"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan.
"Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.
Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan.
"Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan.
"Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya.
"Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
Selamat datang di cerita baru. Jangan lupa like, komen dan di followSelamat MembacaTok tok tok!Suara ketukan pintu pukul sepuluh malam kudengar. Pasti itu Mas Dani. Dia baru pulang kerja selarut ini? Tidak mengabari pula.Segera aku hengkang dari kursi dan membuka pintu. Sedikit mengucek mata karena sempat tertidur saat menunggunya pulang. Rambut yang sedikit berantakan kurapikan pula terlebih dahulu.Dona telah tertidur pulas di kasurnya, sedangkan aku masih menunggu Mas Dani sampai akhirnya ketiduran. Dan akhirnya, pulang juga dia sekarang."Hukh, akhirnya pulang juga, selarut ini tanpa kabar pula," gerutuku dalam hati. Sambil melangkahkan kaki hendak meraih gagang pintu.Tok tok tok!"Ya sebentar,
Sudah genap satu bulan. Mas Dani sering pulang larut setiap malam Senin dan malam Kamis. Sekarang pun dia memberiku kabar kembali, bahwa malam ini dia akan pulang terlambat.Malam ini adalah malam Senin ke sekian kalinya mas Dani sering pulang larut. Memang kerjaannya di kantor kan setiap hari Minggu itu libur. Namun ia bilang sedang mencoba merintis usaha baru bersama rekannya. Makanya mereka menggunakan waktu luang yaitu hari ini, hari Minggu.Setiap ku tanya alasannya memang selalu masuk akal. Tapi yang tidak masuk akal itu adalah penampilannya. Semakin wangi, semakin kece pula. Aku memang tidak masalah, karena ada peran istri dalam penampilan keren suami. Yang aku heran, kenapa setiap hari Rabu dan Minggu dia selalu berpenampilan menarik. Tapi hari-hari lainnya biasa-biasa saja. Malah dia jarang keluar rumah. Pulang ngantor pun pukul empat sudah di rumah.
Akhirnya tiba juga di hari Minggu. Pasti suamiku sekarang akan pamit pergi kembali. Seperti biasa sore-sore.Memang tadi kami menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan ke taman kota. Sempat kecurigaanku hilang atas sikapnya. Namun, tetap saja batin ini berkecamuk merasa ada yang ganjal.Mas Dani memang tiba-tiba banyak uang. Katanya itu adalah hasil dari bisnis yang sedang ia rintis bersama teman-temannya.Mas Dani membelikan baju untukku dan untuk anak kami pula. Ah, aku benar-benar kalap dengan kebingungan ini. Mungkin aku tak akan curiga jikalau dia terbuka, memberitahuku di mana ia berbisnis dengan jelas.Semoga saja suamiku tidak memperjual belikan barang haram."Amit-amit, amit-amit."Bibirku mengucap sambil mengetuk-ngetuk kepala oleh jari, dan diketukan pula ke atas meja.Oke, mulai hari ini kecurigaanku harus segera diluruskan. Aku tak mau
Malam ini tepat pukul sebelas malam suamiku akhirnya pulang.Seperti biasa dia seperti kecapekan dan lesu. Mengetuk pintu rumah dan langsung masuk. Karena aku memang tak menguncinya supaya pas aku ketiduran dia tidak membangunkanku.Namun borok-borok ketiduran, batin ini terus berkecamuk menduga-duga sesuatu hal buruk tentang Mas Dani.Kini aku tidak menunggunya di sofa. Sengaja aku pura-pura sudah terlelap di samping Dona. Padahal pas kudengar suara kendaraan roda duanya berhenti mataku sontak melihat jam dinding. Jelas waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam tepat.Dia seperti tak punya istri dan anak saja. Pulang selarut itu tanpa rasa bersalah."Diandra, kamu sudah tidur!" ucapnya sambil nyelonong masuk ke dalam kamar. Menghampiriku dan juga Dona.Entah itu basa-basinya atau apa.Sama sekali aku tidak bisa berpura-pura
Bekas merah di leher suamiku membuat malam ini terasa panas sekali. Ingin rasanya aku merobek lehernya, membelah otaknya mengeluarkan seluruh rekaman, apa yang ia lakukan tadi.Amarahku makin kesini makin berkecamuk.Andai saja aku bisa menguntit dirinya sampai aku memergoki kegiatan gelapnya di luar, mungkin semua pertanyaanku akan segera terjawab.Tapi aneh. Kalau suamiku selingkuh dia punya uang darimana? Apakah mau wanita centil di luar sana menggoda laki-laki yang sudah berumah tangga namun tak memiliki uang?Selama ini uangnya selalu di berikan padaku. Berapapun itu.Jelas aku tahu betul gajinya di kantor hanya sedikit. Dan itu semua dia berikan padaku.Jangan-jangan benar. Mas Dani punya bisnis lain yang amat menguntungkan di luar sana. Dan dari uang itulah ia bisa berbuat hal yang tidak pernah ku sangka.Apa mungkin jatah uangku darinya lebih