“Aku pergi Mas, kamu enggak usah anter aku, mungkin kita butuh jarak dan waktu untuk berpikir. Pikirkan baik-baik jangan membuatku bingung,” lirihku. Anak-anak sudah duluan menunggu di halaman rumah, kucium punggung tangan Mas Bagas dengan takzim. Bagaimana pun dia tetap imamku. Mas Bagas enggan melepas genggamannya di lenganku.
“Lepaskan Mas, aku tak akan pergi kalau saja kamu bisa tegas! Keraguanmu yang membuatku tidak lagi merasa aman berada di dekatmu,” ucapku.
“Maaf Kiran, Mas salah,” lagi-lagi dia meminta maaf.
“Salah itu milik semua orang, Mas. Belajar dari kesalahan dan berusaha memperbaiki diri hal itu tak dimiliki semua orang.” Kuberikan senyumku pada Mas Bagas sambil perlahan melepaskan genggamannya. Aku pergi ke rumah Ibu bersama anak-anak, masih satu kota, kami hanya perlu menempuh waktu sekitar 45 menit dari rumahku. Sepanjang perjalanan Meisya lebih banyak diam, dia hanya akan bicara kalau kedua adiknya menanyakan tentang suatu hal. Sesampainya rumah di sana. Ibu menyambutku dengan hangat pelukannya mampu meembuat rasa haru menyeruak ke dalam sanubariku. Ada rindu di sini, memang benar adanya, beberapa kesedihan ada yang sembuh hanya dengan pelukan. Aku merasakan itu sesak di dadaku sedikit berkurang. Setelah berbincang dengan ibu, karena fisikku sudaah lelah kulangkahkan kaki menuju kamar untuk mengistirahatkannya. Keesokan harinya masih berada di rumah Ibu aku duduk di kursi dekat jendela yang langsung mengarah keluar bisa kulihat anak-anak tampak bermain kejar-kejaran ke sana ke mari.
“Kenapa Nak, ada masalah?” tanya Ibuku. Aku tersenyum ke arah Ibu, lalu menggeleng pelan.
“Apa pun masalahnya jangan pergi dari rumah selesaikan semuanya baik-baik dengan suamimu,” ucap Ibu.
“Kasih Kiran waktu ya Bu, Kiran ga sanggup berada satu rumah dengan Mas Bagas,” ucapku.
“Sekesal-kesalnya seorang istri ridonya tetap ada pada suami,” ucap Ibu.
“Apa surgaku tetap ada pada pengkhianat seperti dia?” tanyaku.
“Bicarakan baik-baik, setiap orang bisa khilaf asalkan tidak dilakukan berkali-kali mereka berhak dimaafkan,” tutur Ibu. Senyum merekah indah di bibirku. Andai Ibu tahu apa yang dilakukan Mas Bagas di belakangku. Kini hanya ada sesal karena pernah memberinya kesempatan. Sejenak, kubiarkan ibuku menganggapnya menantu yang baik, suatu hari mungkin Tuhanlah akan memberi tahu Ibu tentang apa yang terjadi diantara kami, entah dengan cara apa pun yang di kehendaki.
Tiba-tiba Ponselku berbunyi satu pesan masuk dari Ibu mertuaku.
“Kamu di mana tadi Ibu ke rumah kok sepi?”
“Aku di rumah Ibuku lagi kangen sama rumah. Ada apa ya kok tumben ke rumah ga ngabarin?” balasku. Sepertinya Ibu mertuaku tak sabar dia langsung menelponku.
“Assalamu’alaikum Kiran, kenapa Nak kamu baik-baik aja ‘kan? Bagas ngelakuin apa sama kamu?” tanyanya.
“W*’alaikumussalam, gak apa-apa Bu, anak-anak cuma kangen sama neneknya,”
“Bisa kita ketemu di luar?” tanyanya.
“Hmm bisa aja sih,” jawabku sedikit mengernyitkan dahi, tak biasanya mertuaku mengajakku keluar. Dia memberitahukan kalau ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, bahkan dia meminta aku tidak perlu membawa anak-anak, karena pembicaraan ini tidak seharusnya didengar oleh mereka. Rasa penasaranku kian menjadi, buru-buru kupacu sepeda motor milik Ibu, kutitipkan ketiga anakku padanya. Sampai di sebuah cafe, Ibu tampak gelisah seperti tengah menanggung beban berat di pundaknya.
“Bu,” Dia sampai tak menyadari aku telah berada di sampingnya.
“Eh udah dateng, duduk Nak,” ucapnya. Setelah duduk seperti biasa kami awali perbincangan ini dengan berbasa-basi menanyakan kabar masing-masing.
“Apa Bagas nyakitin kamu, Nak?” tanya Ibu Dena.
“Kenapa Ibu ngasih pertanyaan kayak gitu?” tanyaku kugenggam tangannya yang sedari tadi tak bisa diam. Kegelisahan kian terpancar dari wajahnya.
“Kiran Ibu tau rasanya dipoligami. Jangan ikutin jejak ibu kiran, carilah kebahagiaanmu sendiri! Cukup ibu yang merasakan sakitnya.” Bulir bening tampak menetes dari mata Bu Dena.
“Maksudnya Ibu di madu?” tanyaku tak percaya. Sedangkan, yang ditanya hanya mengangguk sambil mengusap matanya yang mulai basah.
“Kenapa Ibu nyembunyiin semua ini dari kami?” tanyaku heran.
“Ayah mertuamu yang meminta supaya Ibu merahasiakan ini,” Jawabnya.
“Astaghfirrullahaladzim Bu, ya Allah sejak kapan Bu?”
“2 tahun yang lalu.” Air mata ibu kian mengalir keluar, membawa luka yang lama terpendam.
“Kenapa ibu memilih bertahan?” tanyaku.
“Awalnya Ibu pikir Ayahmu bakal adil sesuai janjinya, tapi setelah menikah selalu saja membandingkan Ibu sama istri mudanya. Ibu ini memang tua Nak, berbeda dengan istri mudanya yang masih segar. Mau Ibu berdandan macam apa pun, enggak akan sanggup menyamai istri kedua Ayah yang masih seumuran kamu,” Ibu menangis tergugu saat menjabarkan setiap luka yang ia rasa. Bisa kurasakan sakitnya pengkhianatan, dia bertahan atas nama cinta, tetapi yang ia dapat justru hinaan yang menyesakkan. Aku memeluk wanita yang sudah melahirkan suamiku, menenangkannya sebisaku, butuh keberanian yang besar untuk mengatakan ini semua padaku.
Lepaskan Bu, lepaskanlah beban itu, setidaknya hatimu tidak akan penuh dengan luka.
Mungkin ini yang hendak ia katakan saat mengejar mobilku ketika kami sudah akan pulang. Bisa kutebak kenapa Ayah mertua selalu mendesak Mas Bagas melakukan poligami, dia berpikir hal itu semudah membalikkan telapak tangan.
“Ibu nyuruh Kiran melepaskan Mas Bagas, tapi kenapa Ibu enggak mau melepaskan Ayah, Kenapa Bu,” ucapku.
“Ibu mau tinggal di mana Nak, ibu ga punya keahlian. Lagian umur iBu udah tua mungkin sebentar lagi ….”
“Jangan ngomong gitu Bu, rezeki Allah itu luas,” ucapku.
“Terus kamu mau bagaimana ke depannya, Nak?” tanyanya. Kulemparkan senyumku padanya.
“Kiran enggak tahu Bu, tapi mungkin Kiran mau coba buat terapi ke dokter katanya teknologi sekarang udah canggih kita bisa program buat punya bayi laki-laki,” ucapku.
“Ibu dukung kamu Ran, tapi sekiranya Bagas tetap ngotot mau nikah lagi. Jangan memaksakan hatimu Ran, ibu bukan mau menyuruhmu untuk pisah. Cukup ibu yang merasakan sakitnya, kamu jangan sampai ikut merasakan juga,” jawab Ibu. Percayalah Bu, tidak semua poligami itu menyakitkan. Ada banyak di belahan bumi lain yang tetap merasakan bahagia menjalankan sunah ini.
Bukankah hadirnya poligami sebagai solusi, di mana jaman dulu orang-orang berlomba-lomba memperbanyak istri, hingga akhirnya munculah hukum poligami dalam alqur’an yang membatasi hanya sampai 4 istri. Sayangnya bagi mereka yang hanya mengedepankan nafsu tanpa ilmu, sunah poligami justru dijadikan ajang pesakitan.
Selepas pembicaraan selesai kami pun pergi ke rumah masing-masing. Di rumah Ibu, tampak mobil Mas Bagas sudah terparkir di depan, baru sehari dia sudah mencariku. Bolehkah aku berharap kalau hadirnya kini karena rindu? Dia masih suamiku bukan, tak ada salahnya mengharapkan hal itu?
“Kiran, kita pulang ya Mas enggak bisa tinggal sendirian di rumah. Rasanya beda, rumah sepi tanpa kamu sama anak-anak. Mas enggak biasa hidup sendirian kayak gini,” ucapnya. Senyum seketika merekah di bibirku. Ketika jarak jadi solusi bagi hubungan yang mulai hampa, hingga mampu membuat debaran halus yang lama tak pernah kurasakan hadir kembali. Mengakuinya atau tidak jauh di lubuk hatiku rasa ini masih sama, tersimpan dengan baik di tempatnya. Entah bagaimana dengannya, masihkah aku tersimpan dengan baik dihatinya atau sudah terganti dengan sosok baru yang lebih menggairahkan.
“Sebelum pulang, bujuk Meisya dulu. Minta maaflah Mas, kamu udah nyakitin hati dia,” ucapku. Tanpa basa-basi dia mendekati Meisya entah apa yang mereka bicarakan Meisya tetap acuh. Hingga adik-adiknya memohon agar Meisya bisa pulang, dia tetap pada pendiriannya. Bukan aku tak ingin membantu. Ada kalanya kita perlu mengajarkan tanggung jawab kalau hati itu sangat mudah rapuh, agar ke depannya bisa berpikir berkali-kali sebelum mulai menyakiti. Kamu beruntung Mas, karena anak-anakku yang lain mau membantumu meminta maaf pada Meisya. Akhirnya Meisya setuju untuk pulang, setelah kami pamit pada Ibu kami segera pulang. Meisya hanya diam, sepanjang perjalanan raut mukanya tampak sedih. Bisa kurasakan dia belum benar-benar melupakan luka atas pengkhianatan Mas Bagas. Sesampainya rumah kutidurkan anak-anakku, karena memang sudah waktunya untuk tidur.
“Mas, aku perlu bicara,” ucapku mendekatinya yang tengah sibuk dengan laptopnya.
“Bicaralah, De,” ucapnya.
“Apa mau Mas sekarang?” tanyaku.
“Mas akan tetap mempertahankan rumah tangga kita, De.”
“Dan Riana akan tetap jadi pacar Mas begitu?” tanyaku.
“Mas akan tinggalin dia, kasih Mas kesempatan ya Dek. Mas ga sanggup hidup sendirian di rumah ini,” ucapnya. Sungguh senyumku tak bisa lepas ketika dia lagi-lagi mengatakan tak bisa hidup sendirian.
“Kalau masalahnya, karena anak laki-laki kita bisa terapi. Teknologi sekarang udah canggih Mas, kita bisa hamil sesuai dengan jenis kelamin bayi yang kita inginkan,” jelasku.
“Benarkah?” tanyanya memastikan. Kujawab dengan senyum dan anggukan ke arahnya.
“Tapi, kalau masalahnya kamu yang ingin menikah lagi, aku tidak punya solusi,” ucapku. Mas Bagas terdiam, pandangannya pun tertunduk ke bawah. Entah apa yang dipikirkan bahkan sekarang lantai pun lebih menarik perhatiannya dari pada sekedar menatap wajahku.
“Jatuh cinta lagi atau hanya sekedar rindu pada masa lalu, perbedaan kedua hal itu tipis sekali. Sering kali kita tak bisa membedakan keduanya, banyak orang yang ketika bertemu orang di masa lalu, selalu merasakan debaran yang tak biasa, berbeda dengan pasangan yang menemaninya bertahun-tahun, tak ada lagi debaran seperti itu saat bersamanya, hal itulah yang kadang disalahartikan hingga mampu menghancurkan jalinan rumah tangga yang sudah dibangun dengan susah payah,” ucapku. Mas Bagas mendongakkan kepalanya menatap wajahku. Senyumku merekah menyambut wajahnya yang memenuhi setiap ruang dibola mataku, karena jarak kami yang hanya sejengkal. Bisa kulihat dengan jelas setiap lekuk di wajahnya.
“Maafkan Mas ya, maafkan Mas Kiran. Kasih Mas kesempatan lagi, setelah itu kalau Mas melakukan kesalahan lagi Adek boleh melakukan apa pun,” ucap Mas Bagas lalu digenggamnya kedua tanganku. Tak lama setelah itu dia mengangkatnya sampai ke dagunya kemudian menciumi punggung tanganku bergantian kiri dan kanan.
“Apa Mas melakukan hal ini juga bersama Riana?” tanyaku. Mas Bagas langsung menghentikan aktivitasnya melakukan adegan romantisnya padaku.
“Kamu mulai meragukanku, De?” tanyanya.
“Andai Mas bisa sedikit lebih tegas aku tidak akan pernah meragukanmu,” jawabku.
“Maafkan Mas, De.”
“Aku ga butuh maafmu, kalau pengkhianatanmu masih terus berjalan untuk apa semua itu?”
“Aku hanya perlu ketegasanmu pada hubungan kita. Jangan membuatku bingung! Aku tidak akan memaksamu untuk terus hidup bersama. Kamu bisa memilih hidup bersamanya atau bersamaku.”
Pagi itu saat hendak pergi terapi mendadak tubuhku rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Jiwaku memang sakit tapi tak seharusnya fisikku ikut merasakan dampaknya.Terpaksa kubatalkan jadwal terapiku, karena sudah terlanjur libur, Mas Bagas merawatku, dia bahkan mau memijat badanku meskipun setelahnya dia memanggil tukang pijat untuk datang ke rumah.Harapanku ini akan jadi awal yang baik, orang bilang sakit itu pelebur dosa, semoga sakitku kali ini juga jadi pelebur rasa cinta yang tak seharusnya tumbuh dihati suamiku.“Dek kamu salah makan apa gimana?” tanyanya saat tukang pijat selesai melakukan tugasnya padaku.“Ga tahu, Mas,”“Maafkan Mas ya ini pasti gara-gara Mas, kamu jadi telat makan sampe ngedrop kayak gini,”“Udahlah Mas, asalkan Mas tidak mengulanginya lagi aku sudah pasti memaafkanmu,” ucapku.“Tidurlah Dek, biar anak-anak aku yang jaga, besok pakai babby si
Hari yang ditunggu itu pun tiba aku melakukan USG betapa bahagianya aku saat mendengar dokter mengatakan bahwa jenis kelamin janinku laki-laki. Berkali-kali Mas Bagas menciumku. Kami sangat bersyukur setelah penantian yang panjang akhirnya Tuhan mengizinkan kami merawat bayi laki-laki.“Maaf Bu, sepertinya ada sedikit masalah pada janin yang ibu kandung,” ucap Dokter.“Maksudnya, Dok?” tanyakuJantungku mendadak berpacu sangat cepat. Ada apa dengan janinku?“Ada abnormalitas pada janin ibu, terdapat kelebihan cairan di bagian belakang leher, ibu bisa lihat di layar USG,” ucap Dokter sambil tangannya menunjuk ke layar USG.“Saya enggak ngerti Dok, maksudnya bagaimana anak saya kenapa?” tanyaku tak sabar.“Sabar sayang, biar dokter jelasin dulu,” Mas Bagas mencoba menenangkanku.“Gini Bu ada kemungkinan janin ibu mengalami down syndrome, untuk lebih jelasnya lagi ibu bisa lakukan beberapa test, untuk hasil yang lebih akurat,” ucap
Tengah malam Mas Bagas baru sampai rumah, penampilannya begitu acak-acakkan, kusambut dia dengan senyuman tak lupa dengan segelas susu hangat kesukaannya. Tanpa jeda dia menghabiskan susu yang kusuguhkan, dengan hanya beberapa kali tegukan, dapat kulihat amarah masih tampak dari wajahnya. Aku suruh dia beristigfar berkali-kali hingga dia merasakan sedikit lebih tenang. Entah apa yang terjadi di rumah mertuaku, hingga membuat suamiku seemosi ini. “Dia itu dari dulu bisanya cuma ngancem Dek, kesel Mas, ibu juga bisanya diem aja udah disakitin berkali-kali masih aja bertahan,” ucapnya. “Mas, begitulah perempuan yang punya cinta yang murni dan tulus, jangankan rasa sakit logika pun ga akan di pake,” ucapku. “Dek, apa rasanya sesakit ini, pengkhianatan ini, apa yang Meisya rasakan sesakit ini?” tanya Mas Bagas. Kubalas dia dengan senyuman, memberinya jeda untuk berpikir kesalahannya. “Syukurkah kalau Mas bisa ngambil hikmah dari kejadian
Pov BagasDia Kirana, wanita yang kunikahi 12 tahun yang lalu ibu dari ketiga putriku dan sebentar lagi kami akan diberi amanah yang keempat. Aku tak peduli jika calon anakku akan lahir dalam keadaan istimewa. Dia tetaplah anakku.Cukup Abangku yang merasakannya sampai mati pun aku tak akan pernah berlaku sama dengan Ayah. Membuang darah dagingnya sendiri. Kesalahan yang kulakukan padanya terbilang fatal. Godaan wanita masa laluku hadir kembali. Kirana bilang hanya ada dua hal yang mungkin terjadi ketika kita bertemu orang yang pernah mengisi hati kita di masa lalu jatuh cinta lagi atau hanya sekedar rindu. Aku mencoba meyakinkan diri berkali-kali, tapi lagi-lagi gagal. Hingga Kiran meninggalkanku sendirian di rumah, bisa kurasakan kesepian yang mendalam terjadi di sini, dihatiku.Aku berjanji tidak akan lagi membuatmu ragu meskipun kutahu semuanya tak akan semudah dulu kamu bahkan mengajukan surat perjanjian, yang bisa kulakukan hanya menuruti apa maunya. Dia terlalu berarti dalam hid
Pov BagasMeisyaa, no Sayang! Itu namanya kekerasan.” Kiran memeluk Meisya dengan erat.Kulihat Meisya menghentikan jalannya. Dia membukas toples itu lalu memakan kukis di dalamnya dengan cepat dapat kudengar gertakan giginya yang sepertinya sengaja dia hentakkan, sambil menatap tajam ke arah Riana dia terus saja memakan kukis itu lalu membawanya sampai ke kamar.Jujur saja di tengah kepanikan ini aku ingin tertawa dasar anak kecil bisa-bisanya makan kukis padahal habis jambak orang. Setelah dipeluk Kiran, Meisya pun pergi ke kamarnya. Sedang Kiran menemaniku menemui Riana.“Mau apa kamu kesini?” tanyaku pada Riana.“Aku mau minta kejelasanlah, berapa hari kamu enggak ngontak aku.” tanya Riana.“Untuk apa dia ngontek kamu? Itu artinya kamu sudah di buang,” ucap Kirana. Menyaksikan dua wanita memperebutkanku rasanya seketika aku merasa jadi manusia terganteng sedunia.“Sudah, sudah kamu pergi aja Riana jangan ganggu keluargaku lagi! Mulai hari ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi,
Pov Bagas “Kamu sudah bersumpah di atas alquran Mas, masih mau melanggar, tanggung sendiri akibatnya,” Riana menatapku dengan tajam. Rupanya sedari tadi dia memperhatikan raut mukaku. Setelah Riana pergi dari rumahku, hatiku tasanya tak karuan seperti anak muda yang baru bertemu dengan gebetan. Oh kenapa wanita hamil jadi begitu sensitif ke mana senyumnya yang dulu? Dia bahkan tak bisa menahan cemburu walau hanya sebentar. “Engga Sayang, Mas tetap cinta sama kamu,” ucapku pada Kirana. Setahuku perempuan suka sekali dinyatakan cinta. Tak peduli itu tulus atau tidak. Namun, percayalah aku ini tulus mencintainya, walaupun godaan selalu datang melanda yang kadang membuatku maju mundur dan ragu berkali-kali. Benar saja setelah kuucapkan jurus kata cintaku, dapat kulihat senyum terukir di bibir merahnya. "Nah gitu dong, ‘kan jadi Adek Kirana tambah cantik." Membahagiakan wanita memang semudah ini tak perlu keluar banyak uang. Kini pipi istriku bersemu merah jambu. Kuakui semenjak hamil di
Pov Bagas “Kiran maksudnya apa foto ini?” Kupelankan suaraku agar tak sampai terdengar Ibu yang keberadaannya hanya terhalang tembok kamarku. Dia tengah beristirahat di kamar sebelah. Foto yang dikirim Riana kutunjukkan itu pada Istriku. Tak ada jawaban darinya kudengar dia sedikit berdecak. Sedetik kemudian senyum terukir indah di bibir merahnya. “Kiran, ini apa?” Kenapa perempuan selalu senang menguji kesabaranku? Jangan tersenyum! Senyum malaikatmu itu kau simpan saja untuk nanti yang kubutuhkan hanyalah jawaban . “Kamu itu kenapa Mas, cemburukah?” Kiran menatapku, segera kupalingkan wajahku. “Dari siapa foto itu? Riana ‘kan?” Pertanyaan Kiran membuatku balik menatapnya, entah kenapa kurasa raut wajahnya kali ini terkesan meremehkanku. “Tak penting itu dari siapa. Pokoknya aku ga suka kamu deket-deket sama Andre. Dia itu memang sepupuku, tapi hubungan kami tidak terlalu baik.” Kupalingkan wajahku ke arah lain. Kesal sekali rasanya bukannya meminta maaf dia malah tersenyum tan
Belum kering luka jahitanku. Entah kenapa setiap melihat Andre, Mas Bagas selalu emosi teringat tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya saat periksa ke dokter kandungan kebetulan memang Mas Bagas tak bisa mengantarku karena mendadak harus bertemu klien.“Heh kamu istrinya si Bagas kan?” tiba-tiba seorang Pria mencolekku saat duduk menunggu taksi online yang kupesan. Sangat tidak sopan memang, padahal penampilannya rapi lengkap dengan setelan jas seperti Mas Bagas, tetapi kelakuannya berbanding terbalik.“Eh lu masih mau aja sama si Bagas, bodoh banget sih jadi perempuan. Kayak di dunia ini enggak ada laki-laki lain aja,” ucapnya.Tak kuhiraukan sama sekali, meskipun hatiku panas, sudah menjelekkan suamiku ditambah lagi mengataiku bodoh, meskipun Mas Bagas pernah mengkhianatiku, 12 tahun pernikahanku dengannya bisa kubedakan saat dia benar-benar berkata jujur atau berbohong. Hatiku mengatakan saat dia mengusir Riana di rumah, dia sudah benar-benar ingin meninggalkannya. Mungkin dia