Akhirnya tiba juga di hari Minggu. Pasti suamiku sekarang akan pamit pergi kembali. Seperti biasa sore-sore.
Memang tadi kami menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan ke taman kota. Sempat kecurigaanku hilang atas sikapnya. Namun, tetap saja batin ini berkecamuk merasa ada yang ganjal.
Mas Dani memang tiba-tiba banyak uang. Katanya itu adalah hasil dari bisnis yang sedang ia rintis bersama teman-temannya.
Mas Dani membelikan baju untukku dan untuk anak kami pula. Ah, aku benar-benar kalap dengan kebingungan ini. Mungkin aku tak akan curiga jikalau dia terbuka, memberitahuku di mana ia berbisnis dengan jelas.
Semoga saja suamiku tidak memperjual belikan barang haram.
"Amit-amit, amit-amit."
Bibirku mengucap sambil mengetuk-ngetuk kepala oleh jari, dan diketukan pula ke atas meja.
Oke, mulai hari ini kecurigaanku harus segera diluruskan. Aku tak mau menjadi istri yang berdosa. Setiap waktu suudzon pada suami yang benar-benar menafkahiku.
Saat ini aku berada di kamar, sedang merapikan baju yang belum sempat kurapikan tadi.
Tiba-tiba Mas Dani menghampiri. Dia sudah mandi dan memakai baju rapi dan baru.
"Sayang, aku pergi dulu. Oh, ya, ini uang tambahan buat kamu. Besok pagi aku ingin kamu masakin makanan favorit aku. Sekarang aku pergi dulu, ya!" pamitnya. Memberiku sejumlah uang lembaran berwarna merah cap dua orang pahlawan. Tentunya itu adalah uang seratus ribuan empat lembar.
Akupun mengangguk.
Bibirku tersenyum pahit. Namun do'aku selalu menyertainya.
"Parfum kamu baru, Mas?" tanyaku sedikit penasaran.
Baunya menyengat sekali. Aromanya juga tercium parfum yang sangat mahal.
Dia hanya tersenyum.
Seketika mengecup kening.
Seusai dia mengecup keningku lalu aku mengecup punggung tangannya pula dengan takzim.
Mas Dani pun akhirnya pergi.
"Tuh, kan. Dugaanku benar. Pasti dia hari ini pergi sore-sore."
Menarik nafas cepat dan menghembuskannya amat kasar.
Hari ini aku akan membuntuti kemana Mas Dani pergi. Biar aku bawa saja Dona. Toh pakai motor ini. Tapi, cuaca di luar panas sekali. Tapi, apa aku harus tega membawa Dona panas-panasan!
Setelah aku siap pergi dan mengais Dona menuju teras, tiba-tiba ada mbak Miranti datang.
"Assalammualaikum, Mbak Diandra!" salamnya menghampiriku di teras.
"Waalaikum salam, Mbak Miranti!" jawabku.
Sepertinya dia heran melihatku sudah berpakaian rapi juga membawa tas seperti orang yang akan pergi berjalan-jalan.
"Sudah rapi saja sore-sore seperti ini. Mbak Diandra mau kemana?" tanyanya sambil tersenyum.
Mbak Miranti adalah tetangga samping rumah namun agak renggang. Dia memang baik dan selalu menyapaku. Bahkan dia juga sering membawa Dona main ke rumahnya.
"Saya mau keluar sebentar, Mbak," jawabku seraya dengan ramah dan sopan.
"Oh, mau jalan-jalan?" tanyanya lagi.
Bibirku menyeringai dengan terpaksa.
"Hem, bukan, Mbak. Saya ada sedikit urusan. Sebenarnya saya tak ingin membawa Dona, tapi, mau gimana lagi. Kalau begitu saya pamit dulu. Titip rumah ya, Mbak," kataku kembali basa-basi sebelum pergi.
Namun saat aku hendak pergi, tiba-tiba Mbak Miranti menyodorkan dirinya untuk mengasuh Dona. Mungkin karena dia kasihan melihat Dona yang akan pergi kepanasan. Meskipun hari sudah mulai sore, tapi sinar mentari masih terasa sekali membakar kulit.
"Oh, kalau memang ada urusan, Dona biar sama saya saja. Toh saya juga enggak ada kerjaan. Anak-anak juga ada di rumah, pasti senang jika saya datang membawa Dona," sambungnya.
Sedikit ragu dan tak enak hati.
"Tapi, Mbak. Entar Dona merepotkan lagi," kilahku.
"Sama sekali enggak kok. Yuk, Sayang, biar Mbak Mira yang gendong kamu," sambungnya lagi sambil tangannya meraih dan memangku Dona.
Dona memang sudah agak akrab dengan mbak Miranti. Jelas sekali, karena mbak Miranti sering mengajaknya bermain dan bercanda.
Kadang dia yang datang ke rumahku, ataupun kadang aku yang datang ke rumahnya sekedar mengajak Dona menghirup udara sekitar. Ya, karena kami sama-sama ibu rumah tangga yang tidak diperbolehkan bekerja oleh suami.
Akhirnya dengan lega aku menitipkan Dona padanya. Memang sedikit tak enak hati. Namun karena dia yang menawarkan sendiri, jadi biarlah, toh Dona juga kelihatannya suka dan anteng diasuh olehnya.
Segera aku mengeluarkan kunci motor dari tas. Motor lamaku yang sering kupakai dulu untuk bolak-balik saat ke kampus juga saat aku masih kerja. Haah, kini motor ini lebih banyak diam di tempatnya.
Untung saja aku telah menaruh emailku di ponselnya secara diam-diam. Tadi malam saat dia sedang tertidur pulas, jadi aku bisa melacak keberadaannya lewat sebuah aplikasi.
Sedikit melaju sekitar dua ratus meteran segera aku membuka aplikasi tersebut dan terlihatlah dimana posisi suamiku kini.
Sedikit di zoom.
Aku cari tahu lokasi tepatnya.
"Hah? Di sebuah restoran ternama? Apa dia memang sedang berbisnis dengan rekannya yang orang berada itu?"
Segera aku simpan kembali gawai itu ke dalam tas. Melanjutkan kembali berkendara.
Aku berharap suamiku memang masih ada di sana. Bukan niatku menghampiri dan mengganggu. Sebenarnya aku hanya ingin melihatnya dari kejauhan.
Tak lama sampailah di parkiran restoran. Dan benar saja, motor baru suamiku ada di parkiran. Warnanya, plat nomornya jelas aku mengenalnya. Itu memang motor Mas Dani.
Tanpa basa-basi lagi segera aku masuk ke dalam restoran. Bersikap biasa tanpa menghadirkan gelagat mencari sesuatu.
Saat aku masuk ke restoran mewah itu tak ada sedikitpun tanda-tanda keberadaan Mas Dani. Batang hidung atau secuwil gaya rambutnya pun tak kulihat sama sekali.
Aku menghampiri meja kasir dan mencoba memesan makanan. Memang harganya mahal-mahal sekali, tapi uangku lebih dari cukup untuk membelinya, karena uang jajan dan uang belanja yang diberikan Mas Dani sangat lebih, apalagi akhir-akhir bulan ini. Jadi sekarang aku mencoba pesan makanan sambil permisi ke toilet sebentar.
Padahal niatku mencari suami.
"Duduk di mana dia?" Hatiku bergemuruh.
Setelah mengelilingi restoran yang luas dan megah itu sama sekali aku tidak menemukan Mas Dani.
"Ada yang bisa kami bantu, Mbak!"
Tiba-tiba seorang pelayan laki-laki mengejutkanku. Dia pasti sudah melihatku dari tadi yang bolak-balik seperti mencari seseorang.
Tiba-tiba aku terdiam. Mencoba berpikir sesuatu.
"Ya, Mas. Saya sedang mencari suami saya. Apa Mas melihat laki-laki ini. Kira-kira dia duduk di sebelah mana, ya?" tanyaku coba-coba.
Biarlah aku bertanya. Namun aku juga tetap menjaga sikap.p
Kuperlihatkan foto Mas Dani di gawai.
"Maaf ya, Mas," ucapku lagi sambil memperlihatkan. Siapa tahu dia melihatnya.
Keningnya mengernyit.
"Oh, itu, Mbak. Mas ini sudah pergi baru saja," katanya.
Jelas aku terkejut.
"Pergi?" batinku berbisik.
Aku pun segera menutup layar gawai kembali. Menyudahi memperlihatkan foto Mas Dani tadi.
"Jadi, dia telah pergi?"
Pelayan itu pun mengangguk.
"Terima kasih ya, Mas," tuturku.
"Ya, Mbak. Memang si mas itu sering datang ke sini. Banyakan kok," sambungnya lagi.
Aku terkejut.
Tapi memang Mas Dani bilang juga, berbisnis dengan rekannya lebih dari satu orang."Kalau begitu saya permisi," pamitnya.
Jadi suamiku sudah pergi? Motornya?
Segera kulihat kembali kendaraannya di parkiran. Anehnya motor suamiku masih ada.
"Apa maksud semua ini? Lalu kalau ia pergi naik apa?"
"Tunggu, biar kulihat kembali lewat aplikasi," kesalku, dan langsung membuka gawai kembali membuka aplikasi tadi.
Jelas aku makin keget.
Ya, suamiku memang sudah pergi. Tanpa kendaraannya sendiri.
"Hah? Dia pergi ke komplek perumahan?" ujarku.
Mataku terpincut oleh lokasi dimana suamiku berada saat itu.
Pikirku terus menggebu-gebu. Apa yang suamiku kerjakan sebenarnya?
Kulihat dan kupastikan kembali. Ternyata suamiku berada di sebuah komplek perumahan elit nan megah.
Napasku terhembus kasar.
"Maaf, Mbak. Makanannya sudah siap," kata pelayan menghampiriku di dekat pintu keluar. Jelas aku terkejut sekali. Pasti karena aku memesan makanan dan tak kunjung datang juga untuk duduk di meja pesanan.
Aku sedikit bingung. Lebih baik aku minta di bungkuskan saja makanannya.
"Di bungkus saja ya, Mbak. Bisa kan?" pintaku.
Otakku kini tidak fokus. Pikiranku masih terkoceh dengan tingkah Mas Dani yang belum bisa kutebak.
Segera aku pergi ke meja kasir mengambil makanan tadi dan tak lupa membayarnya cash.
Kembali ke parkiran. Menatapi motor suamiku. Karena jelas-jelas itu adalah motornya.
Entah dia pergi naik apa. Ataukah bersama rekan kerjanya?
"Apa lebih baik aku hampiri kesana. Tapi, bagaimana dengan Dona? Aku takut dia menangis dan membuat repot Mbak Miranti." Pikiranku serba salah.
Dan benar saja, tiba-tiba gawai ini berbunyi tanda dering panggilan masuk.
Kulihat nama yang tertera. Ya, jelas sekali yang memanggilku adalah Mbak Miranti.
Segera aku mengangkat panggilannya. Ternyata Mbak Miranti memintaku segera pulang dengan beribu kata maaf. Karena dia harus segera pergi ke luar kota. Ibu suami Mbak Miranti meninggal.
"Innalilahi."
Aku turut berduka cita. Sungguh perasaan ini ikut lemas dengan musibah yang terjadi padanya.
Segera aku mengambil kunci motor dan menghidupkannya. Mataku masih saja tertuju pada motor Mas Dani yang masih terparkir rapi. Namun orangnya sama sekali tak kutemui.
Ah, akhirnya niat penyelidikanku gagal.
Langsung menancap gas menjalankan roda dua itu sedikit cepat. Karena aku tahu mbak Mira akan segera pergi.
Beberapa menit berkendara akhirnya tiba juga di depan rumah. Mbak Mira sudah berdiri saja di depan pintu rumahku. Dia sudah berdandan rapi sambil mengais Dona.
Dia meminta maaf atas apa yang terjadi. Jelas malah aku yang menjadi tidak enak. Dona anakku ternyata masih anteng di pangkuan Mbak Mira.
"Maaf ya, Mbak. Karena ketitipan Dona Mbak jadi agak repot," ulasku merendah.
"Tidak apa-apa. Maaf kalau tadi urusan Mbak Diandra belum selesai, karena saya juga tiba-tiba dapat panggilan dari adik saya," tuturnya.
Akhirnya setelah ucapan permintaan maafku karena tidak bisa ikut hadir untuk berbela sungkawa, Mbak Mira pun segera pergi bersama anak dan suaminya. Mengendarai mobil milik mereka sendiri.
Bukannya aku tidak mau ikut menghadiri pemakaman almarhumah, hanya saja letaknya yang berada jauh di luar kota. Jadi tak mungkin juga aku pergi, apalagi tanpa seizin Mas Dani.
Merekapun telah luput dari pandangan. Aku masih mengais Dona dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Menyimpan bungkusan makanan dari restoran tadi di meja.
Nafasku tertarik dan menghembuskannya kasar.
"Maafkan aku, kalau batinku suudzon berlebihan padamu. Tapi pertanyaan di batinku ini belum bisa terjawab. Dan membuatku masih merasa ragu atas apa yang kamu lakukan," gerutu batinku sambil mendudukan Dona di sofa.
Aku memang menerima uang pemberian Mas Dani, tapi kenapa aku masih suudzon saja? Ah, aku benar-benar dibuat penasaran.
Semoga saja suamiku tidak memberikan uang yang tidak halal untuk menghidupi keluarga ini. Apalagi untuk menghidupi darah daging kami yang cantik dan manis, yaitu Dona.
–––
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada
PoV Diandra***"Maaf, Pak, Bu, stok darah untuk saudara Reza sudah habis." Ujar Dokter yang tiba-tiba membuka pintu ruangan."Ya Allah, lalu gimana Dokter? Apa yang harus kami lakukan?" Aku sangat panik."Dokter, dokter bisa ambil darah saya. Sebanyak yang kakak saya butuhkan, Dokter," ujar Mas Dani lantang. Bola matanya pun masih terus berkaca-kaca. Aku sangat terharu."Kami bisa saja mengambil darah dari anda," jawab dokter atas usulan Mas Dani."Tapi, rasanya tak mungkin bila kami harus mengambil terlalu banyak darah untuk pasien. Karena itu bisa membahayakan kesehatan anda," imbuh dokter lagi.Aku, Mama dan Nessia hanya bisa diam dalam kegelisahan. Karena diantara kami tak ada darah yang cocok. Selain Mas Dani, tak ada lagi di keluarga kami. Apalagi darah mereka terbilang langka. Tapi aku yakin, dokter pasti bisa menangani seperti sebelum-sebelumnya."Dok, ambil saja darah saya. Saya rela walau nyawa saya taruhannya,"
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h