Kutinggalkan Mas Bagas sendirian di dapur. Memilih pergi ke kamar tak lupa untuk menguncinya dari dalam. Aku berdiri bersandar di pintu. Rasanya untuk menopang bobot tubuhku pun aku tak sanggup. Aku pergi ke ruang Ibadah, dadaku mendadak sesak. Aku masih punya Tuhan, tak ada salahnya bukan kalau aku meminta pada-Nya untuk tetap menautkan hati suamiku hanya padaku.
Kunyalakan shower, membiarkan air mengguyur membasahi tubuh. Semua kenangan manis bersamanya kembali terlintas. Menolaknya pun sulit aku tak dapat mengendalikan otakku untuk berhenti memutar kenangan indah bersamanya. Saat dia memintaku untuk menjadi istrinya saat dia mengucapkan ijab qabul di depan orang tuaku lalu berjanji untuk sehidup semati bersamaku, kenangan itu, apakah semua itu semu?
“Kiran, buka pintunya sudah 2 jam kamu di dalam, nanti masuk angin! Anak-anak nyariin Umanya,” teriak Mas Bagas dari balik pintu. Benarkah aku sudah menghabiskan 2 jam hanya untuk mandi, tapi rasanya belum cukup untuk memadamkan hatiku yang terbakar api cemburu. Aku segera memakai pakaianku, lalu keluar dari balik pintu tak kuhiraukan Mas Bagas yang menatap khawatir padaku. Jangankan menatapnya untuk bicara pun enggan. Aku kecewa, dia yang selama ini kuperjuangkan dengan mudahnya berpaling pada wanita lain. Setelah selesai makan aku kembali ke kamar menidurkan bungsuku.
“Kiran Maafkan Mas, kalau kamu ga setuju Mas ga akan nikah lagi. Jangan diamkan Mas seperti ini!” Aku tersenyum kecut mendengar penuturannya namun tubuhku masih memunggunginya.
“Pergilah Mas, cari kebahagiaanmu sendiri! Aku ga bakal ngelarang kamu.”
“Jangan begini, Kiran! bukannya dulu kamu janji untuk tetap menemaniku sampai kapan pun kamu bahkan bilang kalau kamu akan mencintaiku selamanya.”
“Kamu bahkan sudah lupa janjiku, Mas,” ucapku.
“Itu janjimu Kiran, aku tidak pernah melupakannya.” Aku membalikkan tubuhku menatapnya dengan tajam.
“Aku akan tetap hidup bersamamu, mencintaimu selamanya tidak peduli dalam keadaan apa pun. Sehat atau sakit, miskin atau kaya, aku kan menemanimu sampai kapan pun. Asalkan kamu tidak pernah BERKHIANAT, sudah ingat sekarang?” tanyaku, aku sengaja menekankan kata berkhianat.
“Aku tidak pernah berkhianat Kiran, aku baru tahu kalau yang dijodohkan Ayah itu Riana.”
“Apa harus sampai melakukan hubungan badan baru kamu sebut berkhianat, Mas?” tanyaku.
“Kiran, jaga bicaramu!” seru suamiku. Aku tersenyum ke arahnya.
“Aku tidak peduli wanita itu punya hubungan apa denganmu di masa lalu. Bagiku dia hanya orang asing yang tidak tahu diri, karena berani meminta ayah dari anak-anakku. Apakah anak-anakku harus ikut berkorban demi kepuasan nafsumu?” tanyaku.
“Apa maksudmu, Kiran?”
“Dia datang ke rumah memintaku untuk meninggalkanmu. Apa kamu pernah berpikir, Mas? Wanita cantik seperti dia akan rela jadi madu, bahkan wanita buruk rupa sepertiku pun tidak akan pernah rela di madu?”
“Jadi dia ke sini?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Tidurlah Mas, kalau kamu ingin memastikannya tanyalah pada perempuanmu itu!” Aku kembali memunggunginya. Setelah mandi 2 jam rasa dingin mulai menjalar ke tubuhku. Aku menarik selimut hingga hanya menyisakan bagian kepalaku, tapi dapat kurasakan Mas Bagas memelukku dari belakang. Dia terus saja meminta maaf. Untuk apa kata maaf, kalau pengkhianatanmu masih terus berjalan. Aku merasakan kehangatan di tubuhku karena pelukannya, tapi hatiku dibiarkan membeku. Sebulan berlalu hari-hari kujalani dengan hampa. kami melakukan semuanya seperti biasa tapi ada yang berbeda di sini, di hatiku dan mungkin juga di hati suamiku.
Kami tak seakrab dulu. Aku tak pernah mau tahu kabar Riana. Aku blokir semua kontaknya agar tak bisa terhubung padaku. Pernah suatu hari dia meminta suamiku untuk kedua kalinya. Jelas aku hanya mengabaikannya, tenagaku terlalu berharga hanya untuk melayaninya. Hingga suatu hari kutemukan potongan 2 buah tiket bioskop dalam saku jas suamiku. Bisa kutebak dengan siapa dia pergi.
Keesokan harinya aku menyiapkan baju kerja Mas Bagas di atas kasur. Kuletakkan juga potongan tiket bioskop yang kutemukan kemarin. Sedangkan, aku pergi ke ruang makan memakan sarapanku tanpa menunggu Mas Bagas seperti biasanya. Anak-anak pun kusuruh makan duluan hingga Mas Bagas keluar dari kamar, anak-anak sudah berada di ruangan lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sementara itu, aku membereskan piring sisa makan kami lalu membawanya ke dapur.
“Kiran, tunggu!” Mas Bagas berteriak, bisa kupastikan kegelisahan tak bisa lagi dia sembunyikan dari wajahnya.
“Makanlah sarapanmu Mas, aku sudah siapkan di meja!” Aku meneruskan langkah kakiku ke dapur. Bukannya sarapan Mas Bagas malah mengikuti sampai dapur.
“Kiran Mas bisa jelasin, jadi kemarin itu Mas, Mas nonton, Mas nonton sama ....”
“Riana?” tanyaku, aku tetap fokus mencuci piring-piring kotor. Tak ada jawaban darinya. Aku membalikkan badanku, melepas celemek. Lalu, berjalan pergi melaluinya. Untuk apalagi aku bicara padanya, kalau dia tak lagi mendengarkanku. Aku sudah seperti orang asing baginya. Aku melarangnya menikah, tapi dia malah melakukan hubungan terlarang di belakangku. Aku menaruh setengah sendok kopi ke dalam gelas lalu di tambah 4 sendok gula pasir kutuangkan air panas ke dalamnya kemudian mengaduknya perlahan. 4 sendok gula dalam secangkir kopi tentu saja akan sangat manis, masa bodo dengan rasanya aku butuh sesuatu yang manis untuk hidupku yang pahit. Aku duduk di depan rumah melihat anak-anakku yang berlari ke sana kemari bermain air di selang. Aku yang meminta Meisya menyiram tanaman. Namun, adik-adiknya malah menyiram Meisya dengan selang air. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah anak-anakku padahal biasanya aku akan berteriak menghentikan aktivitas mereka. Biarkan saja untuk sehari anak-anakku menikmatinya.
“Kiran,” tiba-tiba saja Mas Bagas sudah berdiri di sampingku, entah sejak kapan dia di situ.
“Sejak kapan kamu suka kopi,” tanyanya.
“Apa itu penting?” tanyaku balik.
“Akhir-akhir ini aku kurang memperhatikanmu,” katanya.
“Mas terlalu sibuk dengan mainan baru,” jawabku.
“Kiran ....”
“Aku melarangmu menikah. Apa itu artinya kamu boleh berpacaran di belakangku?” tanyaku tapi masih enggan menatap wajahnya.
“Maaf Kiran, aku khilaf.” Aku tertawa mendengar penuturan Mas Bagas, khilaf katanya.
“Hahhaha, Apa khilaf itu akan terus berjalan selama aku tidak mengetahui perselingkuhan kalian?” tanyaku.
“Kalian sudah berhubungan badan?” tanyaku.
“Tidak Kiran, tidak pernah,” jawabnya dengan nada sedikit memelas.
“Lakukanlah hubungan badan! Setelah itu kita berpisah secara baik-baik, bukankah menurut Mas selama belum melakukan hubungan badan yang kalian lakukan selama ini bukan pengkhianatan?”
“Lakukanlah Mas, lakukan sekarang juga! Aku tidak peduli.”
Aku pikir semuanya bisa berjalan mudah seperti yang ada dalam pikiranku. Ternyata dia malah main belakang. Hari itu aku pergi mengajak anak-anakku ke pasar dadakan di hari minggu pagi. Entah sudah berapa bulan aku tidak pernah ke tempat ini. Padahal masih satu kota jarak yang harus di tempuh dari rumahku hanya sekitar 30 menit tapi rasanya jauh sekali. Mas Bagas bilang dia sedang di luar kota baru akan pulang nanti sore dari pada menunggunya tanpa ada kegiatan lebih baik mengajak anak-anak keluar, aku pergi menggunakan taxy online. Aku tak pandai mengendarai mobil, terlalu ribet menyuruh sopir untuk mengantarku jalan-jalan.“Uma, sini!” tiba-tiba Meisya menarik tanganku.“Liat Uma, itu Abi ‘kan?” bisiknya di telingaku sambil menunjuk pada sepasang kekasih yang tengah duduk sambil bersuapan makanan. Memalukan, apa kamu harus melakukannya di tempat umum begini, hingga harus di saksikan anak-anakmu? Kuambi
“Aku pergi Mas, kamu enggak usah anter aku, mungkin kita butuh jarak dan waktu untuk berpikir. Pikirkan baik-baik jangan membuatku bingung,” lirihku. Anak-anak sudah duluan menunggu di halaman rumah, kucium punggung tangan Mas Bagas dengan takzim. Bagaimana pun dia tetap imamku. Mas Bagas enggan melepas genggamannya di lenganku.“Lepaskan Mas, aku tak akan pergi kalau saja kamu bisa tegas! Keraguanmu yang membuatku tidak lagi merasa aman berada di dekatmu,” ucapku.“Maaf Kiran, Mas salah,” lagi-lagi dia meminta maaf.“Salah itu milik semua orang, Mas. Belajar dari kesalahan dan berusaha memperbaiki diri hal itu tak dimiliki semua orang.” Kuberikan senyumku pada Mas Bagas sambil perlahan melepaskan genggamannya. Aku pergi ke rumah Ibu bersama anak-anak, masih satu kota, kami hanya perlu menempuh waktu sekitar 45 menit dari rumahku. Sepanjang perjalanan Meisya lebih banyak di
Pagi itu saat hendak pergi terapi mendadak tubuhku rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Jiwaku memang sakit tapi tak seharusnya fisikku ikut merasakan dampaknya.Terpaksa kubatalkan jadwal terapiku, karena sudah terlanjur libur, Mas Bagas merawatku, dia bahkan mau memijat badanku meskipun setelahnya dia memanggil tukang pijat untuk datang ke rumah.Harapanku ini akan jadi awal yang baik, orang bilang sakit itu pelebur dosa, semoga sakitku kali ini juga jadi pelebur rasa cinta yang tak seharusnya tumbuh dihati suamiku.“Dek kamu salah makan apa gimana?” tanyanya saat tukang pijat selesai melakukan tugasnya padaku.“Ga tahu, Mas,”“Maafkan Mas ya ini pasti gara-gara Mas, kamu jadi telat makan sampe ngedrop kayak gini,”“Udahlah Mas, asalkan Mas tidak mengulanginya lagi aku sudah pasti memaafkanmu,” ucapku.“Tidurlah Dek, biar anak-anak aku yang jaga, besok pakai babby si
Hari yang ditunggu itu pun tiba aku melakukan USG betapa bahagianya aku saat mendengar dokter mengatakan bahwa jenis kelamin janinku laki-laki. Berkali-kali Mas Bagas menciumku. Kami sangat bersyukur setelah penantian yang panjang akhirnya Tuhan mengizinkan kami merawat bayi laki-laki.“Maaf Bu, sepertinya ada sedikit masalah pada janin yang ibu kandung,” ucap Dokter.“Maksudnya, Dok?” tanyakuJantungku mendadak berpacu sangat cepat. Ada apa dengan janinku?“Ada abnormalitas pada janin ibu, terdapat kelebihan cairan di bagian belakang leher, ibu bisa lihat di layar USG,” ucap Dokter sambil tangannya menunjuk ke layar USG.“Saya enggak ngerti Dok, maksudnya bagaimana anak saya kenapa?” tanyaku tak sabar.“Sabar sayang, biar dokter jelasin dulu,” Mas Bagas mencoba menenangkanku.“Gini Bu ada kemungkinan janin ibu mengalami down syndrome, untuk lebih jelasnya lagi ibu bisa lakukan beberapa test, untuk hasil yang lebih akurat,” ucap
Tengah malam Mas Bagas baru sampai rumah, penampilannya begitu acak-acakkan, kusambut dia dengan senyuman tak lupa dengan segelas susu hangat kesukaannya. Tanpa jeda dia menghabiskan susu yang kusuguhkan, dengan hanya beberapa kali tegukan, dapat kulihat amarah masih tampak dari wajahnya. Aku suruh dia beristigfar berkali-kali hingga dia merasakan sedikit lebih tenang. Entah apa yang terjadi di rumah mertuaku, hingga membuat suamiku seemosi ini. “Dia itu dari dulu bisanya cuma ngancem Dek, kesel Mas, ibu juga bisanya diem aja udah disakitin berkali-kali masih aja bertahan,” ucapnya. “Mas, begitulah perempuan yang punya cinta yang murni dan tulus, jangankan rasa sakit logika pun ga akan di pake,” ucapku. “Dek, apa rasanya sesakit ini, pengkhianatan ini, apa yang Meisya rasakan sesakit ini?” tanya Mas Bagas. Kubalas dia dengan senyuman, memberinya jeda untuk berpikir kesalahannya. “Syukurkah kalau Mas bisa ngambil hikmah dari kejadian
Pov BagasDia Kirana, wanita yang kunikahi 12 tahun yang lalu ibu dari ketiga putriku dan sebentar lagi kami akan diberi amanah yang keempat. Aku tak peduli jika calon anakku akan lahir dalam keadaan istimewa. Dia tetaplah anakku.Cukup Abangku yang merasakannya sampai mati pun aku tak akan pernah berlaku sama dengan Ayah. Membuang darah dagingnya sendiri. Kesalahan yang kulakukan padanya terbilang fatal. Godaan wanita masa laluku hadir kembali. Kirana bilang hanya ada dua hal yang mungkin terjadi ketika kita bertemu orang yang pernah mengisi hati kita di masa lalu jatuh cinta lagi atau hanya sekedar rindu. Aku mencoba meyakinkan diri berkali-kali, tapi lagi-lagi gagal. Hingga Kiran meninggalkanku sendirian di rumah, bisa kurasakan kesepian yang mendalam terjadi di sini, dihatiku.Aku berjanji tidak akan lagi membuatmu ragu meskipun kutahu semuanya tak akan semudah dulu kamu bahkan mengajukan surat perjanjian, yang bisa kulakukan hanya menuruti apa maunya. Dia terlalu berarti dalam hid
Pov BagasMeisyaa, no Sayang! Itu namanya kekerasan.” Kiran memeluk Meisya dengan erat.Kulihat Meisya menghentikan jalannya. Dia membukas toples itu lalu memakan kukis di dalamnya dengan cepat dapat kudengar gertakan giginya yang sepertinya sengaja dia hentakkan, sambil menatap tajam ke arah Riana dia terus saja memakan kukis itu lalu membawanya sampai ke kamar.Jujur saja di tengah kepanikan ini aku ingin tertawa dasar anak kecil bisa-bisanya makan kukis padahal habis jambak orang. Setelah dipeluk Kiran, Meisya pun pergi ke kamarnya. Sedang Kiran menemaniku menemui Riana.“Mau apa kamu kesini?” tanyaku pada Riana.“Aku mau minta kejelasanlah, berapa hari kamu enggak ngontak aku.” tanya Riana.“Untuk apa dia ngontek kamu? Itu artinya kamu sudah di buang,” ucap Kirana. Menyaksikan dua wanita memperebutkanku rasanya seketika aku merasa jadi manusia terganteng sedunia.“Sudah, sudah kamu pergi aja Riana jangan ganggu keluargaku lagi! Mulai hari ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi,
Pov Bagas “Kamu sudah bersumpah di atas alquran Mas, masih mau melanggar, tanggung sendiri akibatnya,” Riana menatapku dengan tajam. Rupanya sedari tadi dia memperhatikan raut mukaku. Setelah Riana pergi dari rumahku, hatiku tasanya tak karuan seperti anak muda yang baru bertemu dengan gebetan. Oh kenapa wanita hamil jadi begitu sensitif ke mana senyumnya yang dulu? Dia bahkan tak bisa menahan cemburu walau hanya sebentar. “Engga Sayang, Mas tetap cinta sama kamu,” ucapku pada Kirana. Setahuku perempuan suka sekali dinyatakan cinta. Tak peduli itu tulus atau tidak. Namun, percayalah aku ini tulus mencintainya, walaupun godaan selalu datang melanda yang kadang membuatku maju mundur dan ragu berkali-kali. Benar saja setelah kuucapkan jurus kata cintaku, dapat kulihat senyum terukir di bibir merahnya. "Nah gitu dong, ‘kan jadi Adek Kirana tambah cantik." Membahagiakan wanita memang semudah ini tak perlu keluar banyak uang. Kini pipi istriku bersemu merah jambu. Kuakui semenjak hamil di