Share

Bukti

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-03-22 04:53:56

Kutinggalkan Mas Bagas sendirian di dapur. Memilih pergi ke kamar tak lupa untuk menguncinya dari dalam. Aku berdiri bersandar di pintu. Rasanya untuk menopang bobot tubuhku pun aku tak sanggup. Aku pergi ke ruang Ibadah, dadaku mendadak sesak. Aku masih punya Tuhan, tak ada salahnya bukan kalau aku meminta pada-Nya untuk tetap menautkan hati suamiku hanya padaku.

Kunyalakan shower, membiarkan air mengguyur membasahi tubuh.  Semua kenangan manis bersamanya kembali terlintas. Menolaknya pun sulit aku tak dapat mengendalikan otakku untuk berhenti memutar kenangan indah bersamanya. Saat dia memintaku untuk menjadi istrinya saat dia mengucapkan ijab qabul di depan orang tuaku lalu berjanji untuk sehidup semati bersamaku, kenangan itu, apakah semua itu semu?

“Kiran, buka pintunya sudah 2 jam kamu di dalam, nanti masuk angin! Anak-anak nyariin Umanya,” teriak Mas Bagas dari balik pintu. Benarkah aku sudah menghabiskan 2 jam hanya untuk mandi, tapi rasanya belum cukup untuk memadamkan hatiku yang terbakar api cemburu. Aku segera memakai pakaianku, lalu keluar dari balik pintu tak kuhiraukan Mas Bagas yang menatap khawatir padaku. Jangankan menatapnya untuk bicara pun enggan. Aku kecewa, dia yang selama ini kuperjuangkan dengan mudahnya berpaling pada wanita lain. Setelah selesai makan aku kembali ke kamar menidurkan bungsuku.

“Kiran Maafkan Mas, kalau kamu ga setuju Mas ga akan nikah lagi. Jangan diamkan Mas seperti ini!” Aku tersenyum kecut mendengar penuturannya namun tubuhku masih memunggunginya.

“Pergilah Mas, cari kebahagiaanmu sendiri! Aku ga bakal ngelarang kamu.”

“Jangan begini, Kiran! bukannya dulu kamu janji untuk tetap menemaniku sampai kapan pun kamu bahkan bilang kalau kamu akan mencintaiku selamanya.”

“Kamu bahkan sudah lupa janjiku, Mas,” ucapku.

“Itu janjimu Kiran, aku tidak pernah melupakannya.” Aku membalikkan tubuhku menatapnya dengan tajam.

“Aku akan tetap hidup bersamamu, mencintaimu selamanya tidak peduli dalam keadaan apa pun. Sehat atau sakit, miskin atau kaya, aku kan menemanimu sampai kapan pun. Asalkan kamu tidak pernah BERKHIANAT, sudah ingat sekarang?” tanyaku, aku sengaja menekankan kata berkhianat.

“Aku tidak pernah berkhianat Kiran, aku baru tahu kalau yang dijodohkan Ayah itu Riana.”

“Apa harus sampai melakukan hubungan badan baru kamu sebut berkhianat, Mas?” tanyaku.

“Kiran, jaga bicaramu!” seru suamiku. Aku tersenyum ke arahnya.

“Aku tidak peduli wanita itu punya hubungan apa denganmu di masa lalu. Bagiku dia hanya orang asing yang tidak tahu diri, karena berani meminta ayah dari anak-anakku. Apakah anak-anakku harus ikut berkorban demi kepuasan nafsumu?” tanyaku.

“Apa maksudmu, Kiran?”

“Dia datang ke rumah memintaku untuk meninggalkanmu. Apa kamu pernah berpikir, Mas? Wanita cantik seperti dia akan rela jadi madu, bahkan wanita buruk rupa sepertiku pun tidak akan pernah rela di madu?”

“Jadi dia ke sini?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.

“Tidurlah Mas, kalau kamu ingin memastikannya tanyalah pada perempuanmu itu!” Aku kembali memunggunginya. Setelah mandi 2 jam rasa dingin mulai menjalar ke tubuhku. Aku menarik selimut hingga hanya menyisakan bagian kepalaku, tapi dapat kurasakan Mas Bagas memelukku dari belakang. Dia terus saja meminta maaf. Untuk apa kata maaf, kalau pengkhianatanmu masih terus berjalan. Aku merasakan kehangatan di tubuhku karena pelukannya, tapi hatiku dibiarkan membeku. Sebulan berlalu hari-hari kujalani dengan hampa. kami melakukan semuanya seperti biasa tapi ada yang berbeda di sini, di hatiku dan mungkin juga di hati suamiku.

Kami tak seakrab dulu. Aku tak pernah mau tahu kabar Riana. Aku blokir semua kontaknya agar tak bisa terhubung padaku.  Pernah suatu hari dia meminta suamiku untuk kedua kalinya. Jelas aku hanya mengabaikannya, tenagaku terlalu berharga hanya untuk melayaninya. Hingga suatu hari kutemukan potongan 2 buah tiket bioskop dalam saku jas suamiku. Bisa kutebak dengan siapa dia pergi.

Keesokan harinya aku menyiapkan baju kerja Mas Bagas di atas kasur. Kuletakkan juga potongan tiket bioskop yang kutemukan kemarin. Sedangkan, aku pergi ke ruang makan memakan sarapanku tanpa menunggu Mas Bagas seperti biasanya. Anak-anak pun kusuruh makan duluan hingga Mas Bagas keluar dari kamar, anak-anak sudah berada di ruangan lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sementara itu, aku membereskan piring sisa makan kami lalu membawanya ke dapur.

“Kiran, tunggu!” Mas Bagas berteriak, bisa kupastikan kegelisahan tak bisa lagi dia sembunyikan dari wajahnya.

“Makanlah sarapanmu Mas, aku sudah siapkan di meja!” Aku meneruskan langkah kakiku ke dapur. Bukannya sarapan Mas Bagas malah mengikuti sampai dapur.

“Kiran Mas bisa jelasin, jadi kemarin itu Mas, Mas nonton, Mas nonton sama ....”

“Riana?” tanyaku, aku tetap fokus mencuci piring-piring kotor. Tak ada jawaban darinya. Aku membalikkan badanku, melepas celemek. Lalu, berjalan pergi melaluinya. Untuk apalagi aku bicara padanya, kalau dia tak lagi mendengarkanku. Aku sudah seperti orang asing baginya. Aku melarangnya menikah, tapi dia malah melakukan hubungan terlarang di belakangku. Aku menaruh setengah sendok kopi ke dalam gelas lalu di tambah 4 sendok gula pasir kutuangkan air panas ke dalamnya kemudian mengaduknya perlahan. 4 sendok gula dalam secangkir kopi tentu saja akan sangat manis, masa bodo dengan rasanya aku butuh sesuatu yang manis untuk hidupku yang pahit. Aku duduk di depan rumah melihat anak-anakku yang berlari ke sana kemari bermain air di selang. Aku yang meminta Meisya menyiram tanaman. Namun, adik-adiknya malah menyiram Meisya dengan selang air. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah anak-anakku padahal biasanya aku akan berteriak menghentikan aktivitas mereka. Biarkan saja untuk sehari anak-anakku menikmatinya.

“Kiran,” tiba-tiba saja Mas Bagas sudah berdiri di sampingku, entah sejak kapan dia di situ.

“Sejak kapan kamu suka kopi,” tanyanya.

“Apa itu penting?” tanyaku balik.

“Akhir-akhir ini aku kurang memperhatikanmu,” katanya.

“Mas terlalu sibuk dengan mainan baru,” jawabku.

“Kiran ....”

“Aku melarangmu menikah. Apa itu artinya kamu boleh berpacaran di belakangku?” tanyaku tapi masih enggan menatap wajahnya.

“Maaf Kiran, aku khilaf.” Aku tertawa mendengar penuturan Mas Bagas, khilaf katanya.

“Hahhaha, Apa khilaf itu akan terus berjalan selama aku tidak mengetahui perselingkuhan kalian?” tanyaku.

“Kalian sudah berhubungan badan?” tanyaku.

“Tidak Kiran, tidak pernah,” jawabnya dengan nada sedikit memelas.

“Lakukanlah hubungan badan! Setelah itu kita berpisah secara baik-baik, bukankah menurut Mas selama belum melakukan hubungan badan yang kalian lakukan selama ini bukan pengkhianatan?”

“Lakukanlah Mas, lakukan sekarang juga! Aku tidak peduli.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Mahayani
......... ............
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Balik Senyum Istri   Jatuh Cinta Berulang Kali

    “Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung

  • Di Balik Senyum Istri   Duri yang Melukaiku

    “Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”

  • Di Balik Senyum Istri   Seonggok Sampah

    Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu

  • Di Balik Senyum Istri   Tanggung Jawab

    “Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su

  • Di Balik Senyum Istri   Jangan Macam-Macam

    “Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem

  • Di Balik Senyum Istri   Piala Bergilir

    Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status