Share

Chapter 7

Author: Anana-chan
last update Last Updated: 2024-04-25 09:35:38

“Jadi, Bea tinggal di sini?” 

Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?

Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. 

“Ummi kenal ibu Jubaidah?” 

Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. 

“Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. 

“Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. 

“Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. 

“Namanya Bea, ummi kenal?” 

“Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lagi mau buat pesantren dan ummi lagi kordinasi sama ibu Jubaidah. Gimana kalo anak panti Al-Jannah yang sulit bersekolah dimasukan ke pesantren itu saja, abimu setuju.”

“Mau ikut?”” 

Aku tanpa berpikir panjang langsung menganggukan kepala. 

“Tentu saja ummi, insyallah, hari Ahad yah?” 

“Ya, aku mau ke sana,” ucapku dengan cepat. Ummi menyentuh pipiku. Baru kali ini aku bersemangat ke panti. Biasanya aku sangat malas. 

“Tapi malam ini, kamu harus bersiap melamar Alina.” Aku hampir lupa jika hari ini aku harus ke rumah Alina. Aku hanya bisa tersenyum saat ummi menyadarkanku. 

“Insyallah.”

“Faizal siap-siap dulu ummi.”

Aku segera masuk ke dalam kamarku. Dengan cepat aku menyediakan baju yang akan aku gunakan. Setelah sholat Isya, keluarga besar Abdillah akan ke rumah bibi Ayna untuk melamar Alina, putri semata wayangnya. 

Abi sejak tadi pagi sudah sangat sibuk menghubungi beberapa keluarga besar yang akan menemaniku. Bagiku, aku dan abi saja, itu sudah sangat cukup. 

Setelah sholat Isya berjamaah, kami sekeluarga segera ke rumah Alina. 

“Apa benar kamu suka dengan pilihan ummi?” tanya ummi saat kami berada di dalam mobil. 

“Pasti Faizal suka lah, Alina cantik, berpendidikan, bukankah seperti itu wanita yang diinginkan Faizal?” ucap Abi yang sedang sibuk menyetir. 

“Pas lah, kalo kata orang dulu, Alina dan Faizal itu dua orang yang sama-sama berbobot dan memiliki ilmu. Sekufu lah,” kekeh bibi Jamilah yang duduk di samping Ummi. Bibi Jamilah adalah adik dari ummi dan rumahnya tidak jauh dari rumah kami. 

“Tapi kan, perlu ditanya lagi masalah ini sama Faizal,” sahut Ummi yang dari tadi menatapku. Seakan sedang menunggu jawabanku saat ini.

“Insyallah, Faizal mau sama Alina. Atas restu abi dan ummi. Lagi pula, ini sudah dibahas kan. Jadi Faizal sedang memantapkan hati.”

Semua yang berada di dalam mobil mengucap syukur. Mereka sangat bahagia karena aku sebentar lagi akan berjodoh dengan seorang gadis yang menurut mereka sangat pantas untuk mendampingiku. Seorang calon dokter dan wanita sholeha. Alina berasal dari keluarga terpandang. Memiliki orang tua yang sama-sama seorang pendidik. 

Kata Abi, aku sangat mahir memilih calon istri. Itu kata mereka. 

“Faizal?” ummi memanggilku. Aku dengan cepat memandanginya. 

“Sudah sampai, ayo turun,” kekehnya. 

Ummi mengengam tanganku dan kami turun bersama. Ummi sangat memanjakanku. Padahal aku masih memiliki adik bernama Aisyah yang sedang bersekolah di Kairo. Kata ummi, karena Aisyah sedang pergi jadi aku adalah anaknya yang sangat dekat dengan mereka. 

Bibi Ayna dan pak Irwan menyambut kami dengan baik. Di dalam sana, ada Alina. Wajahnya merona berseri apalagi saat aku memandanginya. Dia terus menunduk dan senyuman tidak pernah lepas dari wajahnya. 

Dia sangat cantik dan anggun. 

“Nggak usah dilihat terus.”

“Takut zina mata,” kekeh Ummi mengoda. Semua yang berada di ruangan itu tertawa. Pipi Alina semakin merona. Menambah kecantikan yang ada di dalam wajahnya. 

“Ihh Ummi, malu tahu,” gumamku. 

Proses lamaran berjalan dengan lancar. Kedua pihak keluarga besar sepakat akan melangsungkan pernikahan sebulan lagi. Itu adalah rencana awal. Hari ini, mereka membahas tanggal yang tepat. Alina menginginkan pernikahan dilaksanakan tanggal 20. Hari itu adalah hari ulang tahunnya dan semua keluarga setuju. 

Aku ikut saja apa yang diinginkan Abi dan Ummi. Setelah acara lamaran selesai, aku dan keluarga besar segera pulang. Alina tampak bahagia. Dia terus menatapku dan kami saling melempar senyuman. 

“Aku akan datang seminggu lagi.”

“Iya Mas,” ucapnya dengan lembut sambil menundukkan wajahnya. Manis sekali. 

Abi dan ummi mengatakan jika saat ini, aku tidak boleh berhubungan dengan intens demi menjaga hati kami berdua. Aku sejujurnya tidak masalah. Tapi dengan Alina, aku tidak tahu, apakah dia setuju untuk kami tidak begitu berkomunikasi intens untuk beberapa minggu ini. Di dalam mobil, aku mengirimkan pesan kepada gadis aneh bernama Bea. 

[Kamu sakit?]

Tidak ada balasan. Hingga sampai di rumah dan beristirahat, pesan itu tidak kunjung berwarna ceklis biru. Aku menyimpan ponselku di atas meja. 

***

Acara lamaran menyebar dengan cepat di grup keluarga. Aisyah yang cuek membuka suara. Dia sangat mengagumi calon kakak ipar barunya. Katanya sangat cantik. Semua orang memuji kencantikan Alina.

“Calon dokter, pasti anaknya sangat baik,” kata Aisyah yang segera menghubungiku. 

“Kakak beruntung,” kekehnya.

“Pokoknya bulan depan, Aisyah akan datang ke Indonesia. Aisyah nggak mau tahu, pokoknya harus hadir,” ucapnya lagi. Aku ikut tertawa mendengarkan suara lucu dari adikku itu. 

“Memangnya, abang Rahmat izinin kamu?”

Aisyah sudah menikah setahun lalu. Dia dilamar oleh seniornya yang juga bersekolah di Kairo. Abi dan Ummi sangat setuju. Dia menginginkan Aisyah memiliki pendamping yang menemaninya bersekolah di luar negeri. 

“Insyallah.”

“Abang Rahmat baik, pasti izinin lah,” gumam Aisyah. Dia layar ponsel itu, ada wajah Rahmat yang sedang duduk di samping Aisyah. Rahmat adalah adik tingkatku dulu. Dia terpesona dengan Aisyah saat aku mengajaknya ke rumah. 

Rahmat diterima di salah satu kampus di Kairo. Karena ketertarikannya kepada Aisyah dan takut jika pada akhirnya rasa cinta itu melukainya. Dengan keberanian, dia datang ke rumah kami untuk mempersunting Aisyah. Putri kesayangan abi. 

Keluarga besar Abdillah tentu saja menerima Rahmat. Pernikahan dilaksanakan satu bulan sebelum mereka berangkat ke Kairo untuk melanjutkan kuliah. Aisyah melanjurkan kuliah di jenjang Magister sedangkan Rahmat menempuh jenjang dokter di sana. 

“Insyallah kami doakan dari sini bang Faizal,” ucap Rahmat yang menyapaku. 

“Insyallah, aamin. Jaga Aisyah di sana yah, apalagi dia kadang berubah jadi monster,” kekehku mengoda. Bibir Aisyah manyun, dia tampak cemberut. Namun dengan cepat Rahmat mengelus kepalanya dan membuatnya tersenyum. Kedua adikku itu memang sangat mahir menampilkan keromatisan mereka.

“Ya sudah, aku mau tidur dulu Aisyah,” ucapku. Aku mengakhiri telepon dengan salam. Ummi datang ke kamar. 

“Besok, jadi ikut ummi kan?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. 

“Ajak Alina, nggak masalah kan?” tanya ummi lagi. Dia menunggu persetujuanku. 

“Nggak masalah Ummi,” jawabku kemudian. Besok, aku akan menemui wanita itu, tentu saja aku penasaran dengannya. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 39

    Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 38

    Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 37

    Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 36

    Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 35

    Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 34

    Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 33

    “Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 32

    Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 31

    Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status