Aku pikir semuanya bisa berjalan mudah seperti yang ada dalam pikiranku. Ternyata dia malah main belakang. Hari itu aku pergi mengajak anak-anakku ke pasar dadakan di hari minggu pagi. Entah sudah berapa bulan aku tidak pernah ke tempat ini. Padahal masih satu kota jarak yang harus di tempuh dari rumahku hanya sekitar 30 menit tapi rasanya jauh sekali. Mas Bagas bilang dia sedang di luar kota baru akan pulang nanti sore dari pada menunggunya tanpa ada kegiatan lebih baik mengajak anak-anak keluar, aku pergi menggunakan taxy online. Aku tak pandai mengendarai mobil, terlalu ribet menyuruh sopir untuk mengantarku jalan-jalan.
“Uma, sini!” tiba-tiba Meisya menarik tanganku.
“Liat Uma, itu Abi ‘kan?” bisiknya di telingaku sambil menunjuk pada sepasang kekasih yang tengah duduk sambil bersuapan makanan. Memalukan, apa kamu harus melakukannya di tempat umum begini, hingga harus di saksikan anak-anakmu? Kuambil foto mereka dari kejauhan, lalu aku kirimkan foto itu lewat W* ke nomor Mas Bagas.
“Meisya melihatmu, sungguh memalukan.” Tak lama pesan yang kukirim berubah sudah centang biru. Dari kejauhan dapat kulihat dia mulai memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Aku bingung bagaimana menjelaskan ini pada Meisya, sementara dia telus menagihku untuk memberinya penjelasan.
“Meisya Sayang, nanti kita tanya Abi di rumah ya, kita sarapan dulu ya, adik-adikmu belum pada makan loh, yu,” ajakku. Beruntung Meisya tak banyak bicara, dia menurut kuajak makan. Tapi pandangannya tak bisa lepas ke tempat Mas Bagas dan Riana, mereka tampak buru-buru pergi dari tempat itu. Raut muka sulungku berubah, sedari tadi dia hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya belum ada satu sendok pun yang masuk ke mulutnya. Aku meraih sendok yang dipegang sulungku.
“A, Sayang,” kusuapi sulungku. Seketika dia memalingkan wajahnya lalu tersenyum menatap wajahku.
“Meisya udah gede Uma, sini biar Meisya makan sendiri aja!” Meisya mengambil kembali sendok yang sudah berada di tanganku lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Meisya tersenyum lagi padaku,
“Enak Uma, tapi masih kalah jauh sama buatan Uma,” ucap Meisya. Aku tahu dia hanya berusaha menghiburku. Nasi pecel yang kumakan menurutku rasanya enak, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan buatanku. Aku tak pandai membuat sambel pecel.
“Ya udah abisin ya Sayang, abis ini Meisya mau ke mana? Nanti Uma anterin deh,” tanyaku.
“Terserah Uma, Meisya ikut aja, a Uma, dari tadi uma juga belum makan ‘kan?” Meisya malah menyodorkan makanannya padaku. Aku memakannya. Demi apa pun ini pecel terenak yang pernah aku makan. Disuapi langsung dari tangan sulungku.
“Jangan sedih ya Uma, Meisya sayang Uma, Meisya ga akan ninggalin Uma,” lirih Meisya, dia berbicara pelan sekali mungkin takut didengar adik-adiknya. Aku hanya bisa tersenyum sambil sekuat tenaga menahan air mataku agar tidak tumpah di hadapan anak-anakku. Setelah selesai makan aku pergi ke masjid dekat situ, aku terbiasa menunaikan salat duha, hingga kebiasaan ini menurun ke Meisya. sementara adik-adiknya menunggu di sampingku. Setelah selesai salat duha Meisya mencium tanganku diikuti adik-adiknya ku usap kepala anak-anakku.
“Allahumma ashlih lana fi aimmatina w* jamaa’atina w* ahlina w*dzurriyyatina w* amw*alina w*fiimaa razaqtana w* baariklana fiihim fid dunya w*l aakhiroh."
"Ya Allah perbaikilah untuk kami di dalam imam-imam kami, jama'ah kami, keluarga kami, istri-istri kami, anak-anak turun kami, harta-harta kami dan di dalam apa-apa (rizqi) yang engkau berikan kepada kami dan berilah kami kebarokahan dalam urusan mereka di dunia dan akhirat."
Kuucapkan doa itu sambil mengusap kepala mereka satu persatu, kepada siapa lagi aku mengadu kalau bukan pada-Nya. Aku mengajak mereka untuk pulang, sesampainya di rumah Mas Bagas ternyata sudah sampai lebih dulu. Meisya menatap tajam ke arahnya, dia tetap menyalami dengan takzim pada Abinya diikuti adik-adiknya yang lain.
Meisya tak banyak bicara dia langsung masuk ke kamarnya padahal biasanya dia selalu menanyakan apakah Abinya membawakan oleh-oleh untuknya atau tidak. Di antara anak-anakku Meisyalah yang paling dekat dengan Mas Bagas, tetapi lihat saja sekarang sudah 2 hari mereka tak bertemu tak ada satu pun kata yang terlempar dari putri sulungku.
“Kiran, apa Meisya benar-benar melihatku?” tanya Mas Bagas setelah anak-anak pergi ke ruang televisi. Kulemparkan senyumku pada Mas Bagas.
“Kenapa? Sudah kubilang dari awal jangan korbankan perasaan anak-anak demi nafsumu! Kenapa Mas malah melakukannya? Cepat atau lambat anak-anak juga akan mengetahuinya,” ucapku sambil berlalu dari hadapannya.
“Kiran, kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Mau ke kamar Meisya,” jawabku.
“Oh ya Mas, besok aku mau pulang ke rumah Ibu. Aku ajak anak-anak, ya.”
“Kamu mau ninggalin aku?” tanyanya.
“Aku cuma kangen sama Ibu, oh ya Mas tidak perlu mengantarku. Aku ingin membiasakan untuk hidup tanpa bantuan darimu,” ucapku.
“Besok biar aku antar, apa kata orang nanti kalau kamu pulang sendirian?” katanya.
“Apa kata orang nanti kalau mereka tahu seorang pria beristri dan sudah beranak 3, bermesraan dengan wanita lain di jalanan? Harusnya Mas mempersiapkan jawabannya dari sekarang.” Mas Bagas hanya bisa diam. Aku paling benci dengan sikapnya yang tak bisa tegas, sikapnya membuatku bingung. Dia seperti bermuka dua, aku sudah tak mengenalnya lagi. Perangainya sungguh jauh berbeda dengan yang kukenal dulu.
Keesokan harinya saat kami akan berangkat tiba-tiba teman-teman Meisya datang ke rumah. Mereka bilang ada tugas kelompok, kami terpaksa menunda keberangkatan ke rumah ibu. Saat aku hendak menyuguhkan minum. Mereka tampak asyik mengobrol, hingga aku tak sadar ikut mendengar obrolan mereka.
“Meis, boleh ngomong enggak?”
“Apa?” tanya Meisya.
“Meis kemarin ‘kan aku ke pasar minggu, masa aku liat Abi kamu lagi jalan sama tante-tante, tapi bukan mamahmu,” jelas seorang anak perempuan. Meisya hanya terdiam, tapi bisa kulihat dia tengah menahan emosinya.
“Masa sih? Ah udah lah ga usah dibahas udah selesai ‘kan? Aku buru-buru nih mau ke rumah nenek?” ucap Meisya.
“Meis, kamu marah ya?” tanya anak perempuan yang lain.
“Enggak kok,” Meisya pun tersenyum pada mereka. Sepertinya tidak enak juga kalau aku terus menguping. Aku pun akhirnya menyuguhkan nampan yang sudah kusiapkan.
“Eh diminum dulu, ini tante ada kue, di makan ya,” ucapku mempersilahkan mereka. Teman-teman Meisya tampak saling sikut. Aku bisa mengerti mereka mungkin takut aku mendengarnya.
“Ayo di makan ya Sayang ga usah malu-malu, Meisya tawarin temen-temennya!” titahku. Setelah aku pergi mereka tampak memakan makanan yang kusuguhkan, tak terkecuali Meisya, tapi masih dapat kulihat raut sedih tampak di wajahnya. Setelah mereka pulang aku bersiap untuk berangkat, karena Mas Bagas memaksa akhirnya aku mengalah dan mengizinkannya mengantarku.
“Abi, mau ngapain?” tanya Meisya saat kami sekeluarga hendak keluar rumah.
“Abi mau nganter Uma dong,” jawab Mas Bagas sambil menepuk bahu Meisya. Meisya tiba-tiba saja menghindar, hingga Mas Bagas mengerutkan dahinya. Bingung dengan sikap putrinya yang seolah enggan disentuh.
“Ga usah, biar kita pergi sama Uma aja. Abi di sini aja bukannya udah punya tante baru?” tanya Meisya. Jantungku rasanya mau copot mendengar pertanyaan Meisya.
“Hmm Sayang, Meisya ga boleh ngomong gitu ya,” ucap Mas Bagas mencoba menyentuh Meisya lagi. Lagi-lagi yang disentuh malah menghindar.
“Jangan sentuh, aku ga mau tinggal sama Abi lagi. Meisya mau tinggal sama nenek aja. Aku malu Abi, temen-temen udah pada tahu Abi suka jalan sama tente-tante. Meisya malu hiks hiks hiks.” Luruh sudah air mata Meisya, diikuti adik-adiknya yang lain, entah mereka mengerti atau tidak, melihat kakanya menangis mereka pun jadi ikut menangis. Aku mencoba tersenyum meski air mataku sudah menetes.
“Inikah yang kau mau, Mas? Biarkan kami pergi, hiduplah dengan caramu sendiri! Tidak semua hati bisa kau lukai.”
“Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung
“Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”
Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu
“Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su
“Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha