Beranda / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Jejak Masa Lalu dan Bayangan Perseteruan

Share

Jejak Masa Lalu dan Bayangan Perseteruan

Penulis: Mr.IA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 12:16:41

Pagi itu, halaman depan rumah keluarga Winata di bilangan Menteng dipenuhi mobil hitam berplat pejabat. Wartawan sudah berbaris di pagar besi setinggi tiga meter. Kamera-kamera diarahkan ke pintu utama, dan mikrofon disodorkan pada siapa pun yang keluar.

“Apakah benar Raka Arya Pradana berencana menikahi mantan wanita penghibur?”

“Apakah ini bentuk pembangkangan terhadap keluarga Winata?”

“Benarkah Ny. Indira Pradana akan melakukan konferensi pers hari ini?”

Sementara itu, di dalam ruang utama yang didominasi marmer dan lukisan lukisan besar, aroma tegang menggantung.

Raka berdiri menghadap kedua orangtuanya—Pak Arya dan Ny. Indira.

Ibunya mengenakan blus putih elegan, tapi pandangan matanya lebih tajam dari pisau. Sedangkan sang ayah hanya duduk diam, memandang jendela dengan ekspresi nyaris kosong.

“Raka,” suara ibunya dingin. “Apa yang kau lakukan ini… adalah penghinaan bagi seluruh garis keturunan kita.”

Raka menghela napas. Ia sudah tahu ini akan datang. Tapi tetap saja, rasanya
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka Bukan Akhir, Tapi Arah Baru

    Rumah Luka tampak lebih hidup dari biasanya. Sejak Nayla pulang dari forum internasional, relawan berdatangan, permintaan wawancara berdentang seperti pintu yang tak berhenti diketuk. Tapi dari semua itu, ada satu yang membuat Nayla terdiam paling lama: undangan dari Kementerian Sosial untuk menjadikan Rumah Luka sebagai proyek percontohan nasional.“Bayangkan, Nay,” kata Bu Dirjen saat pertemuan tertutup di gedung kementerian. “Program ini bisa diperluas ke 30 kota. Nama kamu akan masuk sejarah sebagai penggerak perubahan.”Nayla hanya tersenyum tipis. Bukan karena ia tidak tersentuh. Tapi karena ia tahu, semakin besar nama yang dibawa, semakin besar pula risiko yang ditanggung.⸻Malam harinya, ia berbincang panjang dengan Raka.“Kalau ini berkembang, aku nggak akan bisa melindungi semua orang di Rumah Luka dari media, gosip, atau bahkan politisasi.”Raka memegang tangannya. “Tapi kamu juga akan menjangkau perempuan yang belum punya suara. Kamu bisa jadi gema untuk mereka.”Nayla te

  • Di Balik Nama dan Luka   Nama yang Dikenal, Luka yang Diterima

    Sorotan lampu panggung itu hangat, tidak menyilaukan, tapi cukup terang untuk membuat bayangan siapa pun yang berdiri di sana tampak utuh. Aula besar di Singapura itu dipenuhi ratusan orang dari berbagai negara. Di spanduk belakang panggung tertulis besar:“Southeast Asia Women’s Forum 2025 — Breaking The Silence”Nama Nayla tertera sebagai salah satu keynote speaker. Tidak lagi sebagai “mantan wanita malam” atau “istri konglomerat misterius.” Tapi sebagai Founder Rumah Luka dan aktivis pemulihan martabat perempuan.Di kursi barisan depan, duduk Raka, ibunya, dan perwakilan Rumah Luka—Ayu, gadis muda yang dulu tak berani menulis namanya di formulir.Nayla mengenakan kebaya modern warna abu-abu lembut. Tidak mencolok, tapi anggun. Ia berdiri di podium, membuka pidatonya dengan kalimat yang membuat aula sunyi seketika:“Saya tidak pernah bangga dengan masa lalu saya. Tapi saya selalu bersyukur karena ia tidak membunuh saya. Ia membentuk saya.”⸻Dalam lima belas menit, Nayla berbicara t

  • Di Balik Nama dan Luka   Menyusuri Jalan Pulang Tanpa Topeng

    Langit sore menggantung jingga saat kereta perlahan melaju menuju arah timur—menuju sebuah desa kecil di kaki pegunungan, tempat di mana nama Nayla dulu dikubur oleh bisik-bisik tetangga dan cibiran keluarga. Di dalam gerbong kelas eksekutif, Nayla duduk dengan tenang. Di pangkuannya, ada seikat bunga sedap malam dan sebungkus kue bolu pisang yang dibungkus kertas minyak. Oleh-oleh kecil, untuk rumah tua yang pernah disebutnya rumah ibu. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya. Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Keduanya tahu, perjalanan ini bukan sekadar pulang—ini penebusan yang tak pernah diminta siapa-siapa, tapi penting bagi jiwa Nayla sendiri. ⸻ Kampung itu belum banyak berubah. Warung kopi masih di pojok gang. Masjid masih menyiarkan adzan dari pengeras suara yang sama. Hanya satu yang berubah: usia. Anak-anak yang dulu bermain petak umpet kini remaja. Orang-orang tua sudah lebih ringkih, lebih pendiam, tapi tetap menyimpan ingatan yang tajam. Nayla dan Raka berjala

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Balik Jatuhnya Nama, Ada yang Tetap Bertahan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi suasana hati Nayla tidak. Ia baru saja menerima panggilan dari salah satu sahabatnya, Nadia, yang terdengar panik.“Nay… kamu harus lihat TV sekarang!”Nayla menyalakan layar datar di ruang tamu Rumah Luka. Dan di sana, wajahnya terpampang jelas di sebuah program gosip pagi:“Terkuak! Mantan PSK yang Kini Jadi Tokoh Perempuan—Benarkah Semua Cuma Rekayasa?”Di layar, muncul video lama—rekaman saat Nayla masih menjadi “teman malam”—diedit secara kejam dan diberi narasi yang menjatuhkan. Potongan suara, bayangan wajah, bahkan suara tawa kasar dijadikan pengiring.Bukan hanya itu. Salah satu “narasumber anonim” mengklaim bahwa Rumah Luka hanyalah “tempat mencuci dosa dengan cara menjual kesedihan.” Nama Nayla dibakar hidup-hidup di media.⸻Raka segera pulang dari galeri seni. Ia menemukan Nayla duduk diam, memeluk lututnya di sofa. Matanya kosong. Tangannya menggenggam remote, tapi tidak menekan apapun.“Ini perang, Rak,” bisiknya. “Mereka

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka yang Tak Meminta Dimaafkan, Tapi Dimengerti

    Rumah Luka telah berjalan hampir dua bulan. Di hari-hari yang sunyi, tempat itu menjadi pelabuhan kecil bagi mereka yang kehilangan arah. Tapi di hari-hari yang penuh cahaya, tempat itu menjadi mercusuar—menerangi jalan bagi mereka yang ingin bertarung, tapi tak tahu ke mana melangkah.Nayla mulai terbiasa dengan rutinitas barunya: menyeduh teh untuk para penghuni, mengatur jadwal pelatihan, dan menulis jurnal refleksi di malam hari. Ia merasa damai. Tenang. Tapi kedamaian kadang seperti air yang tenang sebelum badai.Pagi itu, sebuah surat tanpa pengirim ditemukan di kotak pos. Kertasnya sudah agak lecek, lipatannya tidak rapi. Nayla membuka pelan-pelan. Di dalamnya hanya ada tiga paragraf, ditulis tangan, dengan huruf miring yang seperti tergesa.Nayla,Aku tahu aku tak pantas menulis ini. Tapi aku tak bisa mati sebelum minta maaf padamu. Aku adalah salah satu orang yang menghancurkan hidupmu dulu—aku, si pria yang membawamu pertama kali ke “rumah itu”.Aku tak minta dimaafkan. Aku

  • Di Balik Nama dan Luka   Warna-Warna yang Tak Pernah Dilihat Dunia

    Udara Jakarta siang itu hangat, dengan langit yang tampak lebih jernih dari biasanya. Di salah satu sudut kota, sebuah rumah bertingkat dua dengan cat putih dan jendela lebar dibuka untuk umum. Di pagar depannya, terpasang sebuah papan nama sederhana bertuliskan:“RUMAH LUKA – Tempat Berteduh, Tempat Bertumbuh.”Nayla berdiri di depan pintu, menyambut satu per satu tamu undangan yang datang. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya erat. Hari itu adalah hari peresmian lembaga yang telah lama mereka impikan—sebuah rumah pemulihan untuk para perempuan yang terjebak dalam dunia gelap, seperti dirinya dahulu.Bukan panti. Bukan tempat tinggal sementara. Tapi rumah—dengan semua makna pulang di dalamnya.⸻Di ruang tamu rumah itu, ada satu lukisan besar hasil karya Raka. Bukan gambar wajah atau pemandangan. Tapi abstrak. Campuran warna hitam, merah tua, kuning terang, dan biru lembut.Seorang jurnalis bertanya, “Apa makna dari lukisan ini?”Raka menjawab, “Itu warna-warna yang tak pernah d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status