Share

Bab 3 Mengikuti

Akhirnya tiba juga di hari Minggu. Pasti suamiku sekarang akan pamit pergi kembali. Seperti biasa sore-sore.

Memang tadi kami menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan ke taman kota. Sempat kecurigaanku hilang atas sikapnya. Namun, tetap saja batin ini berkecamuk merasa ada yang ganjal.

Mas Dani memang tiba-tiba banyak uang. Katanya itu adalah hasil dari bisnis yang sedang ia rintis bersama teman-temannya.

Mas Dani membelikan baju untukku dan untuk anak kami pula. Ah, aku benar-benar kalap dengan kebingungan ini. Mungkin aku tak akan curiga jikalau dia terbuka, memberitahuku di mana ia berbisnis dengan jelas.

Semoga saja suamiku tidak memperjual belikan barang haram.

"Amit-amit, amit-amit."

Bibirku mengucap sambil mengetuk-ngetuk kepala oleh jari, dan diketukan pula ke atas meja.

Oke, mulai hari ini kecurigaanku harus segera diluruskan. Aku tak mau menjadi istri yang berdosa. Setiap waktu suudzon pada suami yang benar-benar menafkahiku.

Saat ini aku berada di kamar, sedang merapikan baju yang belum sempat kurapikan tadi.

Tiba-tiba Mas Dani menghampiri. Dia sudah mandi dan memakai baju rapi dan baru.

"Sayang, aku pergi dulu. Oh, ya, ini uang tambahan buat kamu. Besok pagi aku ingin kamu masakin makanan favorit aku. Sekarang aku pergi dulu, ya!" pamitnya. Memberiku sejumlah uang lembaran berwarna merah cap dua orang pahlawan. Tentunya itu adalah uang seratus ribuan empat lembar.

Akupun mengangguk.

Bibirku tersenyum pahit. Namun do'aku selalu menyertainya.

"Parfum kamu baru, Mas?" tanyaku sedikit penasaran.

Baunya menyengat sekali. Aromanya juga tercium parfum yang sangat mahal.

Dia hanya tersenyum.

Seketika mengecup kening.

Seusai dia mengecup keningku lalu aku mengecup punggung tangannya pula dengan takzim.

Mas Dani pun akhirnya pergi.

"Tuh, kan. Dugaanku benar. Pasti dia hari ini pergi sore-sore."

Menarik nafas cepat dan menghembuskannya amat kasar.

Hari ini aku akan membuntuti kemana Mas Dani pergi. Biar aku bawa saja Dona. Toh pakai motor ini. Tapi, cuaca di luar panas sekali. Tapi, apa aku harus tega membawa Dona panas-panasan!

Setelah aku siap pergi dan mengais Dona menuju teras, tiba-tiba ada mbak Miranti datang.

"Assalammualaikum, Mbak Diandra!" salamnya menghampiriku di teras.

"Waalaikum salam, Mbak Miranti!" jawabku.

Sepertinya dia heran melihatku sudah berpakaian rapi juga membawa tas seperti orang yang akan pergi berjalan-jalan.

"Sudah rapi saja sore-sore seperti ini. Mbak Diandra mau kemana?" tanyanya sambil tersenyum.

Mbak Miranti adalah tetangga samping rumah namun agak renggang. Dia memang baik dan selalu menyapaku. Bahkan dia juga sering membawa Dona main ke rumahnya.

"Saya mau keluar sebentar, Mbak," jawabku seraya dengan ramah dan sopan.

"Oh, mau jalan-jalan?" tanyanya lagi.

Bibirku menyeringai dengan terpaksa.

"Hem, bukan, Mbak. Saya ada sedikit urusan. Sebenarnya saya tak ingin membawa Dona, tapi, mau gimana lagi. Kalau begitu saya pamit dulu. Titip rumah ya, Mbak," kataku kembali basa-basi sebelum pergi.

Namun saat aku hendak pergi, tiba-tiba Mbak Miranti menyodorkan dirinya untuk mengasuh Dona. Mungkin karena dia kasihan melihat Dona yang akan pergi kepanasan. Meskipun hari sudah mulai sore, tapi sinar mentari masih terasa sekali membakar kulit.

"Oh, kalau memang ada urusan, Dona biar sama saya saja. Toh saya juga enggak ada kerjaan. Anak-anak juga ada di rumah, pasti senang jika saya datang membawa Dona," sambungnya.

Sedikit ragu dan tak enak hati.

"Tapi, Mbak. Entar Dona merepotkan lagi," kilahku.

"Sama sekali enggak kok. Yuk, Sayang, biar Mbak Mira yang gendong kamu," sambungnya lagi sambil tangannya meraih dan memangku Dona.

Dona memang sudah agak akrab dengan mbak Miranti. Jelas sekali, karena mbak Miranti sering mengajaknya bermain dan bercanda.

Kadang dia yang datang ke rumahku, ataupun kadang aku yang datang ke rumahnya sekedar mengajak Dona menghirup udara sekitar. Ya, karena kami sama-sama ibu rumah tangga yang tidak diperbolehkan bekerja oleh suami.

Akhirnya dengan lega aku menitipkan Dona padanya. Memang sedikit tak enak hati. Namun karena dia yang menawarkan sendiri, jadi biarlah, toh Dona juga kelihatannya suka dan anteng diasuh olehnya.

Segera aku mengeluarkan kunci motor dari tas. Motor lamaku yang sering kupakai dulu untuk bolak-balik saat ke kampus juga saat aku masih kerja. Haah, kini motor ini lebih banyak diam di tempatnya.

Untung saja aku telah menaruh emailku di ponselnya secara diam-diam. Tadi malam saat dia sedang tertidur pulas, jadi aku bisa melacak keberadaannya lewat sebuah aplikasi.

Sedikit melaju sekitar dua ratus meteran segera aku membuka aplikasi tersebut dan terlihatlah dimana posisi suamiku kini.

Sedikit di zoom.

Aku cari tahu lokasi tepatnya.

"Hah? Di sebuah restoran ternama? Apa dia memang sedang berbisnis dengan rekannya yang orang berada itu?"

Segera aku simpan kembali gawai itu ke dalam tas. Melanjutkan kembali berkendara.

Aku berharap suamiku memang masih ada di sana. Bukan niatku menghampiri dan mengganggu. Sebenarnya aku hanya ingin melihatnya dari kejauhan.

Tak lama sampailah di parkiran restoran. Dan benar saja, motor baru suamiku ada di parkiran. Warnanya, plat nomornya jelas aku mengenalnya. Itu memang motor Mas Dani.

Tanpa basa-basi lagi segera aku masuk ke dalam restoran. Bersikap biasa tanpa menghadirkan gelagat mencari sesuatu.

Saat aku masuk ke restoran mewah itu tak ada sedikitpun tanda-tanda keberadaan Mas Dani. Batang hidung atau secuwil gaya rambutnya pun tak kulihat sama sekali.

Aku menghampiri meja kasir dan mencoba memesan makanan. Memang harganya mahal-mahal sekali, tapi uangku lebih dari cukup untuk membelinya, karena uang jajan dan uang belanja yang diberikan Mas Dani sangat lebih, apalagi akhir-akhir bulan ini. Jadi sekarang aku mencoba pesan makanan sambil permisi ke toilet sebentar.

Padahal niatku mencari suami.

"Duduk di mana dia?" Hatiku bergemuruh.

Setelah mengelilingi restoran yang luas dan megah itu sama sekali aku tidak menemukan Mas Dani.

"Ada yang bisa kami bantu, Mbak!"

Tiba-tiba seorang pelayan laki-laki mengejutkanku. Dia pasti sudah melihatku dari tadi yang bolak-balik seperti mencari seseorang.

Tiba-tiba aku terdiam. Mencoba berpikir sesuatu.

"Ya, Mas. Saya sedang mencari suami saya. Apa Mas melihat laki-laki ini. Kira-kira dia duduk di sebelah mana, ya?" tanyaku coba-coba.

Biarlah aku bertanya. Namun aku juga tetap menjaga sikap.p

Kuperlihatkan foto Mas Dani di gawai.

"Maaf ya, Mas," ucapku lagi sambil memperlihatkan. Siapa tahu dia melihatnya.

Keningnya mengernyit.

"Oh, itu, Mbak. Mas ini sudah pergi baru saja," katanya.

Jelas aku terkejut.

"Pergi?" batinku berbisik.

Aku pun segera menutup layar gawai kembali. Menyudahi memperlihatkan foto Mas Dani tadi.

"Jadi, dia telah pergi?"

Pelayan itu pun mengangguk.

"Terima kasih ya, Mas," tuturku.

"Ya, Mbak. Memang si mas itu sering datang ke sini. Banyakan kok," sambungnya lagi.

Aku terkejut.

Tapi memang Mas Dani bilang juga, berbisnis dengan rekannya lebih dari satu orang.

"Kalau begitu saya permisi," pamitnya.

Jadi suamiku sudah pergi? Motornya?

Segera kulihat kembali kendaraannya di parkiran. Anehnya motor suamiku masih ada.

"Apa maksud semua ini? Lalu kalau ia pergi naik apa?"

"Tunggu, biar kulihat kembali lewat aplikasi," kesalku, dan langsung membuka gawai kembali membuka aplikasi tadi.

Jelas aku makin keget.

Ya, suamiku memang sudah pergi. Tanpa kendaraannya sendiri.

"Hah? Dia pergi ke komplek perumahan?" ujarku.

Mataku terpincut oleh lokasi dimana suamiku berada saat itu.

Pikirku terus menggebu-gebu. Apa yang suamiku kerjakan sebenarnya?

Kulihat dan kupastikan kembali. Ternyata suamiku berada di sebuah komplek perumahan elit nan megah.

Napasku terhembus kasar.

"Maaf, Mbak. Makanannya sudah siap," kata pelayan menghampiriku di dekat pintu keluar. Jelas aku terkejut sekali. Pasti karena aku memesan makanan dan tak kunjung datang juga untuk duduk di meja pesanan.

Aku sedikit bingung. Lebih baik aku minta di bungkuskan saja makanannya.

"Di bungkus saja ya, Mbak. Bisa kan?" pintaku.

Otakku kini tidak fokus. Pikiranku masih terkoceh dengan tingkah Mas Dani yang belum bisa kutebak.

Segera aku pergi ke meja kasir mengambil makanan tadi dan tak lupa membayarnya cash.

Kembali ke parkiran. Menatapi motor suamiku. Karena jelas-jelas itu adalah motornya.

Entah dia pergi naik apa. Ataukah bersama rekan kerjanya?

"Apa lebih baik aku hampiri kesana. Tapi, bagaimana dengan Dona? Aku takut dia menangis dan membuat repot Mbak Miranti." Pikiranku serba salah.

Dan benar saja, tiba-tiba gawai ini berbunyi tanda dering panggilan masuk.

Kulihat nama yang tertera. Ya, jelas sekali yang memanggilku adalah Mbak Miranti.

Segera aku mengangkat panggilannya. Ternyata Mbak Miranti memintaku segera pulang dengan beribu kata maaf. Karena dia harus segera pergi ke luar kota. Ibu suami Mbak Miranti meninggal.

"Innalilahi."

Aku turut berduka cita. Sungguh perasaan ini ikut lemas dengan musibah yang terjadi padanya.

Segera aku mengambil kunci motor dan menghidupkannya. Mataku masih saja tertuju pada motor Mas Dani yang masih terparkir rapi. Namun orangnya sama sekali tak kutemui.

Ah, akhirnya niat penyelidikanku gagal.

Langsung menancap gas menjalankan roda dua itu sedikit cepat. Karena aku tahu mbak Mira akan segera pergi.

Beberapa menit berkendara akhirnya tiba juga di depan rumah. Mbak Mira sudah berdiri saja di depan pintu rumahku. Dia sudah berdandan rapi sambil mengais Dona.

Dia meminta maaf atas apa yang terjadi. Jelas malah aku yang menjadi tidak enak. Dona anakku ternyata masih anteng di pangkuan Mbak Mira.

"Maaf ya, Mbak. Karena ketitipan Dona Mbak jadi agak repot," ulasku merendah.

"Tidak apa-apa. Maaf kalau tadi urusan Mbak Diandra belum selesai, karena saya juga tiba-tiba dapat panggilan dari adik saya," tuturnya.

Akhirnya setelah ucapan permintaan maafku karena tidak bisa ikut hadir untuk berbela sungkawa, Mbak Mira pun segera pergi bersama anak dan suaminya. Mengendarai mobil milik mereka sendiri.

Bukannya aku tidak mau ikut menghadiri pemakaman almarhumah, hanya saja letaknya yang berada jauh di luar kota. Jadi tak mungkin juga aku pergi, apalagi tanpa seizin Mas Dani.

Merekapun telah luput dari pandangan. Aku masih mengais Dona dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Menyimpan bungkusan makanan dari restoran tadi di meja.

Nafasku tertarik dan menghembuskannya kasar.

"Maafkan aku, kalau batinku suudzon berlebihan padamu. Tapi pertanyaan di batinku ini belum bisa terjawab. Dan membuatku masih merasa ragu atas apa yang kamu lakukan," gerutu batinku sambil mendudukan Dona di sofa.

Aku memang menerima uang pemberian Mas Dani, tapi kenapa aku masih suudzon saja? Ah, aku benar-benar dibuat penasaran.

Semoga saja suamiku tidak memberikan uang yang tidak halal untuk menghidupi keluarga ini. Apalagi untuk menghidupi darah daging kami yang cantik dan manis, yaitu Dona.

–––

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status