Share

Cemas Memikirkannya

Part 2

Sudah genap seminggu, Malik pergi seminar ke Kalimantan. Selama seminggu berada di sana, pria berhidung mancung itu cuma beberapa kali memberi kabar pada Madina. Keesokannya, Madina kembali mencoba menghubungi nomor ponsel pria tercintanya, tetapi masih belum juga aktif. Perasaan khawatir pun terus melanda hati ibu beranak dua tersebut.

"Umi, Mi,” panggil Akbar pada sang ibu yang tampak tengah melamun.

Madina tersadar dari lamunannya. Sekarang, dia sedang menemani Akbar di dalam kamar milik sang putra tercinta. Akbar, putranya, meminta kepada Madina untuk menemaninya tidur.

"Iya, Sayang. Kenapa putra Umi, hmm?" tanya Madina penuh kasih sayang pada putra pertamanya.

"Umi sedang merindukan Abi, ya, Mi? Akbar juga sama, Mi, rindu sama Abi. Kapan Abi pulang, Mi? Akbar rindu salat berjamaah dan juga mengaji ditemani oleh Abi lagi, Mi," cerocos Akbar penuh harap pada Madina.

"Insyaallah, kemungkinan besok Abi pulang, Nak. Ya, sudah, sekarang Abang tidur dulu, ini sudah malam, Nak. Besok, kan, Abang sekolah. Besok pagi, Abang berangkat sekolahnya sama Ayah lagi, ya, Nak? Nanti, kalau Abi sudah pulang, Umi dan juga abimu yang kembali akan mengantar Abang ke sekolah seperti biasanya," tutur Madina lembut pada putranya.

"Iya, Mi." Akbar menuruti titah Madina, Umi tercintanya.

Setelah Akbar terlelap, Madina kembali ke kamar pribadinya. Usia kehamilan Madina sudah memasuki bulan ke delapan, buah cintanya dengan Malik. Madina merebahkan tubuhnya di atas peraduan, tempatnya bermanja dan meluahkan rasa bersama sang suami tercinta. Madina masih belum bisa terlelap, pikirannya masih berkelana jauh ke sana, ke tempat suaminya pergi seminar.

"Sayang, kamu rindu belaian hangat dari tangan abi kamu, ya, Nak? Umi juga sama rindu pada abi kamu, Nak. Ke mana perginya abi kamu, ya, Nak? kenapa nomor ponselnya enggak bisa Umi hubungi. Umi sangat mengkhawatirkan abi kamu di sana, Nak. Semoga abimu di sana selalu dalam lindungan Allah," ucap Madina lirih seraya membelai lembut perut buncitnya. Madina mengelus perutnya sambil berselawat hingga akhirnya bisa terlelap walaupun masih menyimpan perasaan gelisah memikirkan sang suami.

****

Malam telah berganti pagi. Usai menunaikan salat Subuh, Malik kembali lagi ke kamar Jihan. Dia ingin memastikan keadaan wanita itu, apakah sudah membaik atau belum.

"Mas, terima kasih karena semalaman kamu sudah mau menjagaku," ucap Jihan pelan pada Malik.

"Kamu sudah mendingan? Kamu itu seorang dokter, harusnya bisa menjaga kesehatanmu dengan baik, Jihan ... juga harus bisa mengatur pola makanmu," sahut Malik dingin.

Dokter ahli bedah itu sangat mengetahui kalau dahulu Jihan adalah sosok wanita yang sangat menjaga pola hidup dan kesehatannya dengan baik. Oleh sebab itu, Malik terkejut saat mengetahui Jihan mempunyai riwayat penyakit mag akut.

"Iya, sudah agak mendingan. Itu semua berkat perhatian dari kamu semalam, Mas. Jadi, rasa sakitku cepat sembuh. Maaf kalau semalam aku sudah merepotkan, Mas Malik," ucap dokter bermata sendu itu. Rasanya dia ingin waktu berhenti sejenak, agar bisa menikmati momen kebersamaannya dengan pria tersebut.

"Jangan lupa nanti sarapan kamu di atas meja dimakan, ya, Jihan. Saya kembali ke kamar saya dulu. Saya harus segera bersiap-siap karena pukul delapan nanti, jadwal penerbangan saya ke Jakarta."

"Iya, Mas. Jadwal penerbangan kita berarti sama, ya, Mas? Gimana kalau kita berangkat bersama saja ke bandaranya, Mas. Boleh, kan, Mas?" tanya Jihan dengan binar penuh harap. Wanita itu memohon pada Malik.

"Oke," jawab Malik singkat.

****

Setelah melakukan penerbangan selama kurang lebih dua jam, Malik tiba di Bandara Soekarno Hatta. Malik hendak pulang ke rumahnya dengan menggunakan taksi online. Namun, Jihan berhasil menahannya. Setelahnya, dokter bertubuh sintal itu menawarkan Malik agar pulang bersamanya. Kebetulan Jihan menitipkan kendaraan roda empatnya di area parkir khusus yang letaknya masih di kawasan Bandara Soekarno Hatta.

"Biar saya saja yang menyetir mobil ini. Wajah kamu masih terlihat pucat," ujar Malik datar pada Jihan.

"Baiklah, Mas. Aku ikut saja apa kata Mas Malik." Hati dokter berparas jelita itu merasa berbunga-bunga karena mendapat perhatian kecil dari Malik, sosok pria yang namanya masih bertakhta di dalam hatinya.

Malik mengendarai kendaraan Honda Jazz itu dengan kecepatan sedang. Mobil mewah itu bergerak pelan membelah jalan raya di depannya. Rasanya Malik sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan sang istri tercinta. Sudah dua hari dokter ahli bedah itu tidak menghubungi sang kekasih hati karena kesibukannya mengikuti seminar di Kota Samarinda.

'Maafkan suamimu ini, sayang,' batin Malik.

****

Sedangkan di tempat lain, di sebuah kawasan hunian mewah, Madina sedang menyuapi putranya. Akbar sudah siap dan terlihat sangat rapi dengan setelan seragam sekolahnya. Putra Madina dan Farzan sudah memasuki sekolah dasar pertama. Akbar satu sekolah dengan Maya, putri almarhumah Misha.

"Assalamu'alaikum. Akbar, ini Ayah, Nak! Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Farzan pada putra satu-satunya.

Pria yang masih terlihat tampan itu baru saja tiba di rumah mantan istrinya. Tujuannya datang ke rumah wanita yang pernah menjadi ratu di dalam hatinya adalah untuk menjemput putra mereka berdua. Farzan menunggu di teras, dia segan masuk ke rumah ibu dari kedua anaknya.

Farzan sadar statusnya dengan Madina bukan lagi mahram, jadi tak pantas jika masuk ke rumah mantan istrinya di saat suami Madina sedang tidak ada.

"Wa ‘alaikumus-salam." Madina menjawab salam dari ayah putranya. Madina keluar bersama Akbar yang sudah rapi dengan ransel di punggung. Akbar terlihat tampan, mirip sekali dengan Farzan, ayah kandungnya.

"Masyaallah, tampan sekali putra Ayah. Kamu sudah siap berangkat ke sekolah, Nak? Maya hari ini enggak masuk lagi. Adik kamu sedang enggak enak badannya," ucap Farzan seraya mengelus sayang kepala sang putra tercinta.

"Kamu yang sabar, Mas. Syafakillah untuk Maya. Aku titip Akbar, ya, Mas. Terima kasih untuk seminggu ini karena Mas sudah meluangkan waktu untuk mengantar jemput Akbar ke sekolahnya."

"Terima kasih kembali, Madina. Kamu enggak pernah berubah, masih sangat baik dan rendah hati seperti dulu. Mas bersyukur pernah memiliki istri sebaik kamu, Dina. Kalau masalah mengantar jemput Akbar, putra kita, sudah menjadi kewajiban Mas sebagai ayahnya. Kamu enggak perlu berterima kasih pada Mas, Dina," tutur panjang Farzan pada mantan istrinya.

"Iya, Mas," jawab Madina kikuk. Suasana di antara keduanya berubah canggung. Farzan tidak enak berlama-lama di rumah mantan istrinya. Farzan langsung pamit untuk mengantar putranya ke sekolah.

"Ya, sudah. Mas pamit, Dina, takut nanti telat ke sekolah. Assalamu'alaikum," pamit Farzan.

"Wa 'alaikumus-salam," jawab Madina.

Mobil Farzan sudah meninggalkan pelataran rumah Madina. Baru saja kedua kaki jenjang Madina hendak melangkah masuk ke rumah, tiba-tiba terhenti kala sepintas dia melihat ada sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di depan halaman rumahnya.

Kemudian, Madina melihat Malik keluar dari dalam mobil mewah itu. Terlihat jelas Malik tengah menebar senyum manisnya pada sosok wanita yang masih berada di dalam kendaraan roda empat tersebut. Sepertinya, Madina pernah melihat sosok wanita itu.

♡♡♡♡

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status