Share

Chapter 6

Author: Anana-chan
last update Last Updated: 2024-04-25 09:35:04

Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. 

“Mas?” 

Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. 

“Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. 

“Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. 

“Kemana?” tanyaku. 

“Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. 

“Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. 

“Iya Mas,” serunya kemudian. 

Aku tersenyum. 

“Makasih yah,” ucapku. 

Panggilan telepon terputus. Dia lalu mengirimkan pesan jika adiknya, Caca akan menemani kami. Jadi, aku dan dia tidak akan keluar bersama, berdua. 

Aku duduk di ruang tamu, Ummi tiba-tiba berada di sampingku.

“Yang kemarin tuh, benar hanya mahasiswa biasa? Kok ada gosip kalo kamu pacarana sama dia? Ummi nggak pernah izinkan kamu pacaran yah Faizal. Mana umur udah tua,” protes ummi. Aku tertawa melihat wajah ummi yang tampak tegang. 

“Astagfirullah ummi, siapa yang pacarana, itu nggak benar!”

“Serius?” Ummi menyipitkan mata memandangiku. Aku menganggukan kepala. “Ya, benar ummi!” jawabku. Aku menutup laptop dan segera ke kamar. 

“Besok, kita langsung aja lamar Alina.”

“Pokoknya ummi mau gercap!” ucap Ummi sedikit kesal. Aku memahami perasaanya. 

“Ya,” seruku. Ummi tersenyum bahagia. 

Aku ke kampus dan gadis lucu itu sudah kembali ke kampus. Benar adanya, dia pulang dengan sendiri. Aku bahkan tidak tahu jika dia semandiri itu. 

“Pak Faizal!” Dia sedikit berlari menghampiriku. 

“Ada apa?” Wajahku dingin memandanginya. 

“Terima kasih.” 

“Tapi kamu buat saya malu, hapus status di instagrammu itu!” protesku. Dia mengigit bibir bawahnya kesal. “Kan saya nggak sengaja postnya.”

“Lagi pula, buat apa juga bapak bawah bunga untuk saya?”

“Saya bilang, saya tidak sengaja kasih kamu bunga, itu buat ummi saya!” balasku dengan cepat. 

Aku pergi meninggalkannya. Aku menuju ruangan dosen. Dia terus berjalan di belakangku. 

“Bapak suka sama saya kan? Jujur saja! Saya tahu, bapak pasti suka sama saya,” ucapnya tiba-tiba. Aku terus berjalan dan tidak menghiraukan ucapannya. 

“Kalo bapak tidak suka, tidak mungkin bapak perhatian seperti itu sama saya.”

Aku menghentikan langkah dan spontan menatapnya. 

“Jangan geer, lagi pula saya tidak suka wanita sepertimu. Memang pernah saya bilang kalo saya suka?” 

“Kamu bukan tipikal saya, Bea. Bagaimana pun kamu berusaha menarik perhatian saya, saya tidak suka sama kamu!”

Dia terdiam. 

“Saya sudah tidak ingin berurusan. Sebaiknya selesaikan nilaimu semester ini biar bisa ikut wisuda.”

Gadis itu menghela napas panjang. Aku menatapnya. Dia tidak berani memandangiku. Dengan cepat dia menundukan wajahnya.

“Ya sudah.” Dia menunduk dan segera pergi. 

***

Lamaran dilaksanakan dengan cepat. Sesuai keinginan Ummi, lamaran akan dilaksanakan nanti malam. Benar-benar diluar dugaan. Di kampus, Ummi segera menghubungiku. 

“Nanti malam?” tanyaku sedikit tidak terima. 

“Ya, ada apa Faizal? Tidak masalah kan? Lagi pula, ummi Alyna sudah setuju dan Alina juga menginginkan hal itu.

Aku mengacak rambutku frustasi. 

“Kamu nggak mau?” Suara ummi tiba-tiba sendu.

“Nggak, bukan begitu, ini terlalu cepat ummi. Lagi pula, bukankah kita harus nunggu beberapa keluarga dari Malang?” tanyaku beralasan. 

“Semua tidak masalah Faizal kalo kita melamar Alina malam ini, abi sudah setuju. Kamu jangan banyak alasan.” Kini giliran abi yang berbicara. 

Setelah berdiskusi panjang, aku menutup sambungan telepon. Abdullah yang terheran segera menghampiriku. 

“Ada apa?” tanya Abdullah. 

“Mau lamaran.”

“Loh, bukannya bagus, perjodohan lagi yah?” kekehnya. Aku mengangguk. 

“Kali ini, wanitanya berbeda. Dia pilihan ummiku sendiri. Yah, aku nggak bisa menolak.” Aku menatap layar laptopku yang kosong. 

“Tapi mukamu kok nggak semangat gitu, aneh aja sih.” Aku tidak menjawab. 

“Gadis yang kemarin di rumah sakit, gimana?” tanyanya. Aku mengerutkan kening memandangi Abdullah. 

“Yang mana?” tanyaku. 

“Itu loh pak Faizal, mahasiswi itu,” kekehnya mengoda. 

“Ya ampun, dia hanya gadis biasa. Aku kasihan sama dia.” 

Aku merapikan meja kerjaku dan bersiap untuk pulang. Alina membatalkan pertemuan hari ini karena dia sibuk di rumah untuk menyiapkan pesta lamaran yang mendadak. 

“Aku mau pulang dulu!”

Aku berjalan keluar dari ruang dosen dan segera menuju parkiran. Dia parkiran, gadis itu sudah berdiri di samping mobil. Saat aku melangkah, dia segera menatapku dan tersenyum. 

“Kamu lagi, kamu lagi!”

“Pak, aku boleh nebeng nggak?”

“Nggak sopan!” ucapku. Aku membuka pintu mobil. “Serius nih, takut ada preman!” ucapnya beralasan. 

Dia menatapku dengan serius. 

“Nggak, pokoknya nggak bisa!” Aku membuka pintu mobil dan segera masuk. Bibirnya berkerucut kesal. 

“Ya udah!” sahutnya lirih. 

Mobil melaju. Namun melihat pelipisnya yang masih diperban, entah mengapa aku mendadak kasihan kepadanya. 

“Rumahmu di mana?” Dengan cepat aku menurunkan kaca spion mobil. Aku memandanginya. 

“Di panti Al-Jannah, bapak tahu?” Aku mencoba memikirkan dimana panti itu. 

“Aljannah?” ulangku. Namanya tidak asing. 

“Oke, masuklah!”

Dia segera masuk. Mobil melaju menuju panti Al-Jannah. Aku pernah sekali ke sini saat ummi memintaku membawah beberapa sumbangan. Rupanya gadis aneh dan ajaib ini tinggal di panti Al-Jannah, kok aku tidak pernah melihatnya yah?

Dua atau tiga kali aku pernah datang ke panti ini. Dan ummi cukup dikenal oleh ibu panti. Di depan gerbang, aku menghentikan laju mobilku. 

“Sudah sampai!”

Dia membuka pintu dan tersenyum. 

“Makasih Pak!” sahutnya lalu segera masuk ke dalam gerbang. Rambutnya yang terurai panjang tersibak karena angin yang cukup kencang.

“Nak Faizal?” suara itu mengagetkanku. 

“Nggak ingat saya Nak?” Aku segera turun saat seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Dia tersenyum dengan sangat ramah. Ummi selalu datang di panti ini dan konon, saat aku ulang tahun, ummi selalu merayakannya di sini. 

“Hmm…,” aku mencoba berpikir, siapa wanita itu. 

“Saya Nak, ibu Jubaidah!” ucapnya memperkenalkan diri. Aku tersenyum sambil mencium pundak tangannya. Aku mengenal ibu Jubaidah. Lima tahun lalu, aku bertemu di rumah sakit saat aku demam. 

“Ibu disini sama siapa?” tanyaku. 

“Loh, kamu lupa yah, ibu yang punya panti ini,” kekehnya. Aku hampir lupa, ibu Jubaidah pemilik panti ini. Aku pernah bertemu sekali di sini. Ku pikir, dia sedang membawah bantuan. Rupanya dia pemilik panti ini. Jadi, dia pasti mengenal Bea. 

“Ibu kenal gadis yang baru saja masuk ke dalam?” tanyaku. Ibu Jubaidah menganggukan kepala dengan cepat. 

“Iya, kenal. Namanya Bea Aliqa Ayu.”

“Anaknya baik loh, mahasiswa Nak Faizal yah?” tebak ibu Jubaidah. Aku tersenyum tipis sambil menganggukan kepala. 

“Ya,” sahutku. Ibu Jubaidah tersenyum. 

“Ibu masuk dulu yah!” ucapnya meninggalkanku. 

“Ya bu, hati-hati.”

Ku pandangi ibu Jubaidah hingga menghilang dari balik pintu. Rupanya, gadis itu tinggal di sini. Aneh saja, apa dia benar-benar tidak memiliki orang tua? Apa dia kesulitan membayar uang kuliahan sehingga cuti satu semester? 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 39

    Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 38

    Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 37

    Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 36

    Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 35

    Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 34

    Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 33

    “Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 32

    Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 31

    Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status