Share

Sumpah

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-04-22 08:42:08

Pagi itu saat hendak pergi terapi mendadak tubuhku rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Jiwaku memang  sakit tapi tak seharusnya fisikku ikut merasakan dampaknya.

Terpaksa kubatalkan jadwal terapiku, karena sudah terlanjur libur, Mas Bagas merawatku, dia bahkan mau memijat badanku meskipun setelahnya dia memanggil tukang pijat untuk datang ke rumah.

Harapanku ini akan jadi awal yang baik, orang bilang sakit itu pelebur dosa, semoga sakitku kali ini juga jadi pelebur rasa cinta yang tak seharusnya tumbuh dihati suamiku.

“Dek kamu salah makan apa gimana?” tanyanya saat tukang pijat selesai melakukan tugasnya padaku.

“Ga tahu, Mas,” 

“Maafkan Mas ya ini pasti gara-gara Mas, kamu jadi telat makan sampe ngedrop kayak gini,”

“Udahlah Mas, asalkan Mas tidak mengulanginya lagi aku sudah pasti memaafkanmu,” ucapku.

“Tidurlah Dek, biar anak-anak aku yang jaga, besok pakai babby sitter aja ya?” tawarnya.

“Aku cuma sakit sekali, mas udah nawarin babby sitter aja, kasih aku waktu buat istrahat sebentar aja, itu udah cukup, mungkin besok udah enakkan,” ucapku.

Di rumahku memang ada ART tugasnya hanya membantuku membersihkan rumah sedang  menjaga anak-anak aku memilih untuk merawatnya sendiri dengan tanganku, aku tak bekerja jadi untuk apa menyewa babby sitter, kalau aku pun tak ada kegiatan di rumah.

“Mas, 2 hari kemarin kamu kemana? Kerja atau ....” 

“Mas beneran kerja Dek, Mas baru pulang jam 6 pagi, kebetulan Mas ketemu Riana di jalan makanya Mas mampir,”

“Terus makan bareng pake suap-suapan?” tanyaku.

“Maaf Dek, soal itu...”

“Kenapa sih harus pake suap-suapan segala, sama aku aja kamu ga pernah,” tanyaku.

“Mas janji ini yang terakhir, Mas ga mau kehilangan kalian, Mas ga mau sampe Meisya benci sama Mas,” jawabnya.

“Ga semudah itu Mas, udahlah kita batalin aja terapinya buang-buang waktu,” ucapku berlalu dari hadapannya.

“Sayang tunggu, jangan tinggalin Mas, Mas ga sanggup kehilangan Meisya, melihatnya marah bahkan enggan Mas sentuh hati Mas sakit Kiran, Meisya darah daging Mas tapi sampai sekarang bahkan dia  jijik sama Mas,” ucap Mas Bagas menghentikanku, bisa kurasakan tangannya perlahan memeluk tubuhku dari belakang, perlakuan manis seperti ini, dulu selalu berhasil membuatku amarahku luluh seketika. Aku memang bukan orang suci tapi berdosakah kalau aku merasa jijik padanya.

“Lepasin Mas,” ucapku kulepaskan pelukannya dengan kasar meski nuraniku berkata ini tidak benar, sisi hatiku yang lain sudah terlampau sakit.

“Kenapa? Kamu juga ga mau Mas sentuh?” tanyaku.

“Wanita mana yang rela disentuh pria yang sudah zinah dengan perempuan lain,” ucapku.

“Demi Tuhan Mas ga pernah zinah, mas memang salah pernah berkhianat tapi hubungan Mas belum sejauh itu,” ucapnya.

Kulemparkan senyumku padanya mendengarnya bersumpah atas nama Tuhan, sungguh luar biasa, zinah itu bukan sebatas hubungan badan, hatimu mendua, matamu yang menatapnya dengan penuh cinta serta setiap suapan makanan yang kau berikan padanya itu sudah termasuk zinah, mengingatnya saja membuatku mual.

“Lepaskan, Mas,” ucapku akhirnya perlahan Mas Bagas mau melepaskan pergelangan tanganku, aku pun berlalu meninggalkannya.

“Mau kemana?” tanyanya.

“Aku pengen muntah!” ucapku kesal.

“Apa harus sampai segitunya Kiran?”

“Udah ah aku ga tahan pengen muntah, tunggu di sini aku punya sesuatu buat Mas,” ucapku berlalu meninggalkannya, di kamar mandi perutku berasa di aduk-aduk, perbuatan Mas Bagas benar-benar membuatku mual.

Setelah selesai aku mengambil wudhu,berjalan menuju kamarku mengambil selembar kertas yang sudah ku persiapkan tak lupa ku ambil Al Qur’an di ruang ibadah.

“Ambil wudhu sana Mas, aku ingin Mas bersumpah di atas Alqur’an,” ucapku.

“Apa harus seperti ini Kiran?” tanya Mas Bagas.

“Mas itu sudah seperti bermuka dua, Mas bilang janji bakal setia Mas malah main belakang, kasih tahu aku gimana caranya ngebalikin kepercayaan pada orang seperti itu? Selain ini apa ada cara lain?” tanyaku.

“Baiklah tunggu sebentar Mas ambil wudhu dulu.”

Tak berapa lama Mas Bagas kembali, dengan wajahnya yang basah dengan air wudhu. Kusuruh dia bersumpah di atas Alqur’an kalau dia tidak pernah berkhianat.

“Sebelum mengucapkan sumpahmu, tanda tangani ini dulu.” Kuserahkan selembar surat perjanjian yang berisi bahwa jika kami sampai bercerai maka hak asuh anak sepenuhnya jatuh padaku. Hanya merekalah kekuatanku, bisa kubayangkan kalau hal itu sampai terjadi tidak akan mudah bagiku melewati hari-hari tanpa kehadiran kekasih hati yang menemaniku selama ini. Mas Bagas tak banyak bertanya dia langsung menandatangani surat perjanjian itu.

“Demi Allah, aku tidak pernah berhubungan badan dengan siapapun kecuali istriku, aku berjanji tidak akan pernah mengkhianatinya dan apabila aku sampai mengkhianatinya lalu kami berpisah aku serahkan hak asuh anak sepenuhnya pada istriku,” ucap Mas Bagas. Tanpa sadar bulir bening menetes perlahan membasahi pipiku, luruh sudah air mataku, entah apa arti dari air mata ini, bahagiakah atau miris karena hubungan kita tak lebih dari hubungan yang terikat kontrak. Mas Bagas memelukku.

“Adek sudah lega sekarang? percayalah Dek, Mas mencintai kamu, benar katamu kalau jatuh cinta dengan hanya sekedar rindu bedanya tipis, maafkan Mas ya, maafkan Mas yang pernah ragu, mulai sekarang hanya ada kita berdua tak akan lagi ada orang lain,” ucapnya. Tak ada jawaban dariku, entah apa yang harus kukatakan. Esok harinya badanku sudah lebih segar, aku dan Mas Bagas pergi ke dokter untuk konsultasi masalah terapi bayi laki-laki. Dokter memeriksa perutku tapi entah kenapa raut mukanya berubah dia seperti menatap heran padaku.

“Ibu sedang hamil?” tanya Dokter.

“Hah?” tanyaku, bukan aku tak mendengar hanya saja tak percaya dengan pertanyaannya.

“Ibu bisa tes pake test pack atau kalau ibu mau bisa langsung aja di USG,”

“Masa sih dok, eh sebentar saya emang udah telat 1 2 3 ya ampun saya udah telat 10 hari dok, biar saya tes pake tes pack aja dulu dok,” ucapku. Mendengar penuturanku, Mas Bagas tampak bingung. Aku segera ke kamar mandi untuk mengeceknya, tak lama setelah itu benar saja di tes pack menunjukkan garis dua. Menurut dokter, kandunganku sudah berumur 6 minggu, bagaimana bisa aku tak menyadarinya. Sekilas kulirik Mas Bagas raut mukanya tampak bahagia.

“Tapi Dok apakah anak ini laki-laki?” tanyaku.

“Kita bisa tahu kalau sudah 18 minggu Bu,” jawabnya.

Tak seharusnya kuajukan pertanyaan konyol seperti ini tetapi jujur saja di tengah rasa bahagia ada sedikit ketakutan kalau janinku bukan berjenis kelamin laki-laki. Bukannya tak bersyukur tapi keadaan yang memaksaku begini.

Mas Bagas mengusap punggungku.

“Sudahlah Dek, apapun jenis kelaminnya ini tetep anak kita, Mas akan tetap jadi Abinya,” ucapnya berusaha menenangkanku.

“Tapi Ayah....”

“Kita berdoa saja semoga kita diamanatkan Allah anak laki-laki,” ucapnya sambil tersenyum kearahku.

Setelah pemeriksaan selasai dilakukan aku pergi ke rumah, kuberitahu Meisya dan adik-adiknya yang lain bahwa sebentar lagi kita akan punya anggota keluarga baru, mereka tampak senang kecuali Rinjani dia bergelayut manja padaku.

“Kalau ada dedek bayi, Rinjani ga di sayang lagi dong Uma,” tanyaku.

“Siapa yang bilang gitu sayang? Uma tuh bakal sayang terus sama Rinjani sama Aka Arumi sama Aka Meisya juga. Semuanya sayaaang banget sama Rinjani,” ucapku.

Mungkinkah dia cemburu? Bisa kumengerti untuk anak seusianya wajar hal itu terjadi. Kugendong Rinjani ke halaman depan, kuajak dia bicara dari hati ke hati, anak kecil terkadaang memang lebih peka terhadap rasa  cemburu. Aku tak sabar menunggu minggu ke 18 kehamilanku, entah apa jenis kelamin bayiku nanti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Senyum Istri   Jatuh Cinta Berulang Kali

    “Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung

  • Di Balik Senyum Istri   Duri yang Melukaiku

    “Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”

  • Di Balik Senyum Istri   Seonggok Sampah

    Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu

  • Di Balik Senyum Istri   Tanggung Jawab

    “Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su

  • Di Balik Senyum Istri   Jangan Macam-Macam

    “Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem

  • Di Balik Senyum Istri   Piala Bergilir

    Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang

  • Di Balik Senyum Istri   Karma

    “Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia

  • Di Balik Senyum Istri   Air Mata Bagas

    “Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya

  • Di Balik Senyum Istri   Cubitan Pengusir Mantan

    “Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status