"Ibu dan Bapak akan tinggal disini?" tanyaku kaget sambil memastikan.
"Ya, Nak. Ibu dan Bapak berencana akan tinggal disini. Tapi kami akan mnyewa rumah, bukan tinggal bersama kamu," jelas ibu.
Aku masih tak menyangka, kalau bapak dan ibu malah akan tinggal dekat denganku. Tapi ada bagusnya juga. Siapa tahu mas Dani bisa merubah sikapnya jika bapak dan ibu berada dekat dengannya.
Tak sehelaipun kulihat baju yang mereka bawa. Kalau mereka akan pindah kesini, mana barang bawaan mereka?
"Oh, ya. Dani yang menyuruh kami untuk pindah kesini. Dan Dani juga sudah menyewakan rumah untuk kami. Ya kan, Pak?"
Hah?
"Ya Diandra. Dani yang menyuruh kami pindah. Lagipula di kampung, Bapak dan Ibu hanya tukang kebun. Jadi Dani katanya lebih baik membawa Ibu dan Bapak ke kota, bersama kalian."
Jawaban bapak membuatku menelan ludah.
Aku tersenyum sedikit terpaksa.
"Lalu barang Ibu dan Bapak mana?" tanyaku plangak plongok. Melihat mereka yang tak membawa apapun.
Akhirnya Bapak pun membawa kantong berukuran besar sebanyak dua buah. Pasti itu baju-baju mereka.
Tapi, kok Mas Dani tidak memberitahuku soal ini. Apalagi dia telah menyewakan sebuah rumah untuk Ibu dan Bapak.
Tapi, kalau itu sebagai rasa baktinya pada bapak dan ibu bagiku sama sekali tak masalah.
Tak lama kemudian Mas Dani sudah bangun dan menghampiri kami.
"Pak, Bu, kalian sudah sampai?"
Suamiku langsung menyapa kedua orang tuanya. Menyalami tangan mereka dengan penuh hormat.
Tak ada keheranan sedikitpun di wajahnya, hanya terlihat senyuman sumringah saja. Oh, jadi benar, Mas Dani mengetahui akan kedatangan Ibu dan Bapak.
Mas Dani duduk di sampingku.
"Mas, kok kamu enggak bilang kalau ibu dan bapak akan datang. Tahu gitu, aku siapkan sarapan khusus untuk mereka," tanggapku sedikit basa-basi.
Memang aku pagi ini tidak masak banyak. Karena memang biasa seperti itu.
Kalau saja aku tahu akan ada mertua datang, pasti masakanku bisa ditambah.
"Sudah, Nak. Bapak dan Ibu tadi sudah makan sebelum kesini. Karena kalau naik mobil sebelum makan, rasanya perut ibu suka mual-mual," jawab Ibu.
"Kamu masak saja lagi. Nanti uangnya aku kasih. Lebih baik sekarang kita antar Ibu dan Bapak ke rumah baru mereka. Yuk," ajak suamiku pada kami.
"Memangnya kamu sudah menyewa rumah dimana, Mas?"
"Itu rumah yang di ujung jalan," jawabnya.
Bukankah rumah yang di ujung jalan itu harga sewanya mahal.
Ah sudahlah, biar itu jadi urusan mas Dani.
***
Keesokan hari.
Ibu dan Bapak telah resmi tinggal di dekat rumahku. Menempati rumah di ujung jalan yang uang sewanya dibayar oleh Mas Dani, anaknya.
Aku jadi teringat Ibu dan Bapak di kampung. Bagaimana keadaan mereka ya? Sudah satu bulan ini aku tak menghubungi mereka, karena aku sibuk memikirkan tentang Mas Dani.
Gawai lama berwarna biru segera kuraih. Mencari nama Ibu karena ingin bicara dengan mereka saat itu juga.
"Assalammualaikum," jawabnya ketika mengangkat telepon.
"Waalaikum salam, Ibu dan Bapak apa kabar?" tanyaku pada Ibu.
"Baik, Nak. Kalian semua gimana?" tanya Ibu kembali.
"Alhamdulillah, kabar aku, Mas Dani dan Dona baik-baik saja, Bu."
"Syukurlah kalau begitu. Oh ya, Diandra, gimana suami kamu disana. Baik-baik kan?"
Ibu menanyakan kabar suamiku. Sikap dan sifatnya selama ini.
Jelas aku tak ingin membuatnya khawatir, lagipula memang tak ada masalah dengan Mas Dani.
Ibu memang tahu tentang mas Dani yang memiliki bisnis lain di luar. Aku yang memberitahu ibu beberapa waktu lalu.
Bapak dan Ibu berada di kampung dan sedang mengurus satu adik bungsu yang bernama Diva. Diva baru berusia empat belas tahun dan aku ingin dia bisa melanjutkan pendidikan sampai kuliah lulus sarjana.
Semoga saja Diva bisa kuliah dengan lancar juga kelak ia bisa bekerja dan berkarir. Menggali cita-citanya yang katanya ingin menjadi seorang dokter.
Hari ini Mas Dani berangkat ke kantor. Seperti biasa mengendarai motor lamanya.
Tugasku di rumah sudah mulai beres. Dari mulai memasak, mencuci dan menggosok. Karena kebetulan Dona sangat anteng bermain di kursi roda.
Menjelang beberapa jam.
Ibu mertua datang ke rumah.
Masuk rumah dan menghampiriku yang sedang bermain dengan Dona.
"Dona? Aduh Cucu Nenek sudah pintar sekali!" pujinya pada Dona yang sedang memasang masang puzle.
Aku tak menyadari kalau Ibu datang dan kini menuju ke arahku.
Sedikit terkejut.
Menoleh ke arah Ibu seketika.
"Eh, Ibu." Aku berucap demikian.
Ibu langsung ikut duduk dan bermain dengan Dona. Meskipun Dona masih merasa asing karena jarangnya bertatap muka dengan ibu, namun Dona anaknya cepat akrab. Apalagi Ibu juga amat ramah padanya.
Kami semua anteng bermain.
Tak lama kemudian.
Dona sudah asyik sendiri dengan mainan bonekanya.
Ibu mulai membuka mulutnya kembali.
"Diandra, Ibu mau tanya sama kamu. Memangnya Dani sekarang bisnis apa? Kok dia enggak mau cerita sama Ibu!" seru ibu.
Oh, jadi ibu juga sudah tahu tentang Mas Dani yang sedang berkarier. Namun dia juga tak memberitahu ibu, sama seperti padaku.
Bola mataku memutar. Entah harus bicara apa pada Ibu.
Bibir ini terus kumainkan bermaksud bingung dengan apa yang harus ku jelaskan. Karena aku pun sama sekali tak tahu.
"Diandra, kok kamu diam?" Ibu bertanya kembali. Mungkin karena melihat ekspresiku yang membingungkan.
"Ya itu yang buat aku bingung, Bu. Mas Dani sama sekali tidak dengan jelas menceritakan bisnis yang sedang ia gelutinya. Dia tidak cerita apapun. Dia hanya memberiku uang hasil usahanya dan saat aku tanya dia malah malas bicara."
Aku menjelaskan apa yang aku rasakan sebenarnya.
Aku tahu sikap dan sifat Ibu. Dia baik dan bukan pemarah.
"Jadi kamu benar-benar tidak tahu?" tanya Ibu kembali memastikan.
Aku mengangguk.
"Aku takut, bisnis Mas Dani enggak bener, Bu. Tapi maaf, Bu, bukan maksud aku menjelelekkan anak Ibu. Tapi aku harus bagaimana, mas Dani malah bungkam saat aku tanya tentang usahanya apa," jawabku cemas.
Ibu memandangku sendu. Apa dia akan marah?
"Ya sudah, kalau menurut ibu, mending kamu buntuti suami kamu itu. Bagaimanapun Ibu enggak mau ada prasangka buruk di hati kamu. Ibu juga enggak mau kamu salah faham."
"Maksud Ibu?"
Keningku kini mengernyit dengan ucapan ibu. Dia sama sekali tak marah. Tapi dia malah seperti memberiku saran dan jalan keluar untuk dugaanku yang was-was ini.
"Ibu juga heran sama Dani yang tidak mau cerita sama Ibu dan bapak. Dani malah memaksa Ibu dan bapak untuk ke kota dan meninggalkan rumah di kampung. Katanya, bisnis dia sudah berhasil. Pas Ibu tanya dia bisnis apa, malah dia menjawab hal yang membuat Ibu penasaran. Dia juga bilang, 'Ibu enggak usah tahu, yang penting Ibu menikmati hasil usahaku'."
"Jadi Mas Dani bicara seperti itu pada Ibu?"
Ibu mengangguk.
Mas Dani memaksa Ibu dan Bapak datang ke kota. Dia juga menyarankan Ibu dan Bapak untuk menjual rumahnya. Namun mereka tidak mengikuti saran mas Dani untuk menjual rumah. Yang mereka turuti hanya pindah ke kota saja. Dan membiarkan rumah di kampung tak dihuni.
"Saran Ibu, lebih baik kamu caritahu apa yang suami kamu kerjakan. Ibu takut dia melakukan hal yang tidak baik, Di. Biar Dona Ibu yang jagain!"
Hah? Jadi pemikiran Ibu sama dengan apa yang aku fikirkan?
Tapi ibu belum tahu hal yang ini.
"Tapi, Bu. Aku tak bisa menyelidiki Mas Dani sekarang. Karena sekarang mas Dani berangkat ke kantor. Ada hari-hari tertentu dimana dia pergi. Yaitu setiap malam Senin dan malam Kamis. Dan setiap malam itu, mas Dani merubah penampilannya. Dia keluar dan memakai baju santai dengan rapi dan amat wangi."
"Masa sih?" Kening Ibu mengernyit.
"Maaf, Bu. Diandra bicara seperti ini. Ya, tapi kalau aku mengikuti Mas Dani sekarang, sebentar lagi juga ia pulang dari kantor. Dan ada di rumah sampai paginya lagi. Sebenarnya aku hanya curiga pada kedua hari itu. Jadi, tolong izinkan Diandara mencaritahu ya, Bu. Dan hari Rabu besok, Diandra akan coba ikuti kemana Mas Dani pergi."
Ternyata Ibu juga merasakan hal yang sama denganku. Aku sedikit malu pada ibu atas apa yang aku ucapkan. Atas apa yang ada di fikiranku.
Tapi, karena pemikiran Ibu juga sama tentang anaknya, aku memberanikan diri saja mengutarakan kecemasan ini.
Ibu nampaknya tak marah. Dan bahkan dia yang menyuruhku untuk membuntuti kegiatan Mas Dani di luar sana. Ibu menawarkan dirinya untuk menjaga Dona selama aku pergi.
Aku fikir, Ibu akan menentangku. Tapi ...
Syukurlah!
Dan besok, aku akan segera membuntuti apa yang sebenarnya mas Dani lakukan di dua hari itu. Semoga aku bisa segera membuktikan kecemasanku.
–––
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada