pintu kamar sahabatnya. "Ini kamar atau zona bencana alam?"Marwa menoleh dari depan cermin, tak merasa bersalah sama sekali. Di belakangnya, ranjang nyaris tak terlihat oleh tumpukan baju-gaun-gaun, blus, celana, dan scarf yang menggunung. Separuh pakaian itu miliknya, dan separuh lagi milik Siska. Ia tadi sudah meminta izin Siska untuk membongkar lemarinya."Aku harus tampil paripurna, Sis. Kamu seperti tidak pernah jatuh cinta saja," jawab Marwa santai."Ya, aku tahu." Siska masuk dan duduk di sudut ranjang. "Tapi kamu sudah mencoba... sembilan gaun, lima kulot, dan tujuh blus, lho." Siska menghitung tumpukan pakaian di ranjang. "Lho, kok diganti lagi?" seru Siska saat melihat Marwa melepas gaun fuschia-nya."Yang ini warnanya terlalu mencolok mata, Sis. Aku pasti sudah terlihat dari radius satu kilometer karena warna gonjrengnya," ucap Marwa sambil menatap tumpukan pakaian di ranjang. Ia kemudian menyambar gaun berwarna hitam
Marwa menghela napas panjang, menahan rasa lelah yang menyeruak begitu tirai ruang operasi ditarik kembali. Lampu sorot masih menyala terang di atas meja bedah, tapi tubuh pasien di hadapannya kini telah stabil. Operasi usus buntu yang barusan ia tangani berjalan sukses, meski tak bisa dibilang mudah.Pasiennya kali ini seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, yang terlalu mengabaikan sinyal dari tubuhnya. Sakit perut yang awalnya ia pikir hanya masuk angin ternyata berkembang menjadi peradangan akut. Baru ketika nyeri itu membuatnya berguling di lantai dan muntah berkali-kali, orang tuanya panik membawanya ke UGD. Hasil USG darurat menunjukkan bahwa usus buntunya sudah pecah.“Bagus. Semua stabil,” ucapnya sambil melepas sarung tangan bedahnya. Ia memeriksa ulang monitor dan mencatat perkembangan pasien. Sejenak, ia berdiri di samping tempat tidur, menatap pemuda itu yang masih tertidur di bawah pengaruh anestesi. “Kamu beruntung, Anak Muda. Sedikit lagi saja, infeksinya bisa menyeb
Pagi baru saja mulai bergulir ketika Marwa tiba di rumah sakit. Sinar matahari masih hangat, belum terlalu menyengat. Sehangat hati yang baru saja menerima pesan dari Haryo. Bahwa dia sudah ada di Jakarta dan akan mengajaknya makan malam nanti. Ia baru turun dari mobil saat matanya menangkap cuplikan kecil di lorong depan menuju Unit Gawat Darurat. Ia mendesah kecewa saat melihat ternyata Doddy lagi yang mendatangi UGD. Wajahnya babak belur dengan mata hampir tertutup karena bengkak. Ia berjalan setengah digendong oleh Pak Adam. Tidak tampak kehadiran Mbak Irna di sana. “Kamu ini kenapa sih, Dod? Bukannya pergi ke sekolah, ini malah tawuran pagi-pagi begini. Kapan sih kamu berubah?” gerutu Pak Adam sambil menggandeng lengan Doddy yang tampak limbung. "Ibumu sudah cukup pusing di rumah. Kamu malah menambahi beban pikiran. Kamu mau bikin sakit?"“Sudah, Pak. Jangan ceramah lagi. Saya muak mendengarkan!” seru Doddy lantang, meski suaranya agak serak karena hidungnya berdarah. “Semakin