Home / Historical / Di Balik Tirai Permaisuri / 02- Pertemuan Para Istri Kaisar

Share

02- Pertemuan Para Istri Kaisar

Author: Tinta cinta
last update Last Updated: 2025-11-10 09:48:41

Hari telah berganti. Isabella terbangun dan menatap sekelilingnya yang masih tertutup kelambu. Ia melihat kulit tangannya yang ternyata telah kembali normal.

Tok tok.

"Yang Mulia, apakah Anda sudah bangun?" Suara Lusi menyadarkannya.

"Masuklah, Lusi."

Dayang itu masuk sambil membawa baskom berisi bunga mawar. Di belakangnya, dua pelayan lain membawa nampan berisi sarapan untuk sang permaisuri. Isabella menarik tirai yang menjuntai, lalu berjalan menuju kamar mandi dengan dipapah oleh Lusi.

"Apakah Anda sudah baikan, Yang Mulia?" tanya Lusi dengan nada khawatir.

Isabella hanya menanggapinya dengan senyuman. Tubuhnya memang membaik, tetapi hatinya masih terluka.

Lusi menghela napas berat. Ia membantu menggosok badan sang permaisuri yang tengah berendam dalam air mawar. Seharusnya beberapa pelayan turut membantu memandikan Isabella, namun permaisuri itu hanya mau dilayani oleh Lusi—pelayan setianya sejak kecil. Sebagian orang yang mendengar tentang kutukan itu sering bergunjing di belakang, dan Isabella sangat tidak menyukai hal semacam itu.

"Semalam Kaisar pergi ke mana, Lusi?"

Lusi tak langsung menjawab.

"Lusi?"

"Ah... ke Paviliun Senja, Yang Mulia," ucapnya dengan nada tak enak hati.

Isabella terdiam. Ia bergulat dengan pikirannya sendiri.

Selalu begitu. Setiap malam yang gagal, Kaisar pasti akan datang ke selir Ivony—putri dari Kepala Keuangan Istana.

Kalau dilihat dari status, Isabella jelas lebih tinggi.

Di Kekaisaran Everard, terdapat tiga wilayah besar: Eve-East, Eve-West, dan Eve-South. Masing-masing dipimpin oleh seorang Grand Duke. Isabella adalah putri dari Grand Duke William Astrum, penguasa Eve-East—wilayah terkuat di antara ketiganya.

Namun meski begitu, kedudukan Isabella di hati Kaisar jauh lebih rendah daripada selir Ivony.

Ah, memikirkannya saja membuat hati Isabella sakit. Ia tahu, setelah malam ini, selir Ivony pasti akan menyindirnya karena lagi-lagi gagal melayani Kaisar.

"Ah... apa tidak bisa aku meliburkan pertemuan pagi ini, Lusi?" ucap Isabella lesu.

"Sayangnya Anda tidak bisa melakukan itu tanpa alasan yang jelas, Yang Mulia. Ibu Suri akan menganggap Anda kekanak-kanakan nanti," jawab Lusi lembut.

Isabella tak lagi menyahut. Lusi benar—sebagai permaisuri, ia harus bijak dalam setiap hal. Termasuk menghadiri tradisi pertemuan pagi untuk para wanita Kaisar. Bagi Isabella, itu terasa menyebalkan, namun katanya, pertemuan itu adalah cara agar para istri hidup rukun.

Mau tak mau, ia harus menuruti aturan. Meskipun posisinya tinggi, ia tetap tidak benar-benar berkuasa. Ada Kaisar dan Ibu Suri yang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya.

---

Isabella melangkah gontai di koridor menuju aula di sudut paviliunnya—tempat para wanita kerajaan berkumpul.

Gaun hijau muda yang ia kenakan membuat tampilannya tampak segar. Kulitnya yang putih berpadu dengan rambut yang ditata rapi dalam model up do, dihiasi tiara perak berhiaskan permata kecil di seluruh permukaannya. Isabella tampak seperti bunga cantik di taman. Bibir merah muda yang penuh membuat siapa pun terpesona padanya.

"Permaisuri Isabella Grace Everard telah tiba!" seru penjaga di depan pintu aula.

Semua wanita di dalam ruangan berdiri menyambut kedatangannya. Ada enam wanita di sana—tiga istri Kaisar dan sisanya adalah dayang pribadi mereka.

"Hormat kami kepada mentari kekaisaran. Semoga kebijaksanaan dan kecantikan Anda tetap bersinar," ucap mereka serempak.

"Duduklah," titah Isabella setelah mencapai tempat duduknya di depan.

"Anda tampak begitu cantik dan segar, Yang Mulia," puji selir Imelda.

Isabella tersenyum samar. Sejujurnya, ia tak menyukai suasana seperti ini—para wanita yang saling memuji dengan maksud terselubung di balik kata-katanya.

"Mungkin karena Kaisar tadi malam bermalam di kamar Anda," sambung Imelda.

"Kaisar hanya mampir sebentar, Selir Imelda," sahut Isabella menahan kesal.

"Katanya Anda tadi malam tidak enak badan, apakah benar begitu, Yang Mulia?" tanya Selir Cempaka menimpali.

"Ya," jawab Isabella singkat.

"Ah, benarkah? Kalau tidak enak badan, mengapa sekarang Anda tampak segar?" kini giliran Selir Ivony berbicara.

Isabella menatap ke arah Ivony. Wanita itu tersenyum lebar sambil memainkan kalung merah delima yang senada dengan gaunnya.

“Itu pasti hadiah dari Kaisar karena melayaninya,” batin Isabella, getir.

Ia segera mengendalikan rasa cemburu yang bergolak.

"Apa maksudmu, Selir Ivony?" ucapnya datar.

"Ehmm... bukan apa-apa, Yang Mulia. Hanya saja, saya merasa aneh. Setiap kali Kaisar hendak bermalam dengan Anda, kenapa selalu berakhir dengan beliau datang ke paviliun saya?" ucap Ivony dengan seringai samar.

"Maksudmu kau lebih baik dariku begitu?" nada Isabella meninggi.

"Ah, tidak, Yang Mulia, saya tidak bermaksud begitu."

"Lalu maksudmu apa?"

"Ehmm, maafkan kelancangan saya, Permaisuri... tapi apakah benar, seperti rumor yang beredar, Anda terkena kutukan mengerikan?"

Prang!

Isabella melempar gelas teh ke arah Ivony. Tak mengenai, tapi pecah tepat di depan kakinya.

"Yang Mulia, kendalikan diri Anda," Lusi mencoba menenangkan.

"Apa begitu sikap seorang wanita Kaisar? Lebih suka mendengar rumor daripada berbuat kebajikan?" seru Isabella tajam.

Ivony menunduk, tapi Isabella masih sempat melihat senyum licik di wajahnya.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud menyinggung Anda."

Isabella menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

"Pertemuan hari ini cukup sampai di sini. Kalian boleh kembali ke paviliun masing-masing," titahnya, lalu ia bangkit dan keluar dari ruangan.

---

Isabella menyesap teh peony kesukaannya. Warnanya putih dengan rasa lembut dan aroma floral yang menenangkan. Setidaknya, kini ia bisa sedikit rileks setelah dibakar emosi di aula tadi.

"Lusi, kau lihat kalung yang dikenakan Selir Ivony tadi? Sepertinya itu hadiah baru dari Kaisar," ucap Isabella lirih.

Sejak awal, ia belum pernah mendapatkan hadiah apa pun dari Kaisar. Biasanya, hadiah akan diberikan setelah malam bersama. Namun malam yang selalu berakhir gagal membuat Isabella tak pernah mendapat apa pun.

"Anda memiliki banyak kalung yang lebih cantik, Yang Mulia," sahut Lusi menenangkan.

"Tapi itu bukan dari Kaisar," jawab Isabella lesu.

Lusi hendak membalas, tapi kemudian datang seorang utusan dari Paviliun Langit—kediaman Ibu Suri.

"Hormat saya kepada Mentari Kekaisaran. Semoga kebijaksanaan dan kecantikan Anda tetap bersinar."

"Ada apa Bibi kemari?" tanya Isabella.

"Ibu Suri mengundang Anda untuk minum teh bersama, Yang Mulia."

"Hari ini, atau di lain waktu?"

"Sekarang juga, Yang Mulia."

Ah... itu bukan undangan, melainkan perintah samar yang tak bisa ditolak.

Ibu Suri tidak akan memanggil tanpa alasan penting.

"Semoga saja ini bukan hal buruk," batin Isabella.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Tirai Permaisuri   08- Rasa Terima Kasih

    Makan siang berlangsung cepat, namun terasa panjang dan menyesakkan. Suasananya memanas, dipenuhi aura kemarahan Kaisar yang begitu kuat hingga udara di sekitar meja makan seperti menekan. Terlebih untuk Isabella, setiap suapan terasa sulit turun ke tenggorokan. Dadanya sesak.Julius paling tidak suka dibantah, tapi karena tadi sempat ditegur Ibu Suri, ia memilih menahan diri. Namun Isabella sangat tahu—diamnya kaisar bukanlah tanda mereda, melainkan badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak."Ethan… kamu cari mati…" batin Isabella menegang. Hatinya menjerit khawatir, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada tabib itu.“Aku selesai. Kalian bisa lanjutkan makanan kalian.”Kaisar bangkit sambil mengelap bibirnya, gerakannya dingin dan angkuh.Semua yang ada di meja mengangguk, menjaga sopan santun.“Dan kamu—selesaikan pekerjaanmu lalu cepat kembali. Jangan menganggap istana seperti rumahmu.” Tatapan Julius menancap lurus pada Ethan.“Yang Mulia tidak perlu khawatir,” Ethan m

  • Di Balik Tirai Permaisuri   07- Meja Makan

    "Ethan…""Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?" lirih Isabella."Ya? Anda mengatakan apa, Permaisuri?" Ethan tidak terlalu mendengar karena kekhawatirannya, terlebih suara Isabella sangat begitu pelan.Isabella tersenyum miris menatap Ethan. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menggeleng lemah."Sepertinya Anda butuh istirahat, Permaisuri. Tenaga Anda terkuras," ucap Ethan lembut."Tadi kau sempat bicara tidak formal padaku… bicaralah seperti tadi. Aku lebih suka begitu," sahut Isabella pelan.Ethan tidak langsung menjawab, hanya menatap Isabella dalam-dalam. Entah kenapa, seolah ia bisa menyelami setiap perasaan wanita itu hanya dari raut wajahnya. Ada kesedihan besar—tersembunyi, tetapi jelas terasa."Ethan…"Ethan mengerjap, tersadar dari lamunan."Anda istirahat dulu. Biar saya memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada Anda. Kesimpulannya… Anda akan membiru jika disentuh oleh lawan jenis selain saya ."Isabella menghela napas tipis."Kau sudah mau pergi?"Belum sempat Ethan men

  • Di Balik Tirai Permaisuri   06- Sentuhan Yang Membakar

    Pagi itu, usai pertemuan dengan para selir, Isabella memilih berdiam di kamarnya. Hari ini, Tabib Ethan akan datang kembali, sesuai janji mereka kemarin.Di meja telah tersusun hidangan ringan, lengkap dengan teh peony kesukaannya.Sambil menanti, Isabella menyibukkan diri dengan menyulam. Jarum dan benang menari di antara jemarinya yang lentik, menenangkan pikirannya yang masih gelisah. “Sepertinya Anda sedang sibuk, Permaisuri?”Suara itu terdengar lembut namun tiba-tiba, membuat Isabella menoleh. Di sana, berdiri Ethan dengan pakaian rapi — kemeja putih bersih berbalut rompi hitam yang menegaskan bahunya yang tegap.“Kau sudah datang?” ucap Isabella, mencoba menutupi senyum kagumnya.Namun Ethan justru menatapnya tajam. “Wajah Anda tampak sembab, Permaisuri.”Isabella sontak tertegun. Padahal ia sudah menutup bekas tangisan semalam dengan riasan cukup tebal, tapi tampaknya mata Ethan terlalu jeli untuk tertipu.“Malamku berakhir berantakan lagi,” lirih Isabella, meletakkan sulaman

  • Di Balik Tirai Permaisuri   05- Malam Yang Kembali Membiru

    Malam itu, Isabella mengenakan pakaian baru—gaun tidur tipis berwarna merah, yang sebelumnya dibelikan oleh Lusi atas perintahnya sendiri. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan terurai, memantulkan cahaya lentera yang temaram. Sejak tadi, senyum bahagia tak henti menghiasi wajahnya. Ethan benar-benar tabib yang sakti; hanya dengan satu kali perawatan, ia sudah merasa sembuh. Namun, demi memastikan keadaannya benar-benar pulih, Ethan berjanji akan datang lagi besok. “Kaisar Julius telah tiba,” suara pengawal dari balik pintu membuyarkan lamunan Isabella di depan cermin. “Suamiku?” sambutnya dengan wajah berbinar. Kaisar masuk dengan ekspresi datar. Tanpa ragu, Isabella segera bangkit dan membuka jubah luarnya. “Kau terlihat begitu senang,” ujar Julius singkat. “Karena malam ini aku akan menjadi istri yang sempurna untukmu,” jawab Isabella riang, tak peduli pada sikap dingin suaminya. Ia yakin, setelah malam ini, hati Julius akan luluh dan berubah. “Kalau begitu, biarkan aku y

  • Di Balik Tirai Permaisuri   04-Sentuhan Pertama

    Mereka bertiga akhirnya tiba di kamar Permaisuri. Ibu Suri memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, memberikan ruang bagi Isabella dan sang tabib untuk berbicara berdua.“Perkenalkan dirimu,” ucap Isabella agak canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam satu ruangan dengan pria lain selain suaminya.“Nama saya Ethan,” jawab tabib itu singkat.Isabella mengernyit. Perkenalan yang terlalu singkat, pikirnya.“Sebelumnya, bisakah kau mendongak? Aku kesulitan melihat wajahmu yang terus menunduk sejak tadi,” ujarnya akhirnya.Ethan pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar mereka berubah—seolah waktu berhenti. Isabella terpaku pada sepasang mata tenang itu.“Tampan…” bisik hatinya.Ia selalu mengira Kaisar adalah lelaki tertampan di kekaisaran ini, tapi ternyata ada seseorang dengan wajah yang jauh lebih lembut… dan menenangkan.“Permaisuri?” panggil Ethan, membuyarkan lamunannya.“Ah, maaf… aku hanya sedikit terkejut,” ucap Isabella tergagap. Ethan

  • Di Balik Tirai Permaisuri   03- Tabib Dari Kuil Havana

    Isabella datang ke kediaman Ibu Suri bersama Lusi. Di taman, tampak Ibu Suri sedang menikmati teh sore. Namun ternyata beliau tidak sendirian — di seberang mejanya duduk sang Kaisar, entah sejak kapan berada di sana."Salam hormat kepada Ibu Suri, salam hormat kepada Kaisar. Semoga kesejahteraan senantiasa menyertai kalian," ucap Isabella sopan sambil menunduk."Duduklah, Permaisuri," perintah Ibu Suri dengan senyum lembut.Isabella duduk di kursi yang tersisa. Meja bulat di tengah taman itu hanya memiliki tiga kursi, melambangkan kedekatan yang tidak bisa dihindari.“Tampilanmu berubah begitu cepat,” komentar Kaisar sambil menilik penampilan Isabella dari atas ke bawah.“Maafkan aku, Suamiku,” ucap Isabella lirih, mengingat kejadian semalam.“Jangan panggil aku Suamiku di luar,” tekan Kaisar dingin.Isabella menunduk, hanya mengangguk pelan.“Sudahlah, jangan terlalu kaku pada Isabella,” sela Ibu Suri menengahi. “Dia tetap istrimu, tidak salah kalau memanggil suaminya sendiri.”“Istr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status