Share

Bab 4 Titik merah di leher

Malam ini tepat pukul sebelas malam suamiku akhirnya pulang.

Seperti biasa dia seperti kecapekan dan lesu. Mengetuk pintu rumah dan langsung masuk. Karena aku memang tak menguncinya supaya pas aku ketiduran dia tidak membangunkanku.

Namun borok-borok ketiduran, batin ini terus berkecamuk menduga-duga sesuatu hal buruk tentang Mas Dani.

Kini aku tidak menunggunya di sofa. Sengaja aku pura-pura sudah terlelap di samping Dona. Padahal pas kudengar suara kendaraan roda duanya berhenti mataku  sontak melihat jam dinding. Jelas waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam tepat.

Dia seperti tak punya istri dan anak saja. Pulang selarut itu tanpa rasa bersalah.

"Diandra, kamu sudah tidur!" ucapnya sambil nyelonong masuk ke dalam kamar. Menghampiriku dan juga Dona.

Entah itu basa-basinya atau apa.

Sama sekali aku tidak bisa berpura-pura tidur selama itu. Mataku yang pura-pura menutup langsung saja melek kembali.

Segera hengkang dari samping Dona yang sudah terlelap. Menghampiri mays Dani yang hendak membuka seluruh pakaiannya. Kecuali pakaian dalam.

Dia menoleh ke arahku.

"Eh, kamu kebangun?" katanya. Dengan tangan masih membuka kancing baju paling akhir.

Wajahku sedikit kecut dan murung.

Dia kembali melanjutkan melepas pakaiannya. Langsung meraih handuk dan menuju kamar mandi, bersih-bersih seperti biasa.

Tak ada dosa sekali di wajahnya. Apa kerena dia selalu memberiku uang yang banyak? Atau dia tidak peduli?

Ah, aku masih belum menemukan titik terang tentang hal ini. Kepala pusing tujuh keliling memikirkan tentang ke suudzonan ini.

Mataku melirik ke arah putri semata wayangku. Dona si putri cantik yang sangat persis seperti ayahnya. Dia cantik dan manis. Berbola mata indah nan bening.

Tak lama kemudian Mas Dani keluar dari kamar mandi.

Kutunggu dia sampai memakai baju pijama dan mendekat ke arah ranjang.

Pasti dia melihat wajahku yang sedikit cemberut. Makanya dia langsung menegurku.

"Yuk kita tidur. Jangan cemberut melulu," ucapnya menggoda.

Namun sama sekali aku tak tergoda.

Langsung saja mulut ini membuka. Sepertinya ada sesuatu yang mendorong mulut ini dari dalam. Yang membuatku langsung berbicara dengan nada sinis.

"Gimana enggak cemberut. Akhir-akhir ini kamu lebih sering pulang malam. Setiap malam Kamis dan Minggu malam, lagi!" ketusku.

"Kan aneh!" tuturku lagi.

Mataku tak bisa menyorot wajahnya. Karena rasanya kesal sekali. Ingin diam tapi emosi ini terus menggebu-gebu. Rasanya darah dan jantung ini seakan tak kuat lagi untuk berfungsi jikalau emosi ini tak segera kukeluarkan.

Kudengar tarikan nafasnya.

"Aku kan sudah bilang. Aku sedang merintis bisnisku. Dan kenapa malam-malam? Ya, karena kalau siang, kami semua 'kan pada kerja. Kamu harus ngerti dong," jawabnya tanpa emosi. Berharap aku mengerti.

Memang suamiku ini tidak pernah memuncakan emosinya. Tapi bila nadanya sedikit naik kurasa itu berarti di benar-benar emosi. Namun kali ini sama sekali tidak.

Wajahku masih kusam dan kecut.

"Aku butuh alasan yang pasti, Mas. Coba saja kamu jelaskan. Apa bisnis kamu? Dengan siapa? Dan tempatnya dimana, dengan jelas. Pasti otakku ini tak akan pusing dan suudzon terus sama kamu," pekikku sedikit emosi. Namun nadanya masih di bawah rata-rata.

Nafas suamiku menghembus kasar.

"Aku enggak mau debat soal ini. Lagipula aku kasih semua hasilnya sama kamu. Kamu enggak kekurangan uang kan?" jawabnya berbelok.

Dia malah bertanya balik. Seperti membelokkan pembicaraan yang kutuju tadi.

"Apa susahnya sih kamu bilang. Bisnis aku itu jualan, kek. Properti, kek. Atau apalah! Aku tuh masih penasaran, Mas!" ketusku kembali.

"Dan soal uang?"

Belum selesai bicara bukannya dia menjawab, malah membaringkan badannya dan tidur. Tidak ada pengertiannya sama sekali. Kok bisa dia begitu? Kalem sekali dia menghadapiku.

Rasa ngantukku kini selalu saja hilang tiba-tiba. Tak ada kejelasan apapun dari mas Dani. Dan itu membuat otakku selalu berfikir keras tentang prasangka ini.

Tiap kali ditanya, pasti jawabannya malas berdebat.

Memangnya siapa yang ajak dia debat? Memangnya kita ini pasangan caleg? Bingung juga jadinya.

Tentang di restorannya tadi belum sempat pula aku tanyakan. Jangankan sampai ke sana, awal-awal pula dia sudah tak mau menjawab jujur.

Tapi aku masih penasaran. Kata pelayan tadi suamiku sering datang ke sana. Dengan banyak orang pula, lalu pergi tanpa membawa kendaraannya.

Pikiranku super semrawut. Ingin membuntuti kasihan dengan si kecil. Jika tidak, rasa penasaranku sama sekali tak mau pergi.

"Sabar Diandra, sabar. Kamu pasti menemukan titik terangnya." Hatiku menenangkan.

Meskipun mata ini tidak mengantuk namun kucoba untuk membaringkan badan ini lalu berniat tidur dengan pulas.

Membalikan badan dan berniat tidur di samping Dona.

Kini Dona tidak aku tidurkan di ranjang kecilnya, namun sengaja aku menaruh Dona di tengah-tengah kami. Antara aku dan Mas Dani.

Belum juga badanku terbaring sempurna, seketika mata ini melihat sesuatu yang membuat perih saat memandang.

"Hah? Ada titik-titik merah di leher suamiku? Seperti ...."

Jelas niatku untuk berbaring kini terurungkan. Seketika hengkang dari tempat tidur dan mencoba mendekat ke sisi dimana dia berbaring.

Kaki ini melangkah perlahan. Dia benar-benar sudah tertidur lelap dan takut suara langkah ini membangunkannya.

Kudekati perlahan dan ku pastikan bekas warna merah di lehernya.

Kedua bola mataku tak berkedip sekalipun. Niat ingin memastikan, bekas apa itu?

Kini wajahku semakin dekat dengan badannya. Mata ini menatap tajam lehernya.

Jelas sekali. Noda merah itu bukanlah bekas gigitan nyamuk di malam hari. Atau bekas gigitan serangga jahil.

Ingin rasanya kuku kelingkingku yang panjang ini menekan lehernya hingga dia berteriak kesakitan.

Kupastikan lagi noda warna merah itu. Ya, benar, itu bukanlah bekas gigitan nyamuk atau serangga lainnya. Benar-benar bukan.

Jelas itu adalah warna yang dihasilkan dari sebuah hisapan bibir saat kedua orang bercumbu mesra. Warna merah yang kecil dan ada pula yang melebar. Berani sekali dia melakukan hal itu. Lalu wanita mana yang telah mencuri perhatian suamiku?

Lemas sudah lutut ini rasanya.

Kobaran api seperti menyala-nyala di lubuk hati ini.

Dan kini dugaanku diperkuat oleh bekas merah itu. Ya Tuhan, apa benar suamiku ...?

Oh tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencari bukti yang lebih spesifik untuk menguatkan dugaanku.

Rasanya kaki ini tak mampu berjalan, dan mata ini tak ingin berhenti memandang wajah sosok laki-laki yang telah mencoba berkhianat sejauh itu.

Batin ini makin pedih dan sakit saja rasanya.

Lalu yang aku bingung, bukannya selingkuh itu menguras uang di kantong?

Tapi, uang suamiku malah makin banyak.

Jadi apa benar dia memang berbisnis dan uangnya ia berikan padaku dan ia pakai pula untuk wanita lain?

Jantungku rasanya tak ingin ringan berdetak. Detakannya makin keras dan cepat saja. Membuat dada ini panas seakan tersunut oleh api yang makin berkobar.

"Mas Dani!" amukku tertahan sambil meremas rambut kepala dengan keras.

Kini aku telah menjadi wanita yang mau dibodohi dan diperbudak. Bagaimana tidak? Aku telah menuruti kemauannya sampai-sampai berhenti dari pekerjaan yang baru saja ku geluti.

Ibu, bapak, rasanya aku ingin sekali memelukmu. Tapi, kalian berada jauh di kampung sana. Andaikan kalian ada di sini, pasti kalian bisa menenangkanku.

Ya, sejak Mas Dani menikahiku dia memutuskan untuk membawaku ke uar kota. Jauh dari Ibu Bapak kami masing-masing. Katanya supaya kita lebih mandiri.

Tapi, kalau seperti ini kejadiannya aku juga menjadi malas kalau terus-terusan di bohongi.

Astaghfirullah!

Lutut yang masih lemas ini terpaksa perlahan ku baringkan bersama seluruh kerangka badan yang terasa berat ku bawa.

Tak bisa bibir ini berkata sesuatu. Seakan leher ini sakit sekali terganjal bebatuan tajam.

Hanya ludah yang terus-menerus ku telan. Tak bisa menangis karena terlalu emosi.

Apa harus aku menenangkan diri dan berfikir kalau bekas merah itu adalah gigitan nyamuk keganjenan saja?

Hukh!

Lebih baik aku positif thingking. Bukan Diandra, itu bukan bekas apa-apa. Itu hanyalah bekas gigitan nyamuk.

Tapi ... Akh.

Akhirnya tubuh ini berbaring membelakangi anak dan suamiku.

Tak sadar mata ini telah meneteskan airnya dan membasahi batang hidung.

Ya, batin ini terus-menerus merasakan sakit hingga akhirnya bendungan air mata ini keluar.

Sakit yang luar biasa ku rasakan saat ini.

Sesekali membayangkan dan menebak-nebak apa yang di lakukan suamiku sebenarnya tadi.

Ikh, jijik sekali kalau itu benar terjadi.

Bukankah orang selingkuh itu suka lupa diri? Lupa kasih uang istri? Lupa kasih sayang pada keluarga?

Tapi, mas Dani selama ini selalu menyayangi kami. Mengajak kami jalan-jalan, dan memberiku uang uang cukup bahkan lebih.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?

Apa suamiku benar-benar selingkuh, ataukah ini hanya perasaanku saja.

Ya Tuhan, berilah aku kemudahan untuk melihat dan mengetahui kejadian sebenarnya.

–––

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu banyak bicara sendiri kayak orang gila kau. katanya kau pintar tapi dungu dan tolol. laki kau jadi pelacyr alias gigolo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status