LOGIN“Mas mau ke mana?” tanya Ghea cepat saat Juna bangkit dari atas ranjang. Juna menoleh sambil tersenyum miring, sorot matanya hangat namun penuh arti. “Kenapa? Nggak mau Mas pergi, ya?” godanya pelan. Ghea memalingkan wajah, tapi rona merah di pipinya tidak bisa disembunyikan. “Bukan gitu...” gumamnya nyaris tak terdengar. Juna mendekat, menunduk sedikit, lalu mengecup kening Ghea lembut. “Tenang aja, Mas cuma mau ngunci pintu sebentar,” ucapnya lirih sebelum berbalik menuju pintu kamar. Langkah Juna baru beberapa tapak ketika suara dari luar terdengar — langkah tergesa di lorong dan suara lembut tapi jelas, “Ghea? Kamu di kamar, Nak?” Mata Ghea langsung membesar, jantungnya berdegup kencang. “Mas! Itu Mami!” bisiknya panik. Juna sontak menoleh, wajahnya menegang sesaat sebelum ia menempelkan telunjuk di bibir, memberi i
Ghea berdiri terpaku di depan pintu kamarnya. Wajahnya masih merah, antara malu dan bingung.Sementara Juna berdiri hanya beberapa langkah darinya, tatapannya dalam, seolah sedang menahan sesuatu yang berat di dadanya.“Mas…”“Duduk dulu,” potong Juna pelan. Ia menunjuk ke tepi ranjang, nada suaranya lembut tapi tegas.Ghea menurut, menunduk tanpa berani menatap.Suasana kamar terasa hening—hanya suara hujan yang jatuh di luar jendela.“Mas tau kamu marah,” ucap Juna akhirnya, suaranya rendah, serak.“Tapi Mas nggak bisa pura-pura nggak punya perasaan lagi, Ghe.”Ghea menatapnya perlahan. “Perasaan?” bisiknya.Juna mengangguk, lalu melangkah mendekat hingga kini berdiri tepat di hadapan Ghea.“Mas sayang sama kamu,” katanya lirih.“Dan itu bukan karena kita sering bareng, bukan karena Mas kasihan, tapi karena Mas benar-benar ngerasa... kamu bagian dari hidup Mas.”“Mas…” suara Ghea bergetar, jemarinya menggenggam ujung sprei.“Tapi kita… kita nggak boleh, Mas. Kita keluarga.”“Sepupu,
“Malam, sayang. Kamu datang?” ujar Mami Ghea sambil menutup tas di tangannya. “Tante baru mau keluar nih, tapi Ghea ada di dalam kok.”“Gak apa-apa, Tante,” jawab Juna sopan namun nadanya terdengar tegas. “Juna memang mau ketemu bocah nakal itu.”Mami Ghea terkekeh pelan, belum tahu ada apa di antara keduanya. “Ya sudah, Tante duluan ya. Jangan berantem, kalian udah besar. Ngobrol baik-baik.”“Siap, Tante,” jawab Juna sambil tersenyum menenangkan.Begitu mobil sang Mami keluar dari halaman, suasana rumah itu menjadi senyap. Hanya suara jangkrik dan gerimis kecil di luar jendela yang menemani langkah Juna menuju teras. Ia mengetuk pintu pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras.Dari dalam terdengar langkah tergesa. Pintu terbuka.“Mas?” suara Ghea terdengar terkejut, matanya langsung membulat. “Ngapain malam-malam ke sini?”“Ngobrol,” jawab Juna datar, menatap wajah Ghea yang tampak kaget. “Mas gak bisa tidur kalau belum ketemu kamu.”“Mas, udah malem
“Gimana, Ghe? Cantik nggak calon mas-mu?”Suara lembut tapi penuh maksud itu keluar dari bibir sang mami, sembari menyodorkan selembar foto ke arah Ghea.Ghea menatapnya sekilas — dan matanya langsung membulat.Bukannya ini... Kak Celina? batinnya tercekat.“Ghe? Kok bengong?”Suara mamanya membuyarkan lamunannya.“O-oh… cantik, Mi. Cantik,” jawab Ghea cepat, berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang. Ia tersenyum tipis, lalu menyerahkan kembali foto itu ke tangan sang mama.Maminya tersenyum puas.“Kata tante kamu, Celina ini selain cantik, juga mandiri dan pintar. Cocoklah buat Juna.”Ghea hanya mengangguk kecil. Tapi dalam dadanya, rasa sesak tiba-tiba muncul. Ada sesuatu yang menekan, membuat napasnya terasa berat.“Mi, Ghea mau mandi dulu, ya. Gerah banget dari tadi.”Tanpa menunggu jawaban, Ghea buru-buru bangkit dan melangkah pergi menuju kamar tamu.Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia bersandar pada daun pintu, menatap kosong ke arah lantai.Air matanya menitik tan
Begitu pintu tertutup, suara tawa dan obrolan dari luar seketika menghilang.Kini hanya ada mereka berdua — Ghea dan Juna — dalam ruang sempit tanpa cahaya.“Mas, kenapa sih harus narik aku segala?” tanya Ghea, suaranya bergetar, bukan karena marah, tapi karena jantungnya yang berdetak terlalu cepat.Juna menatapnya, diam. Sorot matanya membuat udara di antara mereka terasa lebih padat.“Karena kalau kamu terus lihat aku kayak tadi, aku nggak bisa tenang,” ujarnya lirih, menahan sesuatu dalam suaranya — sesuatu yang tak seharusnya diucapkan.Ghea menelan ludah. Ia tahu tatapan itu, tatapan yang dulu hanya akan ia lihat di mimpi-mimpi yang tak pernah berani ia akui.“Mas... jangan liat aku kayak gitu. Kita... nggak boleh—”“Justru itu yang bikin aku nggak bisa berhenti,” potong Juna, langkahnya maju satu, dua.Ghea mundur, tapi punggungnya lebih dulu menyentuh dinding.Kini jarak mereka hanya sejengkal. Nafas keduanya terca
Pagi itu rumah keluarga Juna terasa lebih hidup dari biasanya.Dapur penuh suara riuh: tawa para ibu, bunyi panci beradu, dan aroma masakan yang memenuhi udara.“Ghea, sini bantu Mami potong sayur!” panggil Mami Ghea, tersenyum pada putrinya yang baru datang.Ghea segera menghampiri, sambil menyapa mama Juna yang berada di samping sang ibunda. “Pagi, Tante…”“Pagi, Sayang,” jawab Mama Juna ramah, memeluk Ghea sejenak. “Wah Mbak, sekarang Ghea udah makin cantik aja, ya. Mirip Maminya banget nih.”" Jelas dong, dan syukurnya dia mewarisi lebih banyak dari aku." Jawab mami Ghea sembari tertawa kecil.Sedangkan Ghea, gadis itu tersenyum malu, sementara dari ruang makan terdengar suara Juna yang sedang berbicara dengan papanya. Ia tampak santai, tapi sempat menoleh sekilas ketika mendengar suara Ghea.Tatapan mereka bertemu sepersekian detik—cukup untuk membuat Ghea cepat-cepat memalingkan muka.“Eh, lihat tuh Juna,” celetuk Mama Juna sambil tersenyum menggoda ke arah adiknya.“Udah waktun







