"Lepaskan aku! Kalian berdamailah dulu, sudah itu aku baru mau berteman dengan kalian berdua lagi." Ketepis tangannya aku segera berlari menuruni tangga ke lantai satu.Di belakang kedua anak itu mengejarku dengan saling menyikut dan menjegal. Aku tidak peduli. Aku berlari menjauhi mereka hingga di gedung RRI, baru aku akan menyetop angkot dari sini."Nah! Akhirnya ketangkap juga kau, Pelacur kecil!"Aku terkejut, merespon dengan cepat situasi yang kualami. Ingin berlari namun tubuhku sudah dibekap dari belakang, lengan kekar dan berotot melingkar dileherku, sementara tangan satunya lagi membungkam mulutku dengan kuat. Bau nikotin dan alkohol tercium dari tubuh lelak ini. Aku mencoba memberontak sekuat tenaga, namun kekuatanku benar-benar tidak sebanding dengan lelaki yang belum kulihat wajahnya ini. Hanya mataku yang reflek membuka selebar-lebarnya.Dari arah depan empat orang laki-laki seram yang sangat kukenal tengah berjalan dengan arogan ke arahku, pria paling depan memakai jak
Lamat-lamat terdengar suara obrolan di dekatku, kesadaranku sudah pulih, namun mataku susah sekali untuk dibuka, mungkin efek obat tidur yang diberikan mbak Mawar."Mawar, kau segera pulanglah ke lokalisasi, kau sudah tiga hari di sini. Apa kau tidak ada tugas layanan?" Aku sangat familiar dengan suara ini, ini suara bang Rozak."Aku sedang haid, Bang. Durasi waktu haid-ku tujuh hari, ini baru empat hari masih ada tiga hari lagi. Biarlah aku di sini selama tiga hari lagi untuk menjaga anak itu," jawab mbak Mawar."Memangnya bos Samadin tidak keberatan? Kau kan wanita kesayangannya.""Dia tidak keberatan, daripada aku juga nganggur di sana."Otakku cepat merespon, apa maksud Meraka sekarang kami tidak berada di lokalisasi? Lantas di mana?"Kalian menculik Aina apa tidak takut dilaporkan polisi?" tanya mbak Mawar. "Siapa yang berani melaporkan? Kemarin Samadin mengancam teman cowok anak itu yang sok jagoan itu, Samadin bilang jika sampai mereka dan siapapun berani melaporkan ke polisi,
"Mbak, di mana tas sekolahku?" tanyaku dengan panik."Apa Ai? Tas sekolah?""Tas sekolahku, Mbak. Aku kemarin membawa tas sandang." Aku bangkit dan kebingungan.Mbak Mawar memeriksa beberapa tempat, bahkan dia keluar dari bilik dan kembali lagi dengan tangan kosong."Gak ada, Ai. Mereka bilang kau datang ke sini tidak membawa tas," ujar mbak Mawar."Aduh, Mbak. Ada barang penting di tas itu," ujarku sambil memijit pelipis yang tiba-tiba terasa penat.Kemudian tak berapa saat kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing hingga mbak Mawar memecahkan kebisuan."Ini sudah tiga hari, Ai. Sebaiknya kau bersihkan diri, mandi. Kau sudah tiga hari tidak mandi. Ada beberapa pakaian yang sudah disiapkan oleh Rozak tadi." Perkataan mbak Mawar membuatku terkejut dan takut.Mandi?Hal itulah yang aku takutkan, selesai mandi maka wajah asliku akan terlihat, mungkin bisa jadi aku akan menjadi rebutan kucing-kucing liar di tempat ini yang siap menjadi predator lapar. Aku bergidik ngeri, aku memang
Aku hampir memekik melihat adegan di depanku, dengan spontan aku kembali berlari ke kamar mandi. Jantungku berdebar menyaksikan adegan itu secara live, bagaimana pak tua itu tengah menindih tubuh mbak Mawar yang polos tanpa sehelai benangpun. Kuhidupkan kembali kran air dengan maksimal, kuambil seragam Pramuka yang sudah kotor dan bermaksud mencucinya. Namun di kamar mandi tidak kudapati sabun cuci baju, aku tidak kehilangan akal, kupakai saja sabun mandi untuk mencucinya. Aku mencuci dengan gerakan lambat, agar ketika selesai tidak lagi menyaksikan adegan porno seperti itu, tanganku bahkan gemetar ketika mengucek baju.Sungguh menjijikan sekali dunia pelacuran ini, mbak Mawar yang kunilai baik ternyata sebinal itu, ah kenapa aku lupa, dia kan memang seorang pelacur, itu adalah profesinya, tidak ada hubungannya dengan sifat baik seseorang.Setelah hampir satu jam di kamar mandi, aku memutuskan untuk membuka pintu dan mengintip, apakah mereka sudah selesai apa belum? Tenyata sudah se
"Ha? Sofian ... Sofian ... Cari perawan juga mbok ya yang kinclong dikit, gituloh. Kalau yang modelnya kayak gini, Yo mendingan aku toh, walau gak perawan tapi cantikan aku daripada dia," kata wanita yang dipanggil Dar itu dengan tatapan angkuh. Aku hanya diam saja menanggapi perkataan mereka, tatapan Dar itu terlihat sangat menghina padaku, wajahnya yang sudah begitu menor bertambah seram dengan tatapan matanya yang seperti kuntilanak. "Ya, bedalah perawan sama yang sudah sering dipakek, perawan itu masih seret, lubangnya masih sempit, masih menggigit," jawab wanita yang dipanggil Sum. "Perawan juga kalau gak punya pengalaman kayak ikan mati untuk apa? Lihatnya saja nggak bikin gairah, yang penting pelayanan yang agresif kalau mau cari pelanggan." "Saya sudah selesai, duluan ya, mbak-mbak," kataku sambil berlalu setelah selesai menjemur. "Woi, anak baru, siapa namamu?" tanya Dar dengan angkuh. "Saya Aina, mbak," jawabku dengan malas. "Mentang-mentang masih perawan gak usah bela
"Jadi menejer Herman yang mau beli keperawanan Aina, Bang?" tanya mbak Sum dengan semangat. "Kabarnya iya," jawab Sofian dengan acuh tak acuh. "Siapa menejer Herman itu?" Aku memberanikan diri bertanya. "Dia seorang menejer di perkebunan sawit, Ai. Dia dari Jakarta, istri dan anaknya juga tinggal di Jakarta, dia kadang pulang ke Jakarta tiga bulan sekali. Orangnya sering minum-minum ke sini, tapi dia gak mau berhubungan sex dengan sembarangan orang, takut kena penyakit, katanya. Makanya dia cari yang masih perawan. Tapi tahu sendiri kan, ketemu istri cuma tiga bulan sekali kadang sampai enam bulan sekali, lelaki mana yang tahan menahan hasrat, soal tarif dia gak masalah." Mbak Sum menceritakan panjang lebar tentang calon klienku itu. Dari cerita mbak Sum aku menyimpulkan, lelaki tidak bisa menahan hasrat, menejer Herman yang menjalin hubungan jarak jauh dengan istrinya tak mampu mempertahankan kesucian alat vitalnya, dia menganggap berhubungan dengan perawan akan merasa aman, bukan
POV Nur Dua Minggu yang lalu ....Hari ini akhir pekan, penghujung hari seperti ini kesibukanku justru bertambah, maklumlah, jika akhir pekan para majikan kami akan memiliki banyak waktu di rumah dan perlu dilayani. Kulihat jam sudah menunjukkan jam empat sore, tetapi kenapa Aina belum juga pulang dari sekolah? Anak itu semakin hari semakin susah dibilangin, aku sangat kuatir, diluaran sana masih berbahaya. Biasanya Aina walau akan bermain keluar paling lambat jam tiga sore sudah pulang.Aku terus berkutat di dapur, cucian piring sudah menumpuk, biasanya Aina yang akan mengerjakan semua ini. Aku baru saja menyelesaikan memasak membuat camilan untuk tuan besar dan istrinya, mereka jika akhir pekan seperti ini akan bercengkrama di meja makan sambil memakan camilan."Kau pulang?" tanya tuan Burhan, sepertinya tuan muda Hasan pulang setelah sepekan tidak terlihat."Ya," jawabnya singkat."Apa sudah selesai Diklat prajabatannya?" tanya Bu Halimah."Belum, masih satu Minggu lagi. Akhir pek
POV Nur"Kalau yang gajinya besar pelayan apa, Mbak?" tanyaku semakin penasaran, sudah terbayang dipelupuk mataku memutus tali kemiskinan yang mendera keluargaku."Apa ya? Mbak gak bisa jelasinnya Nur, soalnya pekerjaannya banyak. Kalau kamu berminat, aku mau kembali ke Jakarta lusa, siap-siap ya ikut sama aku," kata Gendis dengan suara lembut. Ah, Mbak Gendis sudah cantik, baik hati. Itu yang kupikirkan dulu ... yah, dulu ... kini semua pikiran itu berbanding seratus delapan puluh derajat! Aku yang senang mendapat tawaran kerja dari Gendis, segera menemui simbok dan bersiap-siap pergi. Selama dua hari menjelang pergi, aku selalu membicarakan kesuksesan Gendis menjadi seorang pelayan di Jakarta, hingga dia sukses seperti sekarang. Simbok sangat mengkwatirkan aku jika pergi sendiri di kota besar, tetapi Bapak malah senang, tidak ada raut kecemasan di matanya yang ada binar kegembiraan karena putri mereka yang masih berusia lima belas tahun akan menghasilkan pundi-pundi rupiah.Akhirn