Di tengah misi mencari calon istri, Faizal bertemu dengan Bea. Gadis manis yang berani melamarnya di depan gerbang kampus. Siapa sangka, pertemuannya dengan Bea malah memupuk cinta di hatinya. Faizal sudah berjanji akan menerima siapapun yang dijodohkan olehnya. Seorang gadis bernama Alina datang di tengah kegundahan itu. Dia adalah calon istri yang diinginkan keluarganya. Lagi-lagi, takdir membawahnya kepada dua cinta. Bea, mahasiswa yang pertama kali ditemuinya atau Alina, wanita pilihan orang tuanya.
View More"Nak, kapan kamu membawah calon menantu untuk Ummi?"
Seperti biasa, Ummi akan bertanya hal seperti itu. Wajahnya terlihat sedih. Dia menatapku dengan pandangan sendu. Kadang juga, dia menangis. Hatiku remuk melihat bidadariku menangis hanya karena perkara jodoh yang tidak kunjung datang di hidupku.
"Sampai kapan Nak Faizal?" lirihnya. Air matanya menetes di pipi. Aku hanya bisa menunduk. Bingung harus menjawab apa.
Namaku Faizal, lelaki dewasa yang sampai saat ini tidak memiliki pasangan. Umurku 30 tahun dan konon, aku sudah sangat pantas untuk menikah, itu yang sering aku dengar dari mereka. Berprofesi sebagai dosen Fisika tidak membuat hidupku mudah mendapatkan jodoh.
Aku terlalu dingin dan penakut, itu yang dikatakan mang Dadang, satpam di kompleks sebelah yang selalu aku ajak minum kopi di kedai mbak Sri.
"Faizal akan berusaha Ummi, kalo memang belum ada yang pas, Faizal pasrah dengan pilihan Ummi," ucapku.
Ummi mengengam tanganku dengan lembut, dia mengelus kepalaku dan mengecupnya. Air matanya menetes lagi dan lagi.
"Yah, masalah jodoh, memang nggak bisa dipaksakan juga. Faizal sudah dewasa, dia bisa menentukan pilihannya sendiri."
Abi keluar dari dalam kamar dan bergabung di ruang tamu bersama kami. Dia menatapku dengan serius. "Itu yang abi katakan lima tahun lalu, saat kamu memilih mengambil studi di Inggris untuk program doktor. Tapi sekarang, sudah sangat berbeda, Faizal," sambung abi sedikit cemas.
"Kami sudah mau meminang cucu," kekehnya sambil tersenyum. Dia berusaha menghibur ummi yang dari tadi menangis sesegukan di sampingnya. Abi sangat romantis kepada ummi. Ummi adalah cinta pertamanya. Bahkan abi rela memperjuangkan ummi dan membawah ummi ke Mesir untuk menemaninya bersekolah.
"Ya, diusahakan lah, Nak. Kalo ada yang kamu suka, langsung gercap aja bawah ke ummi. Kami insyallah setuju dengan wanita pilihanmu, Nak."
Aku menghela napas panjang.
"Insyallah Abi, doakan selalu Faizal, anakmu ini. Doa Abi dan Ummi sangat berarti untuk Faizal. Doa itu lah yang membuat Faizal akan menemukan sang bidadari Faizal," ucapku berlemah lembut.
Ummi menyeka air matanya, dia tersenyum.
"Bagaimana kalo ummi memperkenalkan kamu dengan putri dari sahabat ummi? Insyallah, dia gadis sholeha, namanya Alina. Cantik, menawan dan juga berpendidikan. Dia adalah putri dari ummi Ayna."
Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
"Bibi Ayna punya putri?"
Yang aku tahu, sahabat ummi itu tidak memiliki putri. Ummi mengangguk pelan. "Ya, pokoknya lihat dia dulu deh. Masalah jodoh mah, nanti kita pikirkan lagi. Intinya kamu bertemu dia dulu." Aku mengangguk setuju. Demi membahagiakan surgaku, aku akan melakukan hal itu.
Setelah berbicara dengan ummi, aku berpamitan untuk ke kampus. Hari ini, aku akan mengajar beberapa mata kuliah di kampus Tunas Bangsa.
"Dosen tampan!" sahut suara itu. Aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Siapa yang berani mengodaku? Apa dia tidak punya sopan santun?
Aku menatap seorang gadis cantik tersenyum ke arahku sambil malu-malu memberikan surat.
"Ini surat cinta, Pak." Tangannya bergetar. Dia terus menunduk karena ketakutan. Aku tidak menjawab apapun. Ku pandangai surat yang dibawahnya. Surat itu penuh dengan tanda love dan ada hiasan ciuman di sana.
Apa? Maksudnya dia mengatakan cinta kepada dosennya sendiri? Apa dia tidak tahu ini wilayah kampus. Aku ingin marah tapi melihat wajahnya yang ketakutan, hatiku jadi luluh.
“Saya tidak butuh surat cinta!:”
"Tidak masalah pak, bapak bisa ambil saja dulu."
Aku mengambil surat itu dan dia bergegas berlari. Aku tidak pernah melihatnya di sekitar fakultas. Bahkan, ku yakin dia bukan mahasiswaku. Berani-beraninya dia menyatakan cinta kepadaku?
Aku menatap surat itu lalu menyimpannya ke dalam saku. Gadis itu pergi entah ke mana.
***
"Dapat surat cinta lagi?" Abdulla menepuk pundakku. Aku menoleh dan menatapnya. Aku tersenyum dan mengangguk dengan pelan.
"Ya, mahasiswa di sini tuh suka sama kamu, Faizal."
"Kamu aja terlalu dingin, galaknya minta ampun."
"Siapa sih yang nggak tertarik dengan seorang Faizal, dosen tampan, kaya raya, punya bisnis dan juga ... dia sangat bertanggung jawab dengan pekerjaanya."
Abdullah tertawa terbahak-bahak, dia sepertinya sedang mengejekku, biarlah. Jika seperti ini dia bahagia, aku tidak masalah. Aku sudah lama selalu diisukan dekat dengan seorang mahasiswa. Padahal, mereka yang mendekatiku dan aku tidak pernah meresponnya.
Ada yang gila lagi, seorang mahasiswa mengaku telah mengandung bayiku. Saat itu, ummi sampai di larikan ke rumah sakit karena kaget. Untung saja, mahasiswa itu akhirnya mengaku salah setelah aku mengancamnya.
Namaku hampir saja buruk.
"Sila? Anisa, Aisyah? Atau mau Rahmani?"
Abdullah menyodorkan beberapa foto ke arahku. Aku menoleh dan menatapnya.
"Aku nggak mau dijodoh-jodohkan seperti gini sih."
Abdullah, salah satu sahabatku yang bekerja di kampus ini. Abi yang membuat Abdullah berhasil diterima sebagai dosen. Abdullah sudah menikah satu tahun lalu dengan mahasiswanya sendiri. Kadang, Abdullah sengaja memperlihatkan keromantisannya agar aku segera menikah.
"Mereka tuh bersedia jika kamu mengkhitbahnya."
"Sebenarnya masalahnya bukan di wanitanya, tapi masalahnya di kamu, Faizal. Kamu tuh nggak mau buka hatimu."
Ku perhatikan lima foto yang berada di tangan Abdullah. Semuanya terlihat cantik. Tapi, bukan kecantikan yang menjadi point utama dalam memilih calon istri untukku.
"Annisa, dia lulusan Kairo. Dia anak dari salah satu kyai di kampungku. Aku sudah menjelaskan kepadanya tentang dirimu. Insyallah, kalo kamu bersedia bertemu dengannya, aku akan memberikan fasilitas. Abinya juga setuju, dia ingin bertemu denganmu kalo kamu serius ingin berkenalan dengan putrinya."
LIhat sikap Abdullah kan? Dia bahkan mewawancarai kelima gadis itu untuk dijodohkan denganku. Aku seperti lelaki yang tidak bisa memilih jodohku sendiri dan harus bergantung dengan bantuan orang lain.
"Nggak dulu," jawabku singkat. Joko dan Abdullah saling pandang dalam keheranan. Aku mengeser foto Anisa dan menyuruhnya untuk menyimpannya saja.
"Ummiku akan memperkenalkan kepadaku seorang gadis cantik."
"Aku insyallah nurut sama dia saja," jawabku sambil tersenyum. Kedua lelaki itu sontak mengucap syukur.
"Akhirnya batu karang luluh juga," kekehnya.
Saat memberikan pelajaran di kelas, tidak jarang mahasiswa mencoba untuk mengodaku. Karena statusku yang masih single dan tampak misterius, mereka nekad untuk mencari informasi tentangku. Itu sudah hal biasa, aku seperti artis saja di kampus ini.
"Gimana pak Faizal, surat cintanya diterima nggak?"
Gadis itu belari saat aku baru saja berjalan ke parkiran kampus. Dia tersenyum. Wajahnya sangat manis. Ada gingsulnya yang membuat wajahnya tidak bosan dilihat.
Rambutnya terurai panjang, gadis itu menatapku sambil mengedipkan mata. Manis sekali caranya. Tapi aku tidak suka.
"Kamu siapa?" suaraku dingin.
"Saya Bea, Bea Delina. Bapak belum kenal saya? Saya mahasiswa di sini!" Dia menjulurkan tangannya untuk berpegangan tangan. Aku terus memperhatikannya secara serius.
"Saya sibuk."
"Lain kali, kamu harus tahu untuk sopan kepada orang yang lebih tua. Berapa umurmu?"
"22 tahun pak, sebentar lagi lulus." Setiap dia berbicara, senyuman tidak pernah lepas dari wajahnya.
Aku membuka pintu mobil dan segera masuk.
"Saya tidak tertarik dengan kamu!" ucapku lalu menjalankan mobil dan pergi dari hadapannya. Dari kaca spion, ku lihat wajahnya yang cemberut. Dia berdecak kesal. Aku tersenyum. Dia benar-benar lucu.
***
Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan
Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku
Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b
Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s
Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed
Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments