MasukIsabella datang ke kediaman Ibu Suri bersama Lusi. Di taman, tampak Ibu Suri sedang menikmati teh sore. Namun ternyata beliau tidak sendirian — di seberang mejanya duduk sang Kaisar, entah sejak kapan berada di sana.
"Salam hormat kepada Ibu Suri, salam hormat kepada Kaisar. Semoga kesejahteraan senantiasa menyertai kalian," ucap Isabella sopan sambil menunduk. "Duduklah, Permaisuri," perintah Ibu Suri dengan senyum lembut. Isabella duduk di kursi yang tersisa. Meja bulat di tengah taman itu hanya memiliki tiga kursi, melambangkan kedekatan yang tidak bisa dihindari. “Tampilanmu berubah begitu cepat,” komentar Kaisar sambil menilik penampilan Isabella dari atas ke bawah. “Maafkan aku, Suamiku,” ucap Isabella lirih, mengingat kejadian semalam. “Jangan panggil aku Suamiku di luar,” tekan Kaisar dingin. Isabella menunduk, hanya mengangguk pelan. “Sudahlah, jangan terlalu kaku pada Isabella,” sela Ibu Suri menengahi. “Dia tetap istrimu, tidak salah kalau memanggil suaminya sendiri.” “Istri yang tak sempurna, apa masih pantas disebut istri?” sindir Kaisar sarkastik. Isabella mengepalkan tangan di bawah meja. Kenapa Kaisar selalu seperti itu? Seolah menghina tanpa perasaan. Padahal siapa yang ingin mengalami nasib seperti dirinya? “Jangan dengarkan ucapan Julius yang menyakitkan, Isabella. Dia memang payah dalam berbicara,” ucap Ibu Suri mencoba menenangkan. Ibu Suri memang selalu begitu—membela dan memperlakukan Isabella dengan lembut sejak dulu. Beliau tahu, tanpa dukungan keluarga Isabella, mungkin Julius tidak akan naik takhta. Seharusnya kakaknya yang menjadi Kaisar. Karena itu, Ibu Suri selalu berusaha melindungi Isabella. Itulah sebabnya Isabella tak pernah tega menyakiti hati beliau. “Ada apa Ibu memanggilku?” tanya Isabella langsung pada inti. “Oh, ini tentang penyakitmu,” jawab Ibu Suri lembut. “Ibu akan mendatangkan Tabib Agung agar kamu bisa sembuh.” “Tabib Agung dari mana lagi, Ibu? Semua tabib terbaik sudah kucoba, hasilnya tetap sama,” ucap Isabella lesu. “Mungkin itu bukan penyakit, melainkan kutukan,” sindir Kaisar dingin. “Julius!” tegur Ibu Suri tajam. “Kali ini berbeda,” lanjut beliau. “Biasanya kamu hanya menemui tabib perempuan. Kali ini, tabibnya laki-laki, dan dia memiliki darah sihir. Cara penyembuhannya bukan hanya dengan ramuan.” “Aku tidak bisa bersentuhan dengan lelaki, Ibu. Bagaimana mungkin tabibnya justru seorang pria?” “Dia berbeda, Isabella. Percayalah padaku.” Isabella mendesah berat. “Kenapa Ibu baru mengatakannya sekarang? Kenapa tidak dari dulu jika Ibu yakin dia yang terbaik?” “Terus terang, Ibu juga tidak menyangka penyakitmu separah ini. Ibu pikir, dengan tabib yang lain, itu bisa sembuh. Ternyata tidak.” “Baiklah… aku percaya pada Ibu.” “Kalau begitu, kembalilah ke paviliunmu. Besok pagi dia akan datang dan memulai pengobatan,” ucap Ibu Suri menutup pembicaraan. Isabella mengangguk, lalu berdiri dan membungkuk hormat pada Ibu Suri serta Kaisar sebelum melangkah pergi. Namun baru dua langkah berjalan, suara Kaisar terdengar menusuk di belakangnya. “Tapi jangan terlalu berharap untuk sembuh. Penyakitmu itu belum pernah terjadi pada siapa pun. Aku tak yakin tabib itu akan berhasil.” Isabella menoleh, menatap Kaisar dengan mata basah. Kenapa… kenapa dia tak bisa sedikit saja memberi dukungan? “Jangan dengarkan Julius, Isabella,” ujar Ibu Suri lembut. Isabella kembali menunduk dan melanjutkan langkahnya tanpa sepatah kata pun. “Julius!” suara Ibu Suri meninggi. “Sudah Ibu katakan, jangan berbuat sesuka hati! Kau harus menjaga perasaan Isabella. Kau harus selalu menyenangkannya!” Kaisar mendengus pelan. “Ayolah, Ibu. Sekalipun aku melakukannya, apa gunanya? Lagipula, memang kenyataannya dia terkena kutukan. Lelaki sial mana yang mau menikahinya selain aku?” “Kau tetap harus menjaga sikapmu, Kaisar!” tegas Ibu Suri. Kaisar terdiam. Jika Ibu Suri sudah menyebut namanya dengan sebutan Kaisar, itu tandanya beliau sedang benar-benar marah. --- Isabella berjalan pulang ke paviliunnya dengan langkah berat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya menetes juga. Terbesit sesal di hatinya. Mungkin… menikah dengan Kaisar adalah kesalahan. Tapi, jika bukan Julius, siapa yang akan menikahinya? Rumor tentang kutukannya sudah tersebar sejak remaja. Jika ia tidak menikah, itu akan menjadi aib bagi ayahnya. “Sudahlah… mungkin ini memang takdirku,” lirihnya di sela isak tangis. --- Keesokan paginya, Isabella meliburkan pertemuan pagi sesuai izin Ibu Suri. Beliau memintanya menunggu kedatangan tabib, yang katanya akan datang pagi sekali. Tanpa riasan mencolok, Isabella tetap tampak anggun. Ia mengenakan gaun putih elegan dengan hiasan rambut sederhana namun memancarkan wibawa seorang permaisuri. “Yang Mulia,” panggil Lusi dari luar kamar. “Ibu Suri datang bersama tabib. Mereka sudah menunggu di ruang tamu.” “Baik. Suguhkan teh Darjeeling yang dikirim ayahku minggu lalu—itu untuk tamu kehormatan. Siapkan juga beberapa camilan,” perintah Isabella sebelum berjalan menuju ruang tamu. --- “Salam kepada Mentari Kekaisaran. Semoga kebijaksanaan dan kecantikan Anda tetap bersinar,” sapa Ibu Suri ketika Isabella masuk. Tabib itu tidak mengucapkan apa pun. Ia hanya berdiri dan menunduk hormat. “Tidak perlu memberi salam seperti itu, Ibu,” ucap Isabella sambil duduk di kursi seberang. “Dia adalah tabib yang Ibu sebut kemarin,” jelas Ibu Suri. “Pengobatannya akan dimulai hari ini. Ia berjanji akan menyembuhkanmu, meski butuh waktu lama.” Isabella menatap tabib itu. Lelaki itu tetap tertunduk, namun dari jarak dekat, Isabella dapat melihat parasnya—rahang tegas, garis wajah tenang, dan aura misterius yang memancar kuat. “Tapi, pengobatan ini harus bersifat rahasia, Permaisuri,” lanjut Ibu Suri. “Kenapa, Ibu?” “Rumor sudah terlalu luas, dan itu mempengaruhi nama baik kerajaan. Jadi, hanya aku, kamu, dan Kaisar yang boleh tahu tentang ini.” “Kalau dia datang setiap hari, bagaimana aku bisa menyembunyikannya?” tanya Isabella khawatir. “Dia bisa datang melalui teleportasi. Hari ini, Ibu membawanya ke sini agar ia bisa menghafal ruanganmu. Setelah itu, tentukan waktu pengobatan. Pastikan kamu sudah siap pada jam yang disepakati.” “Maksud Ibu… dia akan muncul tiba-tiba di kamarku begitu saja?” Ibu Suri mengangguk. Isabella membelalakkan mata. “Itu tidak sopan, Ibu,” ucapnya spontan. “Karena itu, pastikan jamnya,” tegas Ibu Suri. “Ibu tidak mau hal ini tersebar dan diketahui orang luar.” Isabella terdiam. Ia menimbang, apakah semua ini akan berjalan baik? Akhirnya, suara tenang dari tabib itu terdengar untuk pertama kalinya. “Saya hanya akan melakukan pengobatan, tidak lebih dari itu. Lagi pula, saya Tabib Agung dari Kuil Havana. Pantang bagi kami berhubungan intim dengan wanita.” Isabella tertegun. Kuil Havana… kuil suci yang terkenal hanya dihuni oleh para tabib berhati murni dan suci dari dosa duniawi. “Baiklah,” ucap Isabella akhirnya. “Kita tentukan jamnya.”Makan siang berlangsung cepat, namun terasa panjang dan menyesakkan. Suasananya memanas, dipenuhi aura kemarahan Kaisar yang begitu kuat hingga udara di sekitar meja makan seperti menekan. Terlebih untuk Isabella, setiap suapan terasa sulit turun ke tenggorokan. Dadanya sesak.Julius paling tidak suka dibantah, tapi karena tadi sempat ditegur Ibu Suri, ia memilih menahan diri. Namun Isabella sangat tahu—diamnya kaisar bukanlah tanda mereda, melainkan badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak."Ethan… kamu cari mati…" batin Isabella menegang. Hatinya menjerit khawatir, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada tabib itu.“Aku selesai. Kalian bisa lanjutkan makanan kalian.”Kaisar bangkit sambil mengelap bibirnya, gerakannya dingin dan angkuh.Semua yang ada di meja mengangguk, menjaga sopan santun.“Dan kamu—selesaikan pekerjaanmu lalu cepat kembali. Jangan menganggap istana seperti rumahmu.” Tatapan Julius menancap lurus pada Ethan.“Yang Mulia tidak perlu khawatir,” Ethan m
"Ethan…""Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?" lirih Isabella."Ya? Anda mengatakan apa, Permaisuri?" Ethan tidak terlalu mendengar karena kekhawatirannya, terlebih suara Isabella sangat begitu pelan.Isabella tersenyum miris menatap Ethan. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menggeleng lemah."Sepertinya Anda butuh istirahat, Permaisuri. Tenaga Anda terkuras," ucap Ethan lembut."Tadi kau sempat bicara tidak formal padaku… bicaralah seperti tadi. Aku lebih suka begitu," sahut Isabella pelan.Ethan tidak langsung menjawab, hanya menatap Isabella dalam-dalam. Entah kenapa, seolah ia bisa menyelami setiap perasaan wanita itu hanya dari raut wajahnya. Ada kesedihan besar—tersembunyi, tetapi jelas terasa."Ethan…"Ethan mengerjap, tersadar dari lamunan."Anda istirahat dulu. Biar saya memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada Anda. Kesimpulannya… Anda akan membiru jika disentuh oleh lawan jenis selain saya ."Isabella menghela napas tipis."Kau sudah mau pergi?"Belum sempat Ethan men
Pagi itu, usai pertemuan dengan para selir, Isabella memilih berdiam di kamarnya. Hari ini, Tabib Ethan akan datang kembali, sesuai janji mereka kemarin.Di meja telah tersusun hidangan ringan, lengkap dengan teh peony kesukaannya.Sambil menanti, Isabella menyibukkan diri dengan menyulam. Jarum dan benang menari di antara jemarinya yang lentik, menenangkan pikirannya yang masih gelisah. “Sepertinya Anda sedang sibuk, Permaisuri?”Suara itu terdengar lembut namun tiba-tiba, membuat Isabella menoleh. Di sana, berdiri Ethan dengan pakaian rapi — kemeja putih bersih berbalut rompi hitam yang menegaskan bahunya yang tegap.“Kau sudah datang?” ucap Isabella, mencoba menutupi senyum kagumnya.Namun Ethan justru menatapnya tajam. “Wajah Anda tampak sembab, Permaisuri.”Isabella sontak tertegun. Padahal ia sudah menutup bekas tangisan semalam dengan riasan cukup tebal, tapi tampaknya mata Ethan terlalu jeli untuk tertipu.“Malamku berakhir berantakan lagi,” lirih Isabella, meletakkan sulaman
Malam itu, Isabella mengenakan pakaian baru—gaun tidur tipis berwarna merah, yang sebelumnya dibelikan oleh Lusi atas perintahnya sendiri. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan terurai, memantulkan cahaya lentera yang temaram. Sejak tadi, senyum bahagia tak henti menghiasi wajahnya. Ethan benar-benar tabib yang sakti; hanya dengan satu kali perawatan, ia sudah merasa sembuh. Namun, demi memastikan keadaannya benar-benar pulih, Ethan berjanji akan datang lagi besok. “Kaisar Julius telah tiba,” suara pengawal dari balik pintu membuyarkan lamunan Isabella di depan cermin. “Suamiku?” sambutnya dengan wajah berbinar. Kaisar masuk dengan ekspresi datar. Tanpa ragu, Isabella segera bangkit dan membuka jubah luarnya. “Kau terlihat begitu senang,” ujar Julius singkat. “Karena malam ini aku akan menjadi istri yang sempurna untukmu,” jawab Isabella riang, tak peduli pada sikap dingin suaminya. Ia yakin, setelah malam ini, hati Julius akan luluh dan berubah. “Kalau begitu, biarkan aku y
Mereka bertiga akhirnya tiba di kamar Permaisuri. Ibu Suri memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, memberikan ruang bagi Isabella dan sang tabib untuk berbicara berdua.“Perkenalkan dirimu,” ucap Isabella agak canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam satu ruangan dengan pria lain selain suaminya.“Nama saya Ethan,” jawab tabib itu singkat.Isabella mengernyit. Perkenalan yang terlalu singkat, pikirnya.“Sebelumnya, bisakah kau mendongak? Aku kesulitan melihat wajahmu yang terus menunduk sejak tadi,” ujarnya akhirnya.Ethan pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar mereka berubah—seolah waktu berhenti. Isabella terpaku pada sepasang mata tenang itu.“Tampan…” bisik hatinya.Ia selalu mengira Kaisar adalah lelaki tertampan di kekaisaran ini, tapi ternyata ada seseorang dengan wajah yang jauh lebih lembut… dan menenangkan.“Permaisuri?” panggil Ethan, membuyarkan lamunannya.“Ah, maaf… aku hanya sedikit terkejut,” ucap Isabella tergagap. Ethan
Isabella datang ke kediaman Ibu Suri bersama Lusi. Di taman, tampak Ibu Suri sedang menikmati teh sore. Namun ternyata beliau tidak sendirian — di seberang mejanya duduk sang Kaisar, entah sejak kapan berada di sana."Salam hormat kepada Ibu Suri, salam hormat kepada Kaisar. Semoga kesejahteraan senantiasa menyertai kalian," ucap Isabella sopan sambil menunduk."Duduklah, Permaisuri," perintah Ibu Suri dengan senyum lembut.Isabella duduk di kursi yang tersisa. Meja bulat di tengah taman itu hanya memiliki tiga kursi, melambangkan kedekatan yang tidak bisa dihindari.“Tampilanmu berubah begitu cepat,” komentar Kaisar sambil menilik penampilan Isabella dari atas ke bawah.“Maafkan aku, Suamiku,” ucap Isabella lirih, mengingat kejadian semalam.“Jangan panggil aku Suamiku di luar,” tekan Kaisar dingin.Isabella menunduk, hanya mengangguk pelan.“Sudahlah, jangan terlalu kaku pada Isabella,” sela Ibu Suri menengahi. “Dia tetap istrimu, tidak salah kalau memanggil suaminya sendiri.”“Istr







