Share

Sumpah

Pagi itu saat hendak pergi terapi mendadak tubuhku rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Jiwaku memang  sakit tapi tak seharusnya fisikku ikut merasakan dampaknya.

Terpaksa kubatalkan jadwal terapiku, karena sudah terlanjur libur, Mas Bagas merawatku, dia bahkan mau memijat badanku meskipun setelahnya dia memanggil tukang pijat untuk datang ke rumah.

Harapanku ini akan jadi awal yang baik, orang bilang sakit itu pelebur dosa, semoga sakitku kali ini juga jadi pelebur rasa cinta yang tak seharusnya tumbuh dihati suamiku.

“Dek kamu salah makan apa gimana?” tanyanya saat tukang pijat selesai melakukan tugasnya padaku.

“Ga tahu, Mas,” 

“Maafkan Mas ya ini pasti gara-gara Mas, kamu jadi telat makan sampe ngedrop kayak gini,”

“Udahlah Mas, asalkan Mas tidak mengulanginya lagi aku sudah pasti memaafkanmu,” ucapku.

“Tidurlah Dek, biar anak-anak aku yang jaga, besok pakai babby sitter aja ya?” tawarnya.

“Aku cuma sakit sekali, mas udah nawarin babby sitter aja, kasih aku waktu buat istrahat sebentar aja, itu udah cukup, mungkin besok udah enakkan,” ucapku.

Di rumahku memang ada ART tugasnya hanya membantuku membersihkan rumah sedang  menjaga anak-anak aku memilih untuk merawatnya sendiri dengan tanganku, aku tak bekerja jadi untuk apa menyewa babby sitter, kalau aku pun tak ada kegiatan di rumah.

“Mas, 2 hari kemarin kamu kemana? Kerja atau ....” 

“Mas beneran kerja Dek, Mas baru pulang jam 6 pagi, kebetulan Mas ketemu Riana di jalan makanya Mas mampir,”

“Terus makan bareng pake suap-suapan?” tanyaku.

“Maaf Dek, soal itu...”

“Kenapa sih harus pake suap-suapan segala, sama aku aja kamu ga pernah,” tanyaku.

“Mas janji ini yang terakhir, Mas ga mau kehilangan kalian, Mas ga mau sampe Meisya benci sama Mas,” jawabnya.

“Ga semudah itu Mas, udahlah kita batalin aja terapinya buang-buang waktu,” ucapku berlalu dari hadapannya.

“Sayang tunggu, jangan tinggalin Mas, Mas ga sanggup kehilangan Meisya, melihatnya marah bahkan enggan Mas sentuh hati Mas sakit Kiran, Meisya darah daging Mas tapi sampai sekarang bahkan dia  jijik sama Mas,” ucap Mas Bagas menghentikanku, bisa kurasakan tangannya perlahan memeluk tubuhku dari belakang, perlakuan manis seperti ini, dulu selalu berhasil membuatku amarahku luluh seketika. Aku memang bukan orang suci tapi berdosakah kalau aku merasa jijik padanya.

“Lepasin Mas,” ucapku kulepaskan pelukannya dengan kasar meski nuraniku berkata ini tidak benar, sisi hatiku yang lain sudah terlampau sakit.

“Kenapa? Kamu juga ga mau Mas sentuh?” tanyaku.

“Wanita mana yang rela disentuh pria yang sudah zinah dengan perempuan lain,” ucapku.

“Demi Tuhan Mas ga pernah zinah, mas memang salah pernah berkhianat tapi hubungan Mas belum sejauh itu,” ucapnya.

Kulemparkan senyumku padanya mendengarnya bersumpah atas nama Tuhan, sungguh luar biasa, zinah itu bukan sebatas hubungan badan, hatimu mendua, matamu yang menatapnya dengan penuh cinta serta setiap suapan makanan yang kau berikan padanya itu sudah termasuk zinah, mengingatnya saja membuatku mual.

“Lepaskan, Mas,” ucapku akhirnya perlahan Mas Bagas mau melepaskan pergelangan tanganku, aku pun berlalu meninggalkannya.

“Mau kemana?” tanyanya.

“Aku pengen muntah!” ucapku kesal.

“Apa harus sampai segitunya Kiran?”

“Udah ah aku ga tahan pengen muntah, tunggu di sini aku punya sesuatu buat Mas,” ucapku berlalu meninggalkannya, di kamar mandi perutku berasa di aduk-aduk, perbuatan Mas Bagas benar-benar membuatku mual.

Setelah selesai aku mengambil wudhu,berjalan menuju kamarku mengambil selembar kertas yang sudah ku persiapkan tak lupa ku ambil Al Qur’an di ruang ibadah.

“Ambil wudhu sana Mas, aku ingin Mas bersumpah di atas Alqur’an,” ucapku.

“Apa harus seperti ini Kiran?” tanya Mas Bagas.

“Mas itu sudah seperti bermuka dua, Mas bilang janji bakal setia Mas malah main belakang, kasih tahu aku gimana caranya ngebalikin kepercayaan pada orang seperti itu? Selain ini apa ada cara lain?” tanyaku.

“Baiklah tunggu sebentar Mas ambil wudhu dulu.”

Tak berapa lama Mas Bagas kembali, dengan wajahnya yang basah dengan air wudhu. Kusuruh dia bersumpah di atas Alqur’an kalau dia tidak pernah berkhianat.

“Sebelum mengucapkan sumpahmu, tanda tangani ini dulu.” Kuserahkan selembar surat perjanjian yang berisi bahwa jika kami sampai bercerai maka hak asuh anak sepenuhnya jatuh padaku. Hanya merekalah kekuatanku, bisa kubayangkan kalau hal itu sampai terjadi tidak akan mudah bagiku melewati hari-hari tanpa kehadiran kekasih hati yang menemaniku selama ini. Mas Bagas tak banyak bertanya dia langsung menandatangani surat perjanjian itu.

“Demi Allah, aku tidak pernah berhubungan badan dengan siapapun kecuali istriku, aku berjanji tidak akan pernah mengkhianatinya dan apabila aku sampai mengkhianatinya lalu kami berpisah aku serahkan hak asuh anak sepenuhnya pada istriku,” ucap Mas Bagas. Tanpa sadar bulir bening menetes perlahan membasahi pipiku, luruh sudah air mataku, entah apa arti dari air mata ini, bahagiakah atau miris karena hubungan kita tak lebih dari hubungan yang terikat kontrak. Mas Bagas memelukku.

“Adek sudah lega sekarang? percayalah Dek, Mas mencintai kamu, benar katamu kalau jatuh cinta dengan hanya sekedar rindu bedanya tipis, maafkan Mas ya, maafkan Mas yang pernah ragu, mulai sekarang hanya ada kita berdua tak akan lagi ada orang lain,” ucapnya. Tak ada jawaban dariku, entah apa yang harus kukatakan. Esok harinya badanku sudah lebih segar, aku dan Mas Bagas pergi ke dokter untuk konsultasi masalah terapi bayi laki-laki. Dokter memeriksa perutku tapi entah kenapa raut mukanya berubah dia seperti menatap heran padaku.

“Ibu sedang hamil?” tanya Dokter.

“Hah?” tanyaku, bukan aku tak mendengar hanya saja tak percaya dengan pertanyaannya.

“Ibu bisa tes pake test pack atau kalau ibu mau bisa langsung aja di USG,”

“Masa sih dok, eh sebentar saya emang udah telat 1 2 3 ya ampun saya udah telat 10 hari dok, biar saya tes pake tes pack aja dulu dok,” ucapku. Mendengar penuturanku, Mas Bagas tampak bingung. Aku segera ke kamar mandi untuk mengeceknya, tak lama setelah itu benar saja di tes pack menunjukkan garis dua. Menurut dokter, kandunganku sudah berumur 6 minggu, bagaimana bisa aku tak menyadarinya. Sekilas kulirik Mas Bagas raut mukanya tampak bahagia.

“Tapi Dok apakah anak ini laki-laki?” tanyaku.

“Kita bisa tahu kalau sudah 18 minggu Bu,” jawabnya.

Tak seharusnya kuajukan pertanyaan konyol seperti ini tetapi jujur saja di tengah rasa bahagia ada sedikit ketakutan kalau janinku bukan berjenis kelamin laki-laki. Bukannya tak bersyukur tapi keadaan yang memaksaku begini.

Mas Bagas mengusap punggungku.

“Sudahlah Dek, apapun jenis kelaminnya ini tetep anak kita, Mas akan tetap jadi Abinya,” ucapnya berusaha menenangkanku.

“Tapi Ayah....”

“Kita berdoa saja semoga kita diamanatkan Allah anak laki-laki,” ucapnya sambil tersenyum kearahku.

Setelah pemeriksaan selasai dilakukan aku pergi ke rumah, kuberitahu Meisya dan adik-adiknya yang lain bahwa sebentar lagi kita akan punya anggota keluarga baru, mereka tampak senang kecuali Rinjani dia bergelayut manja padaku.

“Kalau ada dedek bayi, Rinjani ga di sayang lagi dong Uma,” tanyaku.

“Siapa yang bilang gitu sayang? Uma tuh bakal sayang terus sama Rinjani sama Aka Arumi sama Aka Meisya juga. Semuanya sayaaang banget sama Rinjani,” ucapku.

Mungkinkah dia cemburu? Bisa kumengerti untuk anak seusianya wajar hal itu terjadi. Kugendong Rinjani ke halaman depan, kuajak dia bicara dari hati ke hati, anak kecil terkadaang memang lebih peka terhadap rasa  cemburu. Aku tak sabar menunggu minggu ke 18 kehamilanku, entah apa jenis kelamin bayiku nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status