Tampak tiga orang pria, salah satu Bang Rozak yang tengah berjalan menuju lokalisasi dari jalan setapak yang akan kami lalui, untung kami bisa menghindar. Tidak terbayang jika kami kepergok sedang berusaha kabur. Dito memegang tanganku begitu erat, bahkan mencengkeram. Sepertinya dia juga begitu takut. Aku bernapas lega ketika ketiga lelaki itu sudah berlalu.
"Dito, lepasin tangan Kakak. Bang Rozaknya sudah pergi," kataku.
"Aku nggak takut sama Bang Rozak, Kak."
"Terus kenapa kau Pengan tangan Kakak kuat-kuat?"
"Aku takut sama yang menghuni batang kemiri ini, Kak. Katanya kalau malam suka bergelantungan," katanya sambil nanar menatap ke atas.
"Hiiii, ada tuh di atas!" pekikku.
"Haaaa!!!" Dito berlari kencang meninggalkan aku dengan barang-barangnya.
Aku menyusulnya dengan kepayahan membawa barang yang begitu banyak, nyesal aku menakut-nakutinya.
"Tadi kudengar di sini yang teriak." sebuah suara cukup kencang mengage
POV AinaYa ampun, kenapa Dito musti balik lagi ke sini? Untung anak itu bisa berbohong, kalau tidak, entah sudah seperti apa nasib kami. Ada untungnya juga Dito kembali lagi ke sini, akhirnya Bang Rozak dan kawan-kawannya pergi juga dari sini. Sekarang aku harus berusaha mengangkat beban berat ini sendirian. Mana barangnya berplastik-plaktik gini, aku kesulitan memegangnya.Aku berjalan di jalan setapak ini dengan terseok-seok, mana gelap lagi ... Beberapa kali aku terjatuh dan barangnya bercecer. Aku meneguhkan langkahku, memberi semangat dari dalam, kesulitan ku ini tak seberapa jika dibandingkan kesulitan dan kepahitan hidup yang akan kurasakan jika aku tertangkap oleh Samadin dan dijualnya.Akhirnya sampai juga di sekolahan Dito, aku segera menuju teras kelas, istirahat di sana. Kuletakkan barang-barang yang kubawa, lenganku sampai sakit. Suasana sepi dan gelap cukup menyeramkan, membuat bulu kudukku meremang. Hanya lampu jalan depan SD yang menjadi p
POV AinaMobil pak Seno melaju dengan kecepatan sedang menuju pinggiran kota, sebuah daerah yang tidak pernah kurambah. Rumah di sisi kiri kanan jalan tampak banyak rumah yang besar dan megah dengan halaman yang luas. Pak Seno membelokkan mobilnya memasuki sebuah rumah yang paling megah bercat krem dengan rilief ukiran berwarna oranye. Rumah ini memiliki garasi yang sangat luas, di sana bertengger tiga mobil, ada sebuah sedan yang sangat bagus, Mobil Van yang sangat mewah melebihi mobil yang dipakai pak Seno dan sebuah mobil mini truk."Kita sudah sampai, ayo keluar. Sepertinya semua anggota keluarga ada di rumah."Suara Pak Seno membuyarkan aku yang tengah terbengong melihat kemegahan rumah dan suasananya di hadapan."Ini rumahnya, Pak?" tanya Mamak tampak gugup."Nur, aku kan sudah bilang jangan panggil Pak," kata Pak Seno."Aku pembantu di sini, kalau aku panggil Mas nanti dikira kekasihmu atau istri siri. Setelah kupikir, aku wajib
"Haris, Om Seno itu cari pembantu, bukan cari calon istri buat kamu, untuk apa musti cantik? Yang pentingkan rajin bekerja," Anak tertua, Hasan Basri menimpali.Ah, ternyata anak sulung mereka lebih bijaksana."Mas, ngapain sih kamu pakai ngomentari mereka?" kata Istrinya, Nirmala.Ya ampun, suaminya sudah baik gitu, istrinya ternyata judes."Lah emang kenapa? Suka-suka mulut akulah mau ngomong apa!" jawab Hasan ketus.Dari sini aku sudah bisa melihat, hubungan suami istri ini tidak harmonis, bicara mereka selalu bernada tinggi, tidak ada kelembutan dan keromantisan sama sekali. Ya Allah ... Terjebak di lingkungan seperti apa aku sekarang? Sepertinya bakal sulit ke depannya."Ya sudah, Seno tolong antar mereka ke pavilium ya?" kata Bu Halimah."Ayo ...," ucap Pak Seno ke arah kami sambil menggelengkan kepala sekali.Kami mengikuti langkah Pak Seno di belakang, kami melewati dapur dan pintu belakan."Pak S
Hari sudah menunjukkan jam setengah tujuh pagi, Aku menyeka keringat yang bercucuran di dahi. Ini hari keduaku membantu Mamak menjadi pembantu di rumah besar ini, pinggangku sudah terasa pegal, namun mengingat Pak Seno menjanjikan bayaran yang lumayan, karena statusku yang masih pelajar, menjadi pelayan di rumah ini cukup menguntungkan bagiku dari segi ekonomi.Tugasku membersihkan seluruh area rumah dan pekarangan setiap pagi, aku sudah memulai pekerjaan ini dari sehabis subuh, tetapi dua jam setengah berlalu, Aku hanya mampu membersihkan lantai bawah rumah mewah ini, lantai atas sama sekali belum kusentuh. Mengingat hari ini adalah hari pertamaku sekolah, Aku menjadi sedikit panik, aku sama sekali tidak ingin terlambat ke sekolah. Kemarin Mamak sudah mendaftarkan di sekolah yang terdekat dari tempat ini, lokasinya tidak terlalu jauh, bisa di tempuh jalan kaki jika aku berangkat jam tujuh tepat.Dengan tergesa-gesa, Aku menaiki tangga untuk membersihkan lantai atas, di sana terdapat
Sesampainya sekolah, Alhamdulillah masih lima menit lagi sebelum masuk, segera kuparkirkan sepeda di dekat parkiran sepeda motor, aku segera berlari mencari di mana kantor guru untuk melapor, aku memasuki lorong sekolah, banyak siswa siswi yang kutemui di lorong, aku ingin bertanya pada mereka di mana kantor guru, namun wajah mereka acuh tak acuh, aku jadi segan untuk bertanya pada mereka, sepertinya tampangku yang seperti ini sangat tidak menarik perhatian mereka.Akhirnya aku menghela napas lega, karena terlihat sebuah pintu yang bertuliskan kantor guru, aku segera menemui salah satu guru yang tengah berdiri di dekat pintu."Selamat pagi, Pak. Saya siswi baru, melapor ke mana ya, Pak?" tanyaku dengan wajah bingung."O, kau siswa baru? Kelas berapa?""Kelas dua, Pak.""Mari saya antar ke wakil kepala sekolah, biar nanti ditempatkan di kelas mana."Aku mengikuti Pak Guru yang belum kutahu siapa namanya menuju meja wakil kepala sekolah, ternyata aku di tempatkan di kelas Pak Ilham, gur
"Dimas ...." Tanpa sadar aku menggumamkan nama itu. "Wah, baru diomongin dah nongol aja pacarmu." Suara nyaring Reni mengembalikan kesadaranku, aku kembali menekuni buku novel di tanganku. Aku benar-benar gugup, kenapa aku harus gugup? Memangnya siapa Dimas? Aku hanya mengenalnya sebentar, dia bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak ingin punya masalah sama Renata, gadis itu pasti tidak senang pacar kebanggaannya mengenal gadis Kumal sepertiku. "Aina?" Panggilan itu terdengar begitu dekat. Aku mendongakkan wajah, Dimas sudah berdiri di hadapanku, sejenak aku menjadi linglung, kenapa dia musti menghampiriku? Tidak bisakah kita pura-pura saling tidak mengenal? Aku memandang ke samping, kulihat Sandi menyipitkan mata di balik lensanya, pasti anak ini heran aku bisa mengenal Dimas. Suasana tampak mencekam, keempat gadis populer itu tengah menatapku dengan tatapan tajam, Reni dan Rosa bahkan menyilangkan tangannya ke dada, Rita bahkan berkacak pinggang. "Aina? Kau sekolah di sini?" tanya Di
Aku masih mendiamkan kotak kecil itu tergeletak di atas meja, tentu saja aku ragu menerimanya, buat apa anak ini repot-repot memberiku hadiah."Ambillah, Ai ... Aku sengaja membelinya dua tahun yang lalu khusus untukmu, jangan kau tolak," ujar anak itu sambil mendorong kotak itu ke hadapanku."Apa ini?" Aku ragu-ragu mengambilnya."Hanya hadiah kecil, harganya juga tidak mahal, sengaja aku membobol celengan demi membeli ini, berapa banyaklah uang yang dimiliki anak SMP," jawabnya sambil menyeruput es tebu.Aku ragu-ragu menyentuh kotak itu, seperti menyentuh barang keramat yang terlarang, pantas tidak aku menerima hadiah dari bocah ini? "Ambil, bukalah ...." Wajah Dimas tampak sudah hilang kesabaran, dia benar-benar berharap aku menerima pemberiannya, aneh sekali, ngasih hadiah kok maksa.Aku terpaksa membuka kotak itu, terlihat kalung perak dengan liontin berbentuk hati."Apa ini? Kenapa hadiahnya seperti ini?" Aku memprotesnya, hadiah ini terlalu intim, kenapa musti liontin berbent
Aku menghela napas, sedikit lega. Melihat Sandi begitu serius belajar, dalam hati juga bertekad menyudahi masa kebodohan. Aku bisa memiliki nilai lebih dari segi prestasi, buktinya tugas fisika tadi, Pak Sarjito memujiku karena benar semua, hanya aku yang benar semua selisih satu poin dari Sandi. Aku baru tahu selama ini Sandi selalu mendapat ranking pertama di kelas, tapi kenapa anak itu justru kulihat selalu menyendiri? Bahkan beberapa anak selalu merundungnya secara verbal, apakah gaya Sandi yang cupu? Mungkin saja.Sandi nampak lebih pendiam, entah perasaanku saja, apakah dia merasa tersaingi olehku sekarang?"Aku meremehkan dia, sepertinya otaknya lumayan encer," kata Reni."Otak encer untuk apa? Zaman sekarang cewek itu harus cantik, baru ada yang suka," jawab Rita.Telingaku serasa berdengin mendengar mereka membicarakan aku, apa mereka tidak punya perasaan? Orang yang mereka bicarakan ada di belakang dan dengan jelas dapat mendengar percakapan tersebut.Aku cuma bisa menebal